MAKALAH KEPEMIMPINAN BERBASIS KECERDASAN EMOSIONAL

Daftar Isi

 

MAKALAH

KEPEMIMPINAN BERBASIS KECERDASAN EMOSIONAL

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Kepemimpinan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H fatah Sykur, M.Ag

 

 


 

Oleh:

Muhamad Taufiq Hidayat (NIM: 2110905)

Ani Wijiyanti (NIM: 21109015)

Prayitno (NIM : 2110904)

Jurusan Tarbiyah

Program Studi Menejemen Pendidikan Islam (MPI)

PROGRAM PASKA SARJANA

INSTITUTAGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA

(IAINU) KEBUMEN

TAHUN 2022

Alhamdulillahirobbil alamiien, kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan anugerah-Nya serta petunjuk-Nya karena dengan rahmat dan anugerah-Nya serta petunjuk-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini walaupun dengan pembahasan yang sangat sederhana. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.

Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1.       Dosen Mata Kuliah Kepemimpinan Pendidikan Islam

2.       Teman-teman senasib seperjuangan Program Paska Sarjana IAINU Kebumen, yang telah memberikan motivasi dan kontribusi yang positif dalam pembuatan makalah ini.

Mudah-mudahan segala amal kebaikan yang diberikan dalam penulisan makalah ini, mendapat imbalan dari Allah SWT. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai kontribusi bagi penulis demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

 

 

Penyusun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

HALAMAN JUDUL  ...................................................................................            i

KATA PENGANTAR  .................................................................................           ii

DAFTAR ISI  ...............................................................................................          iii

 

BAB I      PENDAHULUAN 

A.LATAR BELAKANG  ............................................................           1

BAB II    PEMBAHASAN  .........................................................................           3

                 A.   MACAM-MACAM KECERDASAN  ................................           3

                 B.    KECERDASAN EMOSIONAL  .........................................           5

     C.   FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECERDASAN    EMOSIONAL   .....................................................................           9

    D.   DIMENSI KECERDASAN EMOSIONAL BAGI ORGANISASI  10

    E.    DAMPAK KECERDASAN KEPEMIMPINAN BERBASIS

KECERDASAN EMOSIONAL ...........................................           13

F.    EMOTIONAL COMPETENCE INVENTORY  ..................           15

BAB III   PENUTUPAN 

A.KESIMPULAN ........................................................................           17

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Istilah kecerdasan emosional pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial Torndike 1920 yang mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pria maupun wanita yang merupakan syarat penting untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Martin, 2006). Tahun 1983 Gardner menyatakan bahwa manusia memiliki kecerdasan ganda (multiple intelligence) dua diantaranya adalah kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Tahun 1990 istilah kecerdasan emosional resmi dicetuskan oleh oleh Salovey dan Mayer ahli psikologi Yale dan Hamsphire dengan mengembangkan kecerdasan pribadi Gardner.

Selanjutnya istilah kecerdasan emosional dipopulerkan oleh Goleman pada tahun 1995 melalui karyanya Emotional Intelligence: why it can matter more than IQ? (Goleman, 2007). Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang diekpresikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Selanjutnya Goleman, Boyatziz, dan McKee (2005) dalam buku Primal Leadership mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan pemimpin untuk menciptakan resonansi melalui dua kompetensi utama yaitu kompetensi pribadi yang terdiri dari kesadaran diri dan manajemendiri; kompetensi sosial yang terdiri dari kesadaran sosial dan manajemen relasi. Menurut Salovey dan Mayer (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya, mengendalikan perasaan secara mendalam dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan. Patton (1988) mengemukakan bahwa kemampuan menggunakan emosi secara efektif akan memungkinkan seseorang mencapai tujuan dalam membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja.

Menurut Covey (2005) kecerdasan emosional adalah pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi adalah kepekaan mengenai waktuyang tepat, kepatutan secara sosial, dan keberanian untuk mengakui kelemahan, menyatakan dan menghormati perbedaan. Bar-on menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan Book, 2002).

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menciptakan resonansi (keselarasan emosi) diri sendiri dan orang lain dan menjadikan hal tersebut sebagai sarana untuk menumbuhkan dan mengembangkan kualitas hubungan intrapersonal dan interpersonal melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen relasi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja  macam-macam kecerdasan ?

