Makalah kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual

Daftar Isi

 

1

 
MAKALAH

KEPEMIMPINAN BERBASIS KECERDASAN SPIRITUAL

 

Disusun untuk memenuhi tugas

 

Mata Kuliah : Kepemimpinan Pendidikan Islam Dosen Pengampu :

Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag





Oleh:

ABDUL FATAH (NIM : 2110907) IIN NURDIYATI (NIM : 2110916)

LU’LU’ NUR ROKHMAH (NIM : 2110906)

 

Jurusan Tarbiyah

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI)

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA                                 ISLAM NAHDLATUL ULAMA

(IAINU) KEBUMEN TAHUN                 2022

 

 

 

 

 

1


 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Spiritual.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Spiritual ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

 

Kebumen, 02 Februari 2022

 

 

 

 

Penyusun


 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ 1

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah............................................................................. 4

B.     Rumusan Masalah...................................................................................... 5

C.     Tujuan Makalah.......................................................................................... 5

D.    Manfaat Makalah....................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A.    Kecerdasan Spiritual.................................................................................. 7

B.     Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual.................................... 10

C.     Dimensi Kecerdasan Spiritual.................................................................... 12

D.    Dampak Kecerdasan Spiritual Bagi Organisasi.......................................... 16

E.     Spiritual Competency Inventory................................................................ 20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA


 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

 

A.               Latar Belakang Masalah

Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian manuasia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunya kelebihan kemampuan untu memimpin. Disinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan. Keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh pemimpin.

Peran dan fungsi pemimpin harus menunjukkan manfaat yang besar bagi kemajuan organisasi yang dipimpinnya. Kedudukan sebagai pemimpin dalam suatu organisasi merupakan posisi yang sangat penting dan diakui bahwa tanggung jawab dari seorang pemimpin sangat berat. Pemimpin harus bisa mengelola seluruh sumber daya yang ada dalam suatu organisasi. Disamping itu juga, pemimpin harus mampu menggerakkan semua orangorang yang dipimpinnya untuk mau melakukan suatu pekerjaan. Seorang pemimpin tidak hanya menggunakan kekuasaannya dalam menggerakkan orangorang yang dipimpinnya, tetapi pemimpin juga harus melayani bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Tidak semua pemimpin mampu menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil melakukan perubahan-perubahan bagi organisasi ataupun negara yang dipimpinnya. Banyak pemimpin yang tidak sepenuh hati melayani, tidak memberikan rasa keadilan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi orangorang yang dipimpinnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kualitas kepribadian dan memiliki nilai-nilai spiritual dalam memimpin. Sehingga pemimpin tersebut dapat melakukan perubahan-perubahan bagi organisasi atau negara yang


 

 

 

 

 

dipimpinnya, peduli terhadap lingkungan, lebih melayani kepada orang lain, serta mampu memberikan karya-karya yang terbaik dari peran kepemimpinannya. Ketidakhadiran pemimpin yang berkualitas, akan menyebabkan tujuan tidak terarah dan tidak tercapai dengan maksimal. Oleh karena itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan atau nilai-nilai spiritual untuk mampu melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab dengan baik serta mampu menjawab berbagai tantangan kepemimpinan yang semakin kompleks.

B.                Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dimuka dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan pokok masalah tersebut adalah:

1.            Apa itu kecerdasan spiritual ?

2.            Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual ?

3.            Apa dimensi kecerdasan spiritual ?

4.            Bagaimana dampak kecerdasan spiritual bagi organisasi ?

5.            Bagaimana spiritual competency inventory ?

C.                 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.            Untuk mengetahui kecerdasan spiritual,

2.            Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual,

3.            Untuk mengetahui dimensi kecerdasan spiritual,

4.            Untuk mengetahui bagaimana dampak kecerdasan spiritual bagi organisasi,

5.            Untuk mengetahui bagaimana spiritual competency inventory.

D.               Manfaat

Dalam pembuatan makalah ini, penulis ingin memperoleh manfaat dari segi keilmuan (teoritis) maupun aspek terapan (praktis). Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah pembuatan makalah ini adalah:

1.          Aspek keilmuan (teoritis)

Diharapkan dapat menambah kajian tentang kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual.

2.          Aspek terapan (praktis)


 

 

 

 

 

a.          Untuk menambah referensi terkait nilai-nilai pendidikan Islam sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya menjadi pendidik.

b.         Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.


