bagaimana kita bersikap terhadap perbedaan para ulama?
Daftar Isi
Sering menjadi pertanyaan saat menemukan persoalan yang jawaban antara ulama yang satu dengan ulama yang lain berbeda pendapat, bagaimana kita bersikap terhadap perbedaan para ulama?
Secara hakikat, kebenaran hukum itu hanya satu, karena hal ini terkait dengan ilmu Allah terhadap khitab syariat-Nya. Dengan kata lain, jika ada dua imam mujtahid berbeda pendapat dalam satu perkara, maka yang benar (secara hakikat) hanya salah satunya.
Masalahnya, kebenaran hakiki yang pasti, ilmunya HANYA milik Allah. Dan tugas ulama mujtahid hanyalah mencari mana yang paling mendekati kebenaran berdasarkan indikator-indikator hukum yang Allah berikan. Jika ia telah kumpulkan segala indikator, dan kemudian mengambil kesimpulan hukum, maka pendapatnya tetap BERNILAI BENAR dan bisa diamalkan, meskipun hakikatnya salah.
Mengapa? Karena standar kebenarannya ada pada PROSES ijtihad, bukan pada PRODUK ijtihad. Benar pun hakikat sebuah hukum, jika ternyata tidak melalui proses ijtihad muktabar, maka ia menjadi salah : yang berani-berani berijtihad padahal tidak memenuhi syarat tetap berdosa.
Tentu saja yang terbaik adalah saat prosesnya muktabar, hasilnya pun mushib (benar) sesuai dengan 'khithab' Allah. Makanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Apabila seorang hakim mengambil hukum, berijtihad dan (hasil ijtihadnya) benar (secara hakikat), maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia mengambil hukum, berijtihad dan (hasil ijtihadnya) salah (secara hakikat), maka ia mendapatkan satu pahala." (Muttafaq Alaih)
Keywordnya di dalam hadis ini adalah penggunaan diksi 'benar' dan 'salah', namun produk ijtihad keduanya tetap bisa diamalkan dan mendapatkan pahala karena ada kata 'IJTIHAD' : berusaha sekuat tenaga untuk mencari hukum.
Selanjutnya, berdasarkan hal ini, adalah hal lumrah jika seorang imam mujtahid atau muttabi' (mukalid yang memahami dalil sang mujtahid tersebut) mempertahankan hasil ijtihad muktabarnya dan menganggap hasil ijtihad lain salah.
Dengan catatan, menyalahkan yang lain tidak boleh disertai tindakan menyalah-nyalahkan. Kita harus tetap menjelaskan bahwa perkara benar-salah ijtihad bersifat relatif, tidak mutlak : KHILAFIYAH. Makanya Imam Syafi'i rahimahullah berkata : "Pendapatku benar, tetapi bisa jadi salah. Pendapat selainku salah, tetapi bisa jadi benar,"
Dalam catatan sejarah pun, perbedaan ulama terdokumentasikan secara rapi. Jangankan antar satu mazhab dengan mazhab yang lain. Sesama ulama Mazhab Syafi'i pun berikhtilaf. Ada yang santuy, seperti khilaf antara Imam Nawawi dan Imam Rafi'i, antara Imam Haitami dan Imam Ramli. Ada juga yang panas, seperti yang terjadi antara Imam Suyuthi dan Imam Sakhawi. Rahimahumullah.
Perlu dicatat : masing-masing imam memiliki pendapat yang mereka anggap benar dan memiliki landasan dalil serta istidlal yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga sepanas apapun perdebatan mereka, kita yang awam dapat menikmati dialektika ulama muktabar, serta mengambil faidah dalam rangka membentuk kecakapan fikih. Contoh dokumentasinya ada di dalam kitab at-Tamhid karya Imam Isnawi.
Namun lain hal jika perbedaan hukum ini disebabkan landasan ijtihad yang tidak muktabar, kaidah-kaidah yang tidak bisa dijadikan hujah, atau dalil-dalil yang jelas-jelas lemah. Prosesnya salah, sehingga kalaupun hasilnya benar secara hakikat, tetap saja SALAH. Ini namanya berhukum dengan kebodohan.
Sama halnya dengan ustaz, da'i apalagi hakim yang sebenarnya memiliki ilmu (zhann), namun ia abaikan ilmunya dan mengambil hukum waham dengan alasan-alasan yang subjektif, seperti perasaan dan persepsi massa, misalnya. Ini namanya berpaling dari kebenaran : mengabaikan yang zhan demi yang waham.
Dua jenis produk hukum ini boleh didebat dan disalahkan secara mutlak : sebab kesalahannya terletak pada prosedur ijtihad dan fatwa. Apa yang dibangun di atas pondasi yang salah maka ia akan ikut salah.
Bukankah Rasulullah Saw bersabda :
"Hakim ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka :
(1) Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga
(2) Hakim yang mengetahui kebanaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka
(3) Dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya ia masuk neraka." (H.R. Abu Dawud)
Terakhir : mengkaji fikih itu harus adil. Landasan dalil dan istidlalnya harus rasional. Jangan bawa-bawa perasaan, sehingga produk hukum malah tidak punya prinsip, mengikut saja kemana arah perasaan berhembus.
Hukum fikih itu bersifat objektif, meskipun penyampaian fatwanya mesti subjektif. Kita berfatwa bukan berdagang. Hukum harus konstan, tetapi uslub penyampaiannya mesti menyesuaikan.
Kalau ada di antara sahabat, yang biasa membatalkan produk ijtihad ulama, menganggap mazhab yang ada tidak sesuai dalil, namun malah baper saat fatwa pribadinya dikritik dan dianggap tidak benar, berarti sahabat sudah tidak adil dari awal. Adillah, karena adil itu dekat kepada takwa.
Siap mengkritik ulama sekelas imam, berarti harus siap pula untuk dikritik oleh ulama lain!
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..
NB :
- Kunci dalam beramal adalah zhann, yaitu dugaan kuat tentang kebenaran, dilandasi oleh indikator-indikator yang bisa dipertanggungjawabkan.
- Bagi ahli fikih, meskipun para imam berbeda pendapat, yang boleh ia nukilkan agar diamalkan oleh awam hanyalah apa yang benar menurut zhannya, berdasarkan indikator objektif dari kaidah-kaidah usul fikih.
- Bagi yang bukan ahli fikih, maka hendaklah ia menyandarkan amalannya kepada ahli fikih. Dan ia memiliki kebebasan untuk memilih mana yang ia yakini dalam ranah khilaf muktabar, asal ia memiliki zhann bahwa ahli fikih itu benar. Makanya tak sah jika ia malah menyandarkan amalannya kepada pendapat siapapun yang bukan ahli fikih.
- Zhann ahli fikih ada pada metode istinbat hukum yang ia fatwakan, sedangkan zhann awam ada istinbath sosok ahli fikih yang ia ikuti.
- Jika sahabat menemukan saya berbeda dengan hukum fikih yang dinukilkan oleh ustaz-ustaz lain, maka silakan sahabat pilih mana yang sahabat yakini berdasarkan indikator-indikator zhann. Tetapi jika yang saya sampaikan berbeda dengan yang disampaikan oleh orang lain yang bukan ustaz, maka saya beri nasihat : jangan tinggalkan yang zhann demi yang waham.
- Mohon nasihat dari orang tua, guru dan para sahabat jika terlihat saya melenceng dari kebenaran.
Wallahualam bishawab