2.      Apa yang disebut dengan kecerdasan emosional ?

3.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ?

4.      Apa saja dimensi kecerdasan emosional bagi organisasi ?

5.      Apa yang dimaksud dengan emotional competency inventory ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam-macam Kecerdasan

Menurut penelitian Howard dan Elisabeth, adanya kecerdasan majemuk ini menimbulkan konsekuensi dan manfaat dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu variasi cara belajar hingga evaluasinya. Berikut 9 jenis kecerdasan manusia menurut Howard Gardner, sebagai berikut :

1.      Kecerdasan Verbal-Linguistik

Kecerdasan verbal-linguistik berkaitan erat dengan kata-kata, baik lisan maupun tertulis berserta dengan aturan-aturannya. Orang dengan kecerdasan verbal-linguistik memiliki kecakapan verbal yang berkembang dengan baik dan punya sensitivitas yang baik terhadap suara, makna, dan ritme kata-kata.

2.      Kecerdasan logika-matematika

Kecerdasan logika matematika berkaitan dengan kemampuan mengolah angka dan kemahiran menggunakan logika. Orang dengan kecerdasan logika-matematika memiliki kemampuan untuk berpikir secara konseptual, dan punya kapasitas untuk membedah pola numerik dan logika.

3.      Kecerdasan spasial

Kecerdasan visual-spasial berkaitan dengan kemampuan menangkap warna, arah, dan ruang secara akurat serta mengubah penangkapannya ke dalam bentuk lain seperti dekorasi, arsitektur, lukisan, dan patung. Orang dengan kecerdasan spasial-visual punya kemapuan untuk berpikir dalam rupa gambar dan foto, untuk memvisualisasikan pikirannya secara abstrak dan akurat.

4.      Kecerdasan gerak-kinestetik

Kecerdasan gerak-kinestetik berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, serta keterampilan mempergunakan tangan untuk mencipta atau mengubah sesuatu. Orang dengan kecerdasan gerak-kinestetik mampu mengontrol gerak tubuh untuk mengatasi sebuah objek dengan baik, misalnya pemain bola mengendalikan bolanya.

5.      Kecerdasan musikal

Kecerdasan musikal berkaitan dengan kemampuan menangkap bunyi-bunyian, membedakan, menggubah, dan mengekspresikan diri melalui bunyi-bunyi atau suara-suara yang bernada dan berirama.orang dengan kecerdasan musikal mampu memproduksi dan mengapresiasi ritme, pitch, dan timbre.

6.      Kecerdasan intrapersonal

Kecerdasan intrapersonal berkaitan dengan aspek internal diri seseorang, seperti perasaan hidup, rentang emosi, kemampuan membedakan ragam emosi, menandainya, dan menggunakannya untuk memahami dan membimbing tingkah laku sendiri. Orang dengan kecerdasan interpersonal mampu mendeteksi dan merespons sebuah suasana hati (mood), motivasi, dan keinginan seseorang.

7.      Kecerdasan interpersonal

Kecerdasan interpersonal melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain, berempati, mengorganisasi kelompok, berteman, dan bersosialisasi. Orang dengan kecerdasan interpersonal punya self-awareness dan mendengarkan inner feeling, nilai diri, keyakinan, dan proses berpikir.

8.      Kecerdasan naturalis

Kecerdasan naturalis berkaitan dengan kemahiran dalam mengenali dan mengklasifikasikan flora dan fauna, serta hal-hal di alam, serta peka terhadap alam dan lingkungan.

9.      Kecerdasan eksistensial

Kecerdasan eksistensial berkaitan dengan kemampuan seseorang menempatkan diri dalam lingkup kosmos, memaknai hidup, memaknai kematian, memahami nasib dunia jasmani dan kejiwaan, dan memaknai pengalaman mendalam seperti cinta atau kesenian. Orang dengan kecerdasan eksistensial puya sensitivitas dan kapasitas untuk menghadapi pertanyaan mendalam tentang kehidupan, seperti "Apa arti hidup? Kenapa kita mati? Kenapa kita ada?"