 

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

A.       Kecerdasan Spiritual

Secara etimologi (tinjauan kebahasaan) istilah kecerdasan berasal dari bahasa Inggris intelligence yang berarti kecerdasan. Kecerdasan berasal dari kata cerdas, yaitu sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, mengerti dan sebagainya), kemudian mendapat awalan ke dan akhiran an menjadi kecerdasan, yaitu kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran dan sebagainya).1

Sedangkan secara istilah, ruhaniah berasal dari kata “spiritual” yang berarti ruhani atau keagamaan. Ruhaniah berarti sesuatu yang hidup yang tidak berbadan yang berakal budi dan berperasaan. Spiritual berasal dari kata spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spritus yang berarti nafas. Dalam istilah modern mengacu kepada energi batin yang non jasmani meliputi emosi dan karakter.2 Dalam kamus psikologi, spirit adalah suatu zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas energi disposisi, moral atau motivasi.3

Menurut KH. Toto Tasmara kecerdasan ruhaniah adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang mengilahi (merujuk pada wahyu Allah) dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan berempati dan beradaptasi. Kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran secara pengetahuan Ilahi (Pencipta Alam Semesta), kecerdasan yang membuahkan rasa cinta yang mendalam terhadap kebenaran sehingga seluruh tindakannya akan dibimbing oleh ilmu Illahiah yang

 

 


1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Gitamedia Press, 1994, hlm. 188

2 Toni Buzan, Kekuatan ESQ: 10 Langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional Spiritual, terjemahan Ana Budi Kuswandani, Indonesia: PT. Pustaka Delapratosa, 2003, hlm. 6

3 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hlm. 480


 

 

 

 

 

mengantarkannya kepada ma’rifatullah.4 Menurut Ary Ginananjar Agustian kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.5

Dari beberapa pengertian tentang kecerdasan spiritual secara terminologi yang diutarakan oleh beberapa ilmuwan, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan (kemampuan) yang terdapat dalam diri seseorang yang dapat ditunjukkan melalui perilaku- perilaku keruhaniahan atau keagamaan. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh suatu individu yang dapat memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional secara efektif melalui rasa cinta dan kasih sayang kepada sesamanya karena kesalehannnya terhadap Allah. Dalam terminologi Islam, dapat dikatakan bahwa SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada qalb. Qalb inilah yang sebenarnya merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh manusia. Ia adalah raja bagi semua anggota tubuh yang lain. Semua aktivitas manusia berada di bawah kendalinya. Jika qalb ini sudah baik, maka gerak dan aktivitas anggota tubuh yang lain akan baik pula.


Dalam pengukuran kecerdasan spiritual maka dapat diketahui akhlak seseorang yang ditinjau dari kecerdasan spiritual. Pengukuran itu dilihat semakin tinggi keimanan dan ketakwaan seorang individu maka  akan semakin tinggi budi pekertinya atau akhlak dan akan semakin tinggi pula kecerdasan spiritualnya. Sehingga akan menjadikannya seorang individu memiliki kepribadian yang bertanggung jawab. Oleh karenanya kecerdasan spiritual dapat membentuk akhlak mulia, dan juga memiliki kepribadian yang luhur. Potensi kecerdasan spiritual manusia akan terus cemerlang selama manusia mau mengasahnya, sebab potensi yang secara hakiki ditiupkan ke dalam tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu mengajak kepada kebenaran.

4 oto Tasmara, Op. Cit., hlm. 50

5 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Arga, 2002, hlm. 57


 

 

 

 

 

Allah menganugerahkan kepada manusia terlahir dengan dibekali beberapa kecerdasan yang terdiri dari lima bagian utama, yaitu sebagai berikut:

1.                   Kecerdasan ruhaniah (spiritual intellegence): kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam caranya menempatkan diri dalam pergaulan.

2.                   Kecerdasan intelektual: kemampuan seseorang dalam memainkan potensi logika, kemampuan berhitung, menganalisa dan matematika (logikal- mathematical intellegence)

3.                   Kecerdasan emosional (emotional intellegence): kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan dirinya untuk memahami irama, nada, musik, serta nilai-nilai estetika.

4.                   Kecerdasan sosial: kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain, baik individu maupun kelompok. Dalam kecerdasan ini termasuk pula interpersonal, intrapersonal, skill dan kemampuan berkomunikasi (linguistic intellegence).

