6 Golongan yang Terhalang Tasyarufnya

Daftar Isi

Kajian Rutin Setiap Hari Rabu Kitab Fathul Qorib FKPAI KUA Kaligondang Purbalingga Jateng Foto (kangprayit.com)

Kajian Rutin kitab Fathul Qorib Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga setiap hari Rabu.

Menerangkan tentang terhalangnya orang bodoh/tolol dan orang yang jatuh menjadi miskin dalam membelanjakan harta.

Kata 'Hajru' menurut bahasa artinya "pencegahan/pelarangan". sedangkan menurut syara' ialah mencegah seseorang dari mengatur urusan hartanya, lain halnya mengatur urusan selain harta seperti thalaq atau cerai, maka thalaq yang keluar dari orang yang bodoh/tolol tetap jalan atau sah tetap terjadi hukum sah thalaqnya.

Mushonif membagi hajru menjadi enam macam, yaitu anak kecil, orang gila dan orang bodoh/tolol. Kemudian Mushanif menjelaskan tentang orang bodoh/tolol melalui perkataanya, yaitu orang yang menyia-nyiakan harta hartanya, artinya harta tersebut ditasyarufkan bukan pada sasarannya.

Dan Orang Muflis. Pengertian muflis menurut bahasa ialah orang yang hartanya menjadi uang kuno (yakni uang  berupa lempengan tembaga) , kemudian "fulus" sebagai gelar sedikitnya dari sedikitnya harta atau tidak adanya. sedangkan menurut Syara' pengertian muflis adalah orang yang hutangnya tumpuk-tumpuk. Sedangkan harta yang dimilikinya tidak mencukupi (untuk melunasi) hutangnya atau hutang-hutang (yang tertumpuk-tumpuk itu).

Dan orang sakit yang mengkhawatirkan penyakitnya. Adapun larangan tasyaruf baginya itu khusus dalam tasaaruf hartanya yang hartanya yang lebihan dari sepertiga, yaitu pertiga dari hartanya peninggalan, dilarang tasarruf baginya semata-mata untuk meniaga haknya ahli waris. Demikian ini jika memang baginya tidak ada tanggungan hutang, maka jika atas dirinya ada tanggunagn hutang yang  dapat dihabiskan harta peninggalan orang sakit, maka hendaknya dilarang untuk mentasarrufkan hartanya yang sepertiga dan begitu juga selebihnya. 

Dan hamba yang tidak diijinkan berdagang oleh tuanya, maka tidak sah tasarrufnya hamba tersebut tanpa seijin tuanya. Mushanif tidak mengomentari seluruh macam-macam larangan tasarruf yang tersebut di dalam kitab yang panjang-labar keteranganya. Di antara larangan-larangan itu ialah tasarruf bagi yang murtad untuk menjaga haknya orang-orang islam dan juga larangan tassaruf pada barang gadaian bagi orang yang menggadai-kanya untuk menjaga haknya orang yang menerima gadai.

Tasarruf anak kecil orang gila dan orang bodoh/ tolol, itu tidak sah. Dari mereka (anak kecil, orang gila dan orang bodoh) tidak sah berjualan, membeli memberi dan lain lainya dari bentuk tasarruf. Adapun orang yang bodoh/ tolol, maka hukum nikahnya sah, dengan izin dari walinya.

Tasarruf orang muflis hukumnya sah dalam tanggungan dirinya. Maka jika orang muflis itu menjual makanan atau lainya dengan bentu"pesanan" atau membeli masing-masing  dari ke duanya itu dengan harga dalam tanggungannya, maka hukumnya sah.  Tidak boleh/sah mentasarufkan beberapa harta bendanya. Sedangkan tasarrufnya irang muflis dalam urusan nikah semisal, thalak, khuluk, maka hukumnya sah.

Adapun perempuan yang muflis, bila ia melakukab khuluk( memberikan harta pada suami aga menceritakan) dengan menggunakan harta bendanya, maka tidak sah, atau apabila dengan dengan hutang yang menjadi tanggunganya, maka khuluknya sah. Dan tasarrufnya oranf sakit pada harta selebihnya dari sepertiga, itu dibyangguhnkan sampai dapat izin ahli waris" bila para ahli waris itu mengizinkan tasrruf selebihnya dari sepertiga, maka hukumnya sah, bila tidak maka sah".

Perizinan atau penolakan ahli waris (dalam harta selhihnya dari 1/3) tidak dianggap ketika (orang sakit) masih dalam keadaan sakit. Dianggap sahnya demikian itu ketika setelah matinya orang yang sakit. Dan bila ahli waris meluluskan ( mengizinkan), kemudian  berkata: " sesungguhnya aku telah meluluskan ( mengizinkan), karena aku mengira bahwa harta itu hanya sedikit, tetapi perkiraan itu ternyata meleset, maka ucapan ahli waris dibenarkan dengan disertai sumpah.

Tassrauf seorang hamba yamg tidak memperoleh izin untuk berdagang, maka akan berada dalam tanggungan. Maksudnya, bahwa hamba tersebut dapat diminta pertanggungan sesudah dia merdeka. Bila tuanya mengizinkan kepadanya untuk berdagang, maka sah tasrrufnya sesuai dengan  bentuk perizinannya.

Qori       : K.Umar Abdul Fatah

Penulis : Oktit Nuryuliyana

Editor   : Ahmad Prayitno,S.Pd.I

Pendamping : Hj. Dra Umi Faizah