B.     Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi adalah penggunaan emosi secara cerdas atau memanfaatkan emosi tersebut sebagai pemandu perilaku, sehingga hasil perilaku seseorang dapat meningkat.[1] Istilah kecerdasan emosional (EQ) telah diterima menjadi kependekan dari Emotional Intelligence, yang setara dengan kecerdasan intelektual (IQ). Studi- studi ini juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang secara teknik unggul dan memiliki kecerdasan emosional (EQ) tinggi adalah orang yang mampumengatasi konflik atau bisa mengkondisikan orang-orang yang dipimpinnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata keberhasilan seorang pemimpin juga ditentukan oleh kecerdasan emosional yang tidak hanya ditentukan olehkecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi. Syarat lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kecerdasanemosional, sebagaimana di katakan oleh seorang Psikolog bernama Howard Garner dalam Steven beliau mengemukakan bahwa adanya inteligensi lain, yang disebut sebagai kecerdasan emosional, dengan kecerdasan tersebut orang punterbuka wawasannya.

Berdasarkan pengamatan dan kejadian dalam masyarakat mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya, bahkan terkadang lebih ampuh daripada IQ. Serangkaian studi menunjukkan bahwa orangyang secara intelektual cerdas sering kali bukan orang yang paling berhasil dalam pekerjaannya maupun dalam kehidupan pribadinya. Kecakapan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Kecerdasan emosional dapat diajarkan dan akan memberikan peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi intelektual. Kecerdasan emosional sangat diperlukan untuk menanggulangi tumbuhnya sifat mementingkan diri sendiri, mengutamakan tindak kekerasan, dan sifat-sifat jahat yang lain. Orang yang memiliki kecerdasan emosional dapat mengendalikan diri, memiliki kontrol moral, memiliki kemauan yang baik, dapat berempati (mampu membaca perasaan orang lain), serta peka terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain sehingga memiliki karakter (watak) terpuji dan membangun hubungan antar pribadi yang lebih harmonis.Para pemimpin besar bekerja dengan melibatkan emosi. Para pemimpin besar menggerakkan kita dengan cara membangkitkan semangat dan mengispirasi yang terbaik dalam diri kita. Apapun yang mereka canangkan tergantung pada bagaimana cara mereka melalukannya, bahkan jika segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan benar tetapi pemimpin gagal dalam mengemban tugas mendasarnya yaitu mengarahkan emosi kearah yang benar, maka yang mereka lakukan tidak akan mendapat hasil sebagaimana mestinya.

Tugas untuk mengarahkan emosi ini bersifat primal (yang utama). Tugas ini merupakan tindakan yang orisinal sekaligus paling penting dari kepemimpinan. Pemimpin selalu memainkan peran emosi yang primordial, entah ia adalah kepala suku atau kepala adat, mereka mendapatkan kedudukannya. Tugas emosi yang primordial ini dalam organisasi modern meskipun sebagian besar tidak kasat mata tetapi merupakan tugas terdepan di antara banyak tugas kepemimpinan lainnya. Tugas emosi ini berupa menggerakkan emosi kolektif kearah yang positif dan menyingkirkan kabut asap yang terbentuk oleh emosi-emosi beracun. Pemimpin mempunyai daya maksimal untuk mengelola emosi setiap orang. Jika emosi orang-orang didorong ke arah antusiasme, kinerja akan meningkat, jika orang-orang di dorong ke arah kebencian dan kecemasan kinerja mereka akan merosot. Ini menunjukan aspek penting lain primal leadership, pengaruhnya lebih luas ketimbang sekadar memastikan bahwapekerjaan akan dilakukan dengan baik. Para pengikut juga mencari hubunganemosi yang akan mendukung seorang pemimpin dalam hal mencari empati.

Kemampuan pemimpin untuk untuk memancing keluar sisi terbaik darisetiap orang disebut dengan resonance, sedangkan jika pemimpin menggerakanemosi secara negatif maka pemimpin disebut menyebarkan benih dissonance. Salah satu tanda pemipin yang resonance adalah adanya kelompok pengikut yangbervibrasi dengan energi semangat dan atusiasme pemimpin. Ciri primalleadership adalah bahwa resonansi itu menguatkan dan memperpanjang dampakemosi kepemimpinan. Semakin tinggi tingkat resonansi orang-orang, semakinsedikit suara gerak statis di dalam interaksi mereka, resonansi mengurangi gangguan suara pada sistem. Perekat yang meletakkan orang-orang di dalam sebuah tim dan yang mengikat orang kepada sebuah organisasi, adalah emosi yang mereka rasakan.