5.                   Kecerdasan fisik (bodily-kinestetic intellegence): kemampuan seseorang dalam mengkoordinasikan dan memainkan isyarat-isyarat tubuhnya.6 Dengan demikian, di dalam qalbu, selain memiliki fungsi indrawi, di


dalamnya ada ruhani, yaitu moral dan nilai-nilai etika, artinya dialah yang menentukan tentang rasa bersalah, baik buruk, serta mengambil keputusan berdasarkan tanggung jawab moralnya tersebut. Itulah sebabnya, penilaian akhir dari sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh fungsi qalbu. Kecerdasan ruhaniah tidak hanya mampu mengetahui nilai-nilai, tata susila, dan adat istiadat saja, melainkan kesetiannya pada suara hati yang paling sejati dari lubuk hatinya sendiri. Disinilah al-Qur'an mengarahkan misinya dalam kecerdasan ruhaniah. Ia membangkitkan rasa cinta kepada kebenaran di dalam jiwa manusia, memberikan kehormatan dan barakah kepadanya serta mendorongnya untuk selalu mengikuti dan menerima ajaran Allah dengan penuh kerelaan.

6 Toto Tasmara, Op.Cit., hlm. 49


 

 

 

 

 

B.        Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual

Ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung seperti: sumber kecerdasan itu sendiri (God-Spot), potensi qalbu (hati nurani) dan kehendak nafsu.

1.          Faktor Pendukung

a.             God- Spot (Titik Tuhan) Seorang ahli syaraf dari California University yaitu Prof. V.S. Ramachandran telah berhasil mengidentifikasi God- Spot dalam otak manusia, yang merupakan pusat spiritual terletak antara jaringan saraf dan otak. 7 Dalam peneltiannya Ramachandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God-Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual.

b.            Potensi Qalbu Menggali potensi qalbu, secara klasik sering dihubungkan dengan ‘polemos’ amarah, ‘eros’ cinta dan ‘logos’ pengetahuan. 8 Padahal dimensi qalbu tidak hanya mencakup atau dicakup dengan pembatasan katagori yang pasti. Menangkap dan memahami pengertiannya secara utuh adalah kemustahilan. Itu hanyalah sebagai asumsi dari proses perenungan yang sangat personal karena didalam qalbu terdapat potensi yang sangat multi dimensional. Diantaranya adalah sebagai berikut :

1)             Fu’ad

Merupakan potensi qalbu yang sangat berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi  rasional  kognitif).  Fu’ad  memberi  ruang  untuk  akal, berpikir, bertafakur, memilih dan memilah seluruh data yang masuk dalam qalbu. Sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang


7 Ary Ginanjar Agustian, Op.Cit., hlm. 38

8 Toto Tasmara, Op.Cit., hlm. 93


 

 

 

 

 

bermuatan moral. Pengawas setia sang fu’ad adalah akal, zikir, pendengaran dan penglihatan yang secara nyata yang sistimatis diuraikan dalam Al-Qur’an. Fungsi akal adalah membantu fu’ad untuk menangkap seluruh fenomena yang bersifat lahir, wujud, dan nyata dengan mempergunakan fungsi nazhar indra penglihatan.

2)             Shadr

Shadr berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi  emosi  (marah,  benci,  cinta,  indah,  efektif).  Shadr adalah dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, sehingga mampu menerjemahkan segala sesuatu serumit apapun menjadi indah dari karyanya.

Berbeda dengan Fu’ad yang berorientasi kedepan. Shadr memandang pada masa lalu, kesejarahan, serta nostalgia melalui rasa, pengalaman dan keberhasilan sebagai cermin. Dengan kompetensinya untuk   melihat   dunia   masa   lalu,   manusia  mempunyai  kemampuan untuk menimbang, membanding dan menghasilkan kearifan.9

3)             Hawaa

Hawaa merupakan potensi qalbu  yang  mengarahkan kemauan. Di dalamnya ada ambisi, kekuasaan, pengaruh, dan keinginan untuk mendunia. Potensi hawaa cendrung untuk membumi dan merasakan nikmat dunia yang bersifat fana. Fitrah manusia yang dimuliakan Allah, akhirnya tergelincir menjadi hina dikarenakan manusia tetap terpikat pada dunia.


Potensi hawaa selalu ingin membawa pada sikap-sikap yang rendah, menggoda, merayu dan menyesatkan tetapi sekaligus memikat. Walaupun cahaya di dalam qalbu pada fitrahnya selalu benderang, tetapi karena manusia mempunyai hawaa ini, maka seluruh qalbu bisa rusak binasa karena keterpikatan dan bisikan yang dihembuskan setan kedalam potensi seluruh hawaa.