Kunci agar primal leadership ini dapat bekerja denga baikadalah terletak pada kompetensi kecerdasan emosi pemimpin, bagaimana  terutama karena kemampuan mereka untuk menggerakan emosi. pemimpin menangani dirinya sendiri dan relasi-relasinya.[2] Pemimpin yang memaksimalkan manfaat primal leadership akan menggerakkan emosi pengikutnya ke arah yang benar sesuai dengan syariat Islam.

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanatkepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisaa; 58-59).

Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Laluperkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.

 Terdapat lima domain dalam kecerdasan emosi: Pertama, adalah kesadarandiri artinya memiliki pengertian yang mendalam akan emosi diri, juga kekuatandan keterbatasan diri, serta nilai-nilai dan motif-motif diri. Kedua, pengelolaandiri artinya memiliki kendali emosi, menunjukan kejujuran dan integritas,kemampuan menyesuaikan diri, memiliki dorongan untuk memperbaiki kinerjauntuk memenuhi standar kerja, memiliki inisiatif, dan selalu melihat sisi positif untuk suatu peristiwa. Ketiga, agenda pembelajaran merupakan Rencana perbaikan yang berfokus pada pembelajaran dan tidak hanya berfokus pada hasil kerja, merupakan rencana yang paling efektif. Keempat kesadaran sosial artinnya memiliki empati, dapat membaca apa yang sedang terjadi dan mengenali serta memenuhi kebutuhan pengikut, klien atau pelanggan.

Kelima, pengelolaan relasi artinya dapat membimbing, menguasai berbagai taktik membujuk, menunjang kemampuan orang lain melalui umpan balik dan bimbingan, memprakarsai dan memimpin di arah yang baru, memiliki kemampuan pengelolaan konflik, menumbuhkan dan memelihara jaringan relasi, dapat bekerja sama dan membangun kelompok. Kelima hal tersebut adalah satu set keterampilan penting bagi kepemimpinan yang resoanan.  Kecerdasan emosi bukanlah bakat alami tetapi kemampuan yang dapat dipelajari, masing-masing memberikan sumbangan yang unik untuk menciptakan pemimpin yang resonan.[3]

 

 

C.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Tidak terdapat formula khusus bagi kepemimpinan yang hebat, banyak jalan untuk meraih keunggulan kepemimpinan. Pemimpin yang hebat bisa memiliki gaya personal yang berbeda, namun pemimpin yang efektif tipikalnya menunjukkan keunggulan pada salah satu kompetensi  dari keempat bidang kecerdasan emosional. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian Goleman (1999), bahwa pemimpin yang ideal mempunyai kompetensi personal dan kompetensi sosial.

a.       Kompetensi Personal, yang meliputi :

1.      Kesadaran diri emosional : dapat membaca diri dan mengenali dampaknya, menggunakan insting,nyali untuk memandu pembuatan keputusan.

2.      Penilaian Diri : secara akurat dapat mengukur kekuatan dan keterbatasan diri sendiri.

3.      Kepercayaan Diri: perasaan akan harga diri dan kemampuan diri yang baik.

4.      Manajemen Diri : Kendali Diri emosi : mengendalikan emosi dan gerak hati yang mengganggu. Transparansi : menunjukkan kejujuran dan integritas; terpercaya Pencapaian : hasrat untuk memperbaiki performa untuk mencapai standard keunggulan diri.