9 Ibid, hlm. 101


 

 

 

 

 

c.             Nafs atau kehendak nafsu

Nafs adalah muara yang menampung hasil olah fu’ad, shadr, dan hawaa yang kemudian menampakan dirinya dalam bentuk perilaku nyata di hadapan manusia lainnya. Nafs merupakan keseluruhan atau totalitas dari diri manusia itu sendiri. Apabila nafs mendapatkan pencerahan dari cahaya qalbu, maka dinding biliknya benderang memantulkan binar-binar kemuliaan. Jiwa nafs yang melangit, merindu, dan menemukan wajah Tuhan akan stabil merasakan kehangatan cinta ilahi.10

2.          Faktor Penghambat

Penyakit spiritual dan reduksi dalam SQ merupakan akibat dari adanya masalah yang berhubungan dengan pusat diri yang terdalam. Semua ini disebabkan oleh seseorang yang dipisahkan dari akar-akar pengasuhan diri yang melampaui ego personal dan budaya asosiatif, dan berkembang menjadi lahan untuk menjadi dirinya sendiri. Konsultan  medis Irlandia, Dr. Michael Kearney, menyebut penderitaan semacam ini luka jiwa: “(Ia) timbul ketika seorang individu terputus hubungannya dari atau berlawanan dari bagian-bagian terdalam dirinya, sementara keterkaitan dengan jiwa dapat menimbulkan keutuhan dan rasa berharga, luka jiwa menggambarkan pengalaman menyangkut perasaan terbelah, terasing, dan tidak berharga.”

Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual. Pertama, tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, kedua telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proporsional, atau dengan cara negatif atau destruktif, dan yang ketiga bertentangannya atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.

C.        Dimensi Kecerdasan Spiritual


Spiritualitas merupakan potensi dari dimensi non-material atau roh manusia. Potensi tersebut seperti intan yang yang belum ter-asah yang dimiliki oleh semua orang. Selanjutnya, tugas setiap oranglah untuk

10Ibid, hlm.110


 

 

 

 

 

mengenali potensi masingmasing sekaligus menggosoknya hingga berkilau dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Spiritualitas, dalam pengertian yang luas, merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan sesuatu yang yang bersifat duniawi dan sementara.11 Individu yang cerdas secara spiritual melihat kehidupan ini lebih agung dan sakral, menjalaninya sebagai sebuah panggilan (vocation) untuk melakukan sesuatu yang unik, menemukan ekstase-ekstase kehidupannya dari pelayanan kepada gagasan-gagasan yang bukan pemuasan diri sendiri, melainkan kepada tujuan luhur dan agung, yang bahkan sering keluar dari dunia ini, bersifat abadi dan eksatologis. Spiritualitas seseorang dapat dilihat dari hidup mereka lebih baik dan cara-cara baru dalam kehidupan mereka, kesediaan mereka untuk mengambil nilai tertinggi untuk menjadi transendental dan bersikeras diri pada pembuatan hubungan dengan orang lain, dengan cara beralih dari perhatian bahan ke perhatian perhatian nyata. Spiritualitas adalah membangun melibatkan kepentingan pribadi dan perhatian kepada orang lain. Spiritualitas meliputi aspek hal melampaui kepada Allah, memperhatikan diri sendiri, dan orang lain. Menjelaskan bahwa dari perspektif iman, spiritualitas dapat dilihat dari empat hubungan yaitu hubungan ke diri, orang lain, alam atau lingkungan dan untuk daya yang lebih tinggi. Remaja yang menemukan spiritualitas akan mampu membuat penyesuaian diri.12

Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dapat memiliki kemampuan bersifat fleksibel, tingkat kesadaran yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, kemampuan untuk menghadapi dan melampui rasa sakit, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, dan keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.  Individu yang cerdas secara spiritual melihat kehidupan ini lebih agung dan sakral,


11 K.A. Khavari, Spiritual Intelligence; A Pratictical Guide to Personal Happiness, Canada: White Mountain Publications, 2000.

12 Lihat, Julia Aridhona, “Hubungan antara Kecerdasan Spiritual dan Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Remaja”, Intuisi; Jurnal Psikologi Ilmiah, Vol. 9, No. 3 (2017).


 

 

 

 

 

menjalaninya sebagai sebuah panggilan untuk melakukan sesuatu yang unik, menemukan ekstase-ekstase kehidupannya dari pelayanan kepada gagasangagasan yang bukan pemuasan diri sendiri, melainkan kepada tujuan luhur dan agung, yang bahkan sering keluar dari dunia ini, bersifat abadi dan eksatologis. Kehidupan menjadi lebih sebagai instrument ketimbang tujuan akhir.13

Ary Ginanjar Agustian, mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah di setup perilaku serta aktivitas melalui langkah-langkah serta pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) Berta berprinsip hanya karena Allah. 14 Berarti orang yang cerdas secara spiritual artinya orang yang bisa mengaktualisasikan nilai-nilai llahiah menjadi manifestasi asal aktifitasnya pada kehidupan sehari-hari serta berupaya mempertahankan keharmonisan serta keselarasan pada kehidupannya, sebagai wujud berasal pengalamannya terhadap tuntutan fitrahnya menjadi makhluk yang mempunyai ketergantungan terhadap kekuatan yang berada di luar jangkauan dirinya yaitu sang Maha Pencipta. Kebutuhan akan spiritual adalah kebutuhan buat mempertahankan keyakinan, mengembalikan keyakinan, memenuhi kewajiban kepercayaan, menyeimbangkan kemampuan intelektual dan emosional yang dimiliki seorang, sebagai akibatnya menggunakan kemampuan ini akan membantu mewujudkan pribadi manusia seutuhnya. Spiritual dalam Islam identik menggunakan kecerdasan ruhaniah yang pada dasarnya tahap pencerdasan ruh ini dapat kita mulai semenjak pra kehamilan, kemudian kita teruskan pada ketika kehamilan, dan kita bangun sejak balita hingga dewasa. Setiap pemeluk kepercayaan yang meyakini eksistensi Allah selaku penciptanya, maka pada dirinya tumbuh spiritualitas tadi.

 

 


13 M. Japar, “Religiousity, Spirituality and Adolescents Self-Adjustment. International Education Studies, Vol. 7, No. 10 (2014): 66.

14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), 553.


 

 

 

 

 

Dengan kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Selain itu, kecerdasan spiritual memberikan kemampuan untuk membedakan, memungkinkan seseorang untuk memberikan batasan serta mampu memberikan kita rasa moral. Hal ini berkaitan dengan aspek moral, sehingga terkait dengan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan kecerdasan spiritual yang tinggi, diharapkan mempunyai rasa moral yang baik dan mampu membedakan antara perbuatan buruk dan yang baik serta bagaimana dia harus bersikap terhadap sesamanya sesuai nilai moral yang dimilikinya.

Dimensi roh berfungsi secara optimal, meskipun kita mendapati tubuh yang kasar, kepribadian kemanusiaan, hubungan serta tanggung jawab yang sama seperti sebelumnya, bepergian atau kebiasaan ini sudah berobah secara dramatis, kesadaran sebagai lensa mendapati tuhan memandang global fisik sebagai akibatnya "kita" menjadi mats yang melaluinya tuhan "melihat" sebagai    akibatnya                dewa          melihat,                maka    penglihatan    kita    merupakan penglihatan dewa. dalam perumpamaan ini terkandung esensi tasawuf. Kisah tentang turunnya setiap jiwa kedalam eksistensi, pengalamannya dalam penderitaan yang diakibatkan sang perpisahan asal keberadaannya yang sejati. Maka makna hidup manusia menggunakan demikian terletak pada tingkat spiritualitas yang dimilikinya. terdapat sebagian manusia beropini bahwa yang dicapai pada proses pembinaan spiritualitas tadi itulah ilahi yang sebenarnya. Bahkan menjadi tenaga peggerak buat membentangkan celah dari masa kemudian ke masa depan adalah bagian asal proses yang berlangsung selama milyaran tahun dan masih berlangsung hingga kini. Perencanaan alama semesta artinya menyadari akan pengaruh pada penyingkapan penciptaan. Jika perubahan kuantum pada kesedaran semacam itu benar-sahih terjadi, itu akan mewakili kemenangan heroik atas determinisme, bukan atas


 

 

 

 

 

alam, melainkan akan batasan-batasan pikiran sendiri yang mencegah buat bekerja secara selaras menggunakan alam semesta.

D.        Dampak Kecerdasan Spiritual Bagi Organisasi

Intellectual Quotient atau IQ menggambarkan kapasitas seseorang untuk melakukan kegiatan mental seperti berpikir, mencari penjelasan, dan memecahkan masalah secara logis.