5.      Adaptabilitas : maksudnya bisa fleksibel dalam mengatasi perubahan

6.      Inisiatif : kesiapan untuk bertindak dan mengambil keputusan

7.      Optimisme : selalu melihat sisi baik, setiap kejadian.

b.      Kompetensi Sosial, yang terdiri dari :

1.      Kesadaran Sosial:

2.      Empaty : merasakan emosi orang lain, memahami perspektif mereka, dan berminat dengan urusan mereka

3.      Kesadaran organisasi : dapat membaca arus, jaringan pembuat keputusan dan politik pada tingkat organisasi.

4.      Pelayanan : mengenali dan memenuhi kebutuhan pendukung, klien dan konsumen.

5.      Manajemen Hubungan : Pengaruh : dapat menggunakan teknik persuasif yang efektif. Manajemen konflik : dapat menyelesaikan perselisihan yang timbul, dengan baik. Inspiratif : memandu dan memotivasi dengan pandangan yang mendorong. Katalis perubahan : memulai, mengatur dan memimpin jalan ke arah yang baru. Membangun ikatan : menebar dan mempertahankan jaringan/hubungan yang ada. Kerja tim dan Kolaborasi : mengedepankan kerjasama dan membangun tim.

Dengan demikian seseorang pemimpin/manajer yang hebat bukanlah seseorang yang melakukan kesia-siaan dengan mempelajari bakat baru, akan tetapi mereka yang lebih fokus menyesuaikan bakat yang dimiliki dengan tuntutan peran (sebagai pemimpin). Jadi kecocokan antara peran, bakat ,kompetensi dan kecerdasan emosional adalah faktor penting dalam menentukan performa seorang pemimpin.

D.    Dimensi Kecerdasan Emosional Bagi Organisasi

Dimensi Kepemimpinan berbasis kecerdasan emosi ditandai dengan adanya beberapa kompetensi pada diri seorang pemimpin tersebut. Pertama adalah kompetensi kesadaran diri. Ahli psikologi bernama John Mayer mengungkapkan bahwa sadar diri merupakan salah satu gaya khas seseorang dalam mengatasi emosi diri. Seseorang dapat juga menganut gaya lain, yakni larut dalam permasalahan atau bahkan pasrah dalam menghadapi masalah.[4]

Pemimpin yang memiliki kesadaran diri dapat digambarkan dengan kondisi mampu mengenali pengaruh kondisi perasaan yang mereka alami terhadap diri sendiri dan kinerja mereka di dalam organisasi. Biasanya pemimpin yang memilki kesadaran diri tersebut juga dapat menilai diri mereka dengan akurat, seperti mengenali keterbatasan dan kekuatan yang terdapat pada dirinya. Dengan mengenali keterbatasan dirinya, maka dia tahu kapan harus meminta tolong kepada orang lain. Namun ketika pemimpin menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan maka pemimpin tersebut memiliki kepercayaan diri sekalipun mendapatkan tugas yang sulit, hal ini yang membuat kehadirannya dapat terlihat sangat mencolok di dalam suatu kelompok atau organisasi.

Kedua adalah kompetensi pengelolaan diri, kompetensi ini dapat dilihat dari kesanggupan pemimpin mengelola emosi diri, bahkan dalam situasi yang sulit. Pengelolaan emosi tidak selalu dapat diartikan menahan atau menekan emosi yang muncul, melainkan memahami emosi untuk kemudian dapat melakukan suatu tindakan yang baik untuk dilakukan.[5] Situasi sulit pemimpin antara lain ketika pemimpin memiliki banyak masalah, tidak membuat pemimpin kehilangan fokus atau konsentrasinya hingga masalah tersebut berhasil terpecahkan. Pengelolaan diri dalam memimpin organisasi juga dapat dilihat ketika pemimpin membuat keputusan seperti tujuan organisasi.

Pemimpin dengan kemampuan ini mampu merumuskan tujuan organisasi secara realistis dan terukur. Ketika ada pemimpin yang menetapkan tujuan dengan tidak menghitung kerealistisan suatu tujuan, atau lebih terpengaruhi oleh keinginan atau ego dirinya, maka dianggap tidak memiliki kemampuan pengelolaan diri yang baik. Tidak berhenti dari kemampuan untuk fokus atau mampu menentukan kebijakan secara realistis, pemimpin dengan kemampuan pengelolaan diri yang baik bahkan dapat memiliki inisiatif hingga keoptimisan dalam bekerja. Kemampuan pengelolaan dirinya dapat dilihat dari inisiatif yang dia munculkan dikala menghadapi masalah. Ketika pemimpin tidak memiliki kemampuan pengelolaan diri yang baik biasanya akan kehilangan fokus dan akan sulit memiliki inisiatif hingga tidak memiliki optimisme untuk memecahkan masalah.[6] Sehingga secara garis besarnya, jika ada pemimpin yang sering kali bingung, kehilangan fokus, kurang bisa memiliki inisiatif, bahkan pesimis dalam menghadapi masalah, belum bisa dikatakan memiliki kompetensi pengelolaan diri yang dimaksudkan dalam teori ini.