Berdasarkan hasil tes IQ, dapat ditentukan kemampuan seorang karyawan yang terkait dengan angka, kata-kata, visualisasi, daya ingat, penjelasan deduktif induktif, dan kecepatan mempersepsikan sesuatu. Dengan mengetahui dalam hal apa seorang karyawan memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi,maka perusahaan dapat menempatkan karyawan tersebut pada posisi atau pekerjaan yang sesuai

Istilah kedua yaitu Emotional Quotient atau EQ yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman di sekitar pertengahan tahun 1990-an menjelaskan kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola emosi.

Menurut Goleman, ada empat level kecerdasan emosi. Level pertama adalah self awareness atau kesadaran diri. Pada tahap ini, seorang karyawan dapat mengenal dan memahami emosi, kekuatan dan kelemahan, nilai-nilai serta motivasi dirinya.

Pada level kedua, yaitu self management atau kelola diri, karyawan tidak hanya mampu mengenal dan memahami emosinya, juga mampu mengelola, mengendalikan dan mengarahkannya. Karyawan yang memiliki kemampuan kelola diri yang baik secara rutin melakukan evaluasi diri setelah menghadapi keberhasilan maupun kesuksesan dan mampu mempertahankan motivasi dan perilaku kerjanya untuk menghasilkan kinerja yang baik

Pada level ketiga yang disebut social awareness atau kesadaran sosial, karyawan sudah mampu berempati, yaitu peka terhadap perasaan, pemikiran, dan situasi yang dihadapi orang lain. Kecerdasan emosi memampukan kita untuk menyadari dan memahami perasaan sendiri dan orang lain, memampukan kita menilai suatu situasi dan bertindak sesuai dengan situasi yang dihadapi.


 

 

 

 

 

Dan pada level yang tertinggi yaitu relationship management atau kelola hubungan, seorang karyawan mampu mengendalikan dan mengarahkan emosi orang lain. Karyawan tersebut mampu menginspirasi orang lain, mempengaruhi perasaan dan keyakinan orang lain, mengembangkan kapabilitas orang lain, mengatasi konflik, membina hubungan, dan membentuk kerja sama yang menguntungkan semua pihak

Istilah yang ketiga, yaitu Spiritual Quotient atau SQ diyakini merupakan tingkatan tertinggi dari kecerdasan,yang digunakan untuk menghasilkan arti (meaning) dan nilai (value). Dua jenis kecerdasan yang disebutkan pertama, yaitu IQ dan EQ, merupakan bagian yang terintegrasi dari SQ. Mengacu pada teori motivasi yang dikemukakan Maslow, kecerdasan spiritual terkait dengan aktualisasi diri atau pemenuhan tujuan hidup, yang merupakan tingkatan motivasi yang tertinggi

Kecerdasan spiritual yang tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan dan transformasi pada diri seseorang, tercapainya kehidupan yang berimbang antara karier/pekerjaan dan pribadi/keluarga, serta adanya perasaan suka cita serta puas yang diwujudkan dalam bentuk menghasilkan kontribusi yang positif dan berbagi kebahagiaan kepada lingkungan

SQ walaupun mengandung kata spiritual tidak selalu terkait dengan kepercayaan atau agama. SQ lebih kepada kebutuhan dan kemampuan manusia untuk menemukan arti dan menghasilkan nilai melalui pengalaman yang mereka hadapi

Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kepercayaan atau menjalankan agama,umumnya memiliki tingkat kecerdasan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kepercayaan atau tidak menjalankan agama. Seperti misalnya penelitian yang dilakukan Harold G Koenig dan kawan-kawan yang telah dipublikasikan Oxford University Press dalam bentuk buku berjudul Handbook of Religion and Health

Penelitian yang mereka lakukan menemukan bahwa di setiap tingkatan pendidikan dan usia, orang yang pergi ke rumah ibadah, berdoa dan membaca


 

 

 

 

 

kitab suci secara rutin, ternyata hidup lebih lama sekitar tujuh hingga 14 tahun dan memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak menjalankan ritual keagamaan

Seperti apakah peran SQ di tempat kerja? Karyawan dengan SQ yang tinggi biasanya akan lebih cepat mengalami pemulihan dari suatu penyakit, baik secara fisik maupun mental. Ia lebih mudah bangkit dari suatu kejatuhan atau penderitaan, lebih tahan menghadapi stres, lebih mudah melihat peluang karena memiliki sikap mental positif,serta lebih ceria, bahagia dan merasa puas dalam menjalani kehidupan

Berbeda dengan karyawan yang memiliki SQ rendah. Pada orang dengan SQ rendah, keberhasilan dalam hal karier, pekerjaan, penghasilan, status dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat materi ternyata tidak selalu mampu membuatnya bahagia. Persaingan dan perbedaan kepentingan yang berlangsung begitu ketat sering kali membuat manusia kehilangan arah dan identitas.

Perubahan teknologi yang pesat menghasilkan tekanan yang begitu besar, yang terkadang membutakan manusia dengan kecerdasan spiritual rendah dalam menjalani visi dan misi hidupnya, membuat ia lupa melakukan refleksi diri dan lupa menjalankan perannya sebagai bagian dari komunitas.Kesibukan kerja dan keberhasilan yang dicapai tidak diamalkannya untuk penciptaan arti dan nilai bagi lingkungan.

Bagaimana membentuk kecerdasan spiritual yang tinggi di tempat kerja ? Manusia memiliki pikiran dan roh, ingin mencari arti dan tujuan, berhubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari komunitas. Oleh karenanya,organisasi perlu membentuk budaya spiritualitas di lingkungan kerja.

Organisasi yang bersifat spiritual membantu karyawannya untuk mengembangkan dan mencapai potensi penuh dari dirinya (aktualisasi diri). Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyebutkan budaya spiritualitas yang perlu dibentuk adalah


 

 

 

 

 

Strong sense of purpose. Meskipun pencapaian keuntungan itu penting, tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan budaya spiritual.Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi.

Trust and respect. Organisasi dengan budaya spiritual senantiasa memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut untuk melakukan dan mengakui kesalahan.

Humanistic work practices. Jam kerja yang fleksibel,penghargaan berdasarkan kerja tim,mempersempit perbedaan status dan imbal jasa, adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik manajemen sumber daya manusia yang bersifat spiritual

Toleration of employee expression. Organisasi dengan budaya spiritual memiliki toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk ekspresi emosi karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di tempat kerja tidak dibatasi. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya spiritualitas di tempat kerja.

Bahkan, ada perusahaan yang mendorong dan mengizinkan setiap karyawan untuk menyediakan satu persen dari waktu kerjanya untuk melakukan pekerjaan sukarela bagi pengembangan komunitas, seperti membagikan makanan kepada para tunawisma, kerja bakti membersihkan taman umum, mendirikan perpustakaan atau rumah baca untuk anak-anak jalanan, dan memberi bantuan bagi korban bencana alam.

Southwest Airlines adalah contoh sukses sebuah organisasi spiritual. Pembentukan budaya spiritual di Southwest Airlines telah membuat perusahaan itu menjadi salah satu perusahaan penerbangan dengan turn over terendah, secara konsisten memiliki biaya tenaga kerja terendah per jarak penerbangan, secara tetap mencatat waktu tiba yang lebih cepat dan tingkat komplain yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya, dan terbukti


 

 

 

 

 

merupakan perusahaan penerbangan yang paling konsisten dalam hal keuntungan di industri penerbangan Amerika Serikat

Dengan terbentuknya budaya spiritualitas di tempat kerja, diharapkan akan terbentuk karyawan yang happy, tahu dan mampu memenuhi tujuan hidup. Karyawan yang demikian umumnya memiliki hidup yang seimbang antara kerja dan pribadi, antara tugas dan pelayanan.

Pada umumnya, mereka juga memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan sebuah perusahaan konsultan besar, penerapan lingkungan kerja yang spiritual meningkatkan produktivitas dan menurunkan turn over.

Studi lainnya menunjukkan, karyawan yang kecerdasan spiritualnya tinggi dan didukung lingkungan kerja yang juga spiritual, secara positif menjadi lebih kreatif, memiliki kepuasan kerja yang tinggi, mampu bekerja dengan baik secara tim, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi

E.        Spiritual Kompetensi Inventory

Dalam Spiritual leadership dikenal  bahwa  pemimpin  adalah  orang yang bisa menerapkan kepemimpinannya  sesuai  dengan  nurani  atau  akhlak. Spiritual    leadership atau     kepemimpinan spiritual     bukan   berarti kepemimpinan  yang  anti  intelektualitas,  kepemimpinan  ini berusaha untuk menjernihkan rasionalitas dengan bimbingan hati nurani