Ketiga adalah kompetensi kesadaran sosial, pemimpin yang memiliki kompetensi ini dapat memposisikan diri seperti yang dirasakan orang lain,sehingga bisa membangun hubungan yang baik dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Seorang ahli psikologi humanis dan praktisi kesehatan bernama Jean Wipperman mengungkapkan bahwa empati membuat seseorang dapat memperhatikan kebutuhan sosial yang menuntut tindakan penyikapan, dengan begitu masalah sosial akan menjadi masalah pribadi, dan hal ini membuat pribadi tersebut menjadi bagian dari masyarakat yang sesungguhnya. Sudut pandang kecerdasan emosi memberi penilaian bahwa seseorang dapat dikatakan semakin menjadi warga negara ketika perasaan ibanya terhadap kondisi sosial semakin bertambah.[7]

Pemimpin dengan kompetensi kesadaran sosial biasanya tidak hanya fokus ataupun sibuk dengan kehidupannya sendiri, tetapi dia juga memiliki kesadaran mengenai apa yang sedang terjadi di dalam organisasinya. Misalnya ketika ada upaya-upaya dari bawahan dengan menghidupkan suatu aturan yang tidak dilegalkan oleh organisasi, maka pemimpin ini bisa mengetahuinya karena sadar terhadap apapun yang terjadi di dalam organisasinya. Karena adanya kesadaran sosial terutama dalam berorganisasi, pemimpin dengan kompetensi ini bahkan mampu mengetahui kebutuhan hingga mampu menyediakan dirinya ketika diperlukan oleh bawahannya atau pelanggan dari organisasinya.[8]

Berdasarkan penjelasan di atas, jika ada pemimpin yang tidak bisa mengerti tentang yang dirasakan atau dibutuhkan orang lain terutama bawahannya, tidak pernah memiliki waktu ketika dibutuhkan oleh bawahannya, maka tidak sesuai dengan kompetensi ini. Lebih parahnya lagi, ketika seorang pemimpin tidak terlalu mengerti tentang hal-hal atau masalah yang sedang terjadi di organisasi yang dipimpinnya, maka belum bisa dikatakan memiliki kompetensi kesadaran sosial menurut teori ini.

Keempat adalah kompetensi pengelolaan relasi. Pemimpin dengan kompetensi ini mampu mengelola bawahan dengan baik salah satunya mampu menggerakkan orang atau bawahan dalam menggapai visi dan misi. Maksudnya, pemimpin dengan kompetensi ini tidak hanya sekedar memerintah bawahan untuk mencapai visi misi organisasi, melainkan dia sendiri juga menunjukkan perilaku dan kesungguhan untuk mencapai visi-misi tersebut dalam kehidupan berorganisasi. Hal ini kemudian mampu menginspirasi bawahan untuk mengikutinya. Pemimpin yang memiliki pengelolaan relasi yang baik dengan bawahan, tidak hanya sekedar mempekerjakan bawahan, melainkan juga mampu mengembangkan potensi bawahannya. Dia bisa membuat bawahannya mampu melaksanakan pekerjaan di dalam organisasinya. Ketika terjadi konflik di dalam organisasi, kemampuan pengelolaan relasi ini diwujudkan dengan mengembalikan lagi hubungan relasi yang baik di dalam organisasi. Misalnya ketika ada pertengkaran antar sesama bawahan, maka pemimpin ini mampu meredam atau menyelesaikannya, hingga membangun hubungan dan semangat kerjasama yang baik di dalam organisasinya.[9]