Spiritual leadership merupakan suatu nilai, sikap, dan perilaku yang dimiliki seorang pemimpin sehingga mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain secara intrinsik(Fry, 2003). Pola pergerakan spiritualitas muncul di tempat kerja berhubungan dengan tradisi dari nilai yang berhubungan dengan agama. Hal ini merupakan kesan yang umum di lingkungan agama tetapi tidak umum di organisasi klasik dan manajemen. Spiritual leadership sangat diperlukan untuk terciptanya spiritualitas dalam diri pekerja. Bahwa, domain spiritual merupakan bagian integral dari kepemimpinan R. Boorom (2009). Spiritualitas di tempat kerja mempunyai karakteristik sikap kooperatif,


 

 

 

 

 

bertanggung jawab,  adil,  dan  kesungguhan  yang  mendasari  setiap aktivitas individu dalam suatu organisasi

Kompetensi merupakan landasan dasar karakteristik seseorang yang mengindikasikan cara berperilaku atauberpikir, menyamakan situasi dan mendukung untuk periode waktu yang cukup lama. Faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi seseorang ialah keyakinan terhadap nilai, keterampilan, dan karakteristik pribadi

Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta  didukung  oleh  sikap  kerja  yang  dituntut  oleh  pekerjaan tersebut Wibowo .

Dengan demikian kompetensi menunjukan keterampilan atau pengetahuan yang dicirikan oleh profesionalisme dalam suatu  bidang  tertentu  dan   diaplikasikan   guna  meningkatkan   manfaat   yang   disepakati

Kompetensi juga menunjukan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka melakukan tugas  dan  tanggung  jawab  mereka  secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional  dalam  pekerjaan mereka. Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan orang ditempat kerja pada berbagai tingkatan dan memperinci standar masing– masing tingkatan, mengidentifikasi karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh individu yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan  suatu pekerjaan  yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta di dukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan.


 

 

 

 

 

BAB III PENUTUP

 

A. Kesimpulan

Kesadaran spiritualitas memberi corak kepemimpinan yang sangat berketuhanan dan manusiawi, dia akan membawa organisasinya ke arah visi dan ketuhanan, bukan ke arah keserakahan.

Pemimpin dengan kesadaran spiritual akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tinggi. Kecerdasan spiritual sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan transformasional. Semakin meningkat kecerdasan spiritual manajer, maka kepemimpinan transformasional yang diterapkannya akan semakin baik. Meningkatnya kecerdasan spiritual akan berdampak pada kepuasan kerja yang semakin meningkat.

Kecerdasan spiritual akan mempengaruhi sikap kerja, dengan indikatornya adalah kepuasan kerja, komitmen kepada organisasi, keterlibatan pekerja dan penghargaan terhadap organisasi. Cerdas spiritual berarti telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam bekerja penuh pengabdian dan tanggungjawab. Hal inilah yang memberikan suatu dampak beragam untuk dicerna menjadi kepuasan tersendiri bagi seorang pemimpin. Semakin meningkat kecerdasan spiritual pemimpin, maka kinerja yang dihasilkan juga akan mengalami peningkatan. Kecerdasan spiritual yang tinggi memberikan kemudahan pemimpin dalam menjalankan profesinya secara bermakna, sehingga berdampak besar terhadap peningkatan kinerja seseorang. Kecerdasan spiritual mutlak diperlukan oleh pemimpin, karena dengan berbekal kecerdasan spiritual yang baik maka tingkah laku dan perilaku pimpinan secara otomatis akan terkontrol dan terhindar dari perbuatan yang tercela


 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ary Ginanjar Agustian. 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.

Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Syamil Cipta Media.

Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Gitamedia Press.

J.P. Chaplin.1989. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

K.A. Khavari. 2000. Spiritual Intelligence; A Pratictical Guide to Personal Happiness.Canada: White Mountain Publications.

Lihat, Julia Aridhona. 2017. “Hubungan antara Kecerdasan Spiritual dan Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Remaja”. Intuisi; Jurnal Psikologi Ilmiah. Vol. 9, No. 3.

M. Japar. 2014. “Religiousity, Spirituality and Adolescents Self-Adjustment.

International Education Studies. Vol. 7, No. 10.

Toni Buzan. 2003. Kekuatan ESQ: 10 Langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional Spiritual, terjemahan Ana Budi Kuswandani, Indonesia. PT. Pustaka Delapratosa.

Toto Tasmara, Op. Cit.

Ataunur, I. and Ariyanto, E. (2015) ‘Pengaruh Kompetensi dan Pelatihan

terhadap Kinerja Karyawan PT. Adaro Energy Tbk