Seorang psikolog bidang organisasi bernama Hendrie Weisinger mengungkapkan bahwa membantu orang lain adalah salah satu hal berharga untuk diterapkan pada suatu organisasi. Perilaku tersebut dapat menumbuhkan hubungan baik dengan orang lain yang dibantu, dipandang sebagai orang yang penting dalam suatu organisasi, membuat orang lain lebih produktif hingga berefek pada produktifitas organisasi.67 Perilaku tersebut tentunya perlu diterapkan oleh seorang pemimpin ketika ingin menghasilkan produktifitas pada organisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, ketika ada pemimpin yang hanya memerintah bawahan tanpa memberi contoh atau tidak bisa membuat bawahan tersebut mampu melakukan pekerjaannya, maka tidak bisa dikatakan memiliki kompetensi ini. Begitupun juga ketika ada pemimpin yang tidak bisa meredam konflik, membiarkan konflik terjadi, hingga hubungan antar sesama anggota organisasi kurang terjalin dengan baik, juga tidak mencerminkan pemimpin dengan kompetensi pengelolaan relasi di menurut teori ini.

E.     Dampak kecerdasan Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Emosional

Organisasi/Perusahaan harus memusatkan perhatian pada kebutuhan pelanggan, hal tersebut telah membawa kesadaran akan pentingnya menyatukan sikap dan komitmen semua individu yang ada di dalamnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka secara efektif. Organisasi yang mengharapkan dapat berkinerja dengan baik atau mempunyai produktivitas yang tinggi haruslah beranggotakan atau mempunyai karyawan/ orang-orang yang sesuai dengan budaya ‘unik’ dari organisasi yang bersangkutan. Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang memiliki Kecerdasan emosional yang memadai. Untuk itu dalam melakukan perekrutan tenaga kerja atau anggota, haruslah melakukan evaluasi secara menyeluruh, yaitu memilih karyawan/anggota berdasarkan pada empat elemen utama pada kecerdasan emosional, yaitu : kesadaran diri; manajemen diri; kesadaran sosial; dan manajemen hubungan (telah diuraikan di atas).

Dimulai dari perekrutan anggota/karyawan berdasarkan elemen kecerdasan emosional, organisasi/perusahaan akan mendapatkan individu-individu yang bermanfaat tinggi, sehingga keberhasilan organisasi bukanlah menjadi sesuatu yang sulit. Karena dengan kecerdasan emosional yang dimiliki individu-individu di dalam organisasi maka akan terbentuk 5 pola utama yang dapat mewujudkan suatu lingkungan yang seimbang di dalam organisasi, artinya karyawan tidak hanya akan mencari dan meningkatkan keberhasilan diri mereka sendiri, akan tetapi juga keberhasilan organisasi mereka.Lima pola utama tersebut menurut Department of Trade and Industry and Departmen Education (1997) adalah :

1.      Tujuan bersama, artinya semua individu dalam organisasi memahami bisnis/usaha yang sedang dijalankan

2.      Budaya bersama, yaitu mamahami dan menyetujui nilai-nilai yang dapat menyatukan mereka

3.      Pembelajaran bersama, maksudnya secara berkelanjutan mereka mau dan mampu memperbaiki diri sendiri.

4.      Usaha bersama, menyadari bahwa perusahaan/organisasi adalah suatu bisnis yang dikendalikan oleh tim yang fleksibel, sehingga arus informasi yang mengalir dari dan untuk tim akan meningkatkan keefektifan mereka.

5.      Informasi bersama, mengutamakan komunikasi yang efektif di seluruh organisasi/perusahaan .

F.      Emotional Competence Inventory

The Emotional Competence Inventory 2.0 (ECI) merupakan salah satu alat ukur kecerdasan emosi yang mulai banyak digunakan dalam mengukur kecerdasan emosi. Instrumen alat ukur kecerdasan emosi disusun berdasarkan teori kompetensi emosional dari Dr. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence dan Hay/McBer’s Generic Competency Dictionary atau yang biasa disebut juga dengan Self-Assessment Questionnaire (SAQ) dari Dr. Richard Boyatzis.

ECI (Wolff, 2005) mengukur 18 kompetensi emosional yang mencakup empat klaster yaitu kesadaran diri (self-awareness), pengelolaan diri (self-management), kesadaran sosial (social awareness) dan pengelolaan hubungan (relationship management). Berikut rincian ke-18 kompetensi emosional tersebut.

Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Kesadaran diri merujuk pada kemampuan mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi. Klaster kesadaran diri meliputi tiga kompetensi, antara lain:

  1. Kesadaran emosi (emotional awareness): Mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
  2. Penilaian diri secara teliti (accurate self-asssessment : Mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
  3. Percaya diri (self –confidence): Keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

Pengelolaan Diri (Self-Management)

Pengelolaan diri merujuk pada pengelolaan kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri. Klaster pengelolaan diri meliputi enam kompetensi, antara lain:

  1. Kendali diri emosi (emotional self-control): Mengelola emosi dan impuls yang merusak.
  2. Sifat dapat dipercaya (transparency): Memelihara integritas, berperilaku sesuai dengan nilai pada diri sendiri.
  3. Adaptabilitas (adaptability): Keluwesan dalam menghadapi perubahan.
  4. Dorongan berprestasi (achievement): Dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
  5. Inisiatif (initiative): Kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
  6. Optimisme (optimism): Kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.

Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Kesadaran sosial merujuk pada bagaimana seseorang menangani hubungan dan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan perhatian orang lain. Klaster kesadaran sosial meliputi tiga kompetensi, antara lain:

  1. Empati (empathy): Mengindra perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
  2. Kesadaran politis (organizational awareness): Mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan perusahaan.
  3. Orientasi pelayanan (service orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.

Pengelolaan Hubungan (Relationship Management)

Pengelolaan hubungan adalah kemampuan atau kecakapan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Klaster pengelolaan hubungan meliputi enam kompetensi, antara lain:

  1. Mengembangkan orang lain (developing others): Merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
  2. Kepemimpinan yang inspiratif (inspirational leadership): Membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain.
  3. Katalisator perubahan (change catalist): Memulai dan mengelola perubahan.
  4. Pengaruh (influence): Memiliki taktik untuk melakukan persuasi.
  5. Manajemen konflik (conflict management): Negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
  6. Kolaborasi dan kooperasi (teamwork and collaboration): Kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama. Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Emotional Competency Inventory (ECI) digunakan terutama untuk mengukur kecerdasan emosi di bidang industri dan organisasi. Hal ini terbukti dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ECI berhubungan dengan hasil seperti kesuksesan hidup seseorang, kinerja departemen, persepsi kepemimpinan dalam kelompok, kinerja penjualan, kinerja pemadam kebakaran, kepuasan jamaah gereja, dan lain-lain (Wolff, 2005).[10]

 

 

 

 

BAB III
KESIMPULAN

Dalam pelaksanaan pekerjaan Kecerdasan emosional (IE) lebih penting dari pada IQ, karena kecerdasan emosional adalah kemampuan, ketrampilan, dan kompetensi non kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan dari lingkungannya. Kepemilikan kecerdasan emosional yang tinggi merupakan atribut yang penting untuk keberhasilan seorang pemimpin. Dengan individu-individu yang memiliki kecerdasan emosional, suatu organisasi/perusahaan dapat mewujudkan lingkungan yang seimbang, dimana para individunya tidak hanya mencari dan meningkatkan keberhasilan diri sendiri akan tetapi juga untuk organisasi mereka.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Goleman , Daniel et al. Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi.

https://www.psychologymania.com/2012/07/pengukuran-kecerdasan-emosional.html, diakses pada Selasa, 01 Februari 2022.

Weisinger, Hendrie. 2006. Emotional Intelligence at work, terj. Roro Ratih  Ambarwati, (Jakarta: Buana Ilmu Populer).

Wipperman, Jean. Meningkatkan Kecerdasaan Emosional.



[1] Hendrie Weisinger, Emotional Intelligence at work, terj. Roro Ratih  Ambarwati, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2006), hlm. xv.

[2] Daniel Goleman et al, Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi, hlm. 8-9.

[3] Jean Wipperman, Meningkatkan Kecerdasaan Emosional, hlm. 189.

[4] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 65.

[5] Daniel Goleman et al, Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi, hlm. 303-304.

[6] Hendrie Weisinger, Emotional Intelligence at work, hlm. 37.

[7] Jean Wipperman, Meningkatkan Kecerdasaan Emosional, hlm. 189.

[8] Daniel Goleman et al, Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi, hlm. 305-306.

[9] Daniel Goleman et al, Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi, hlm. 306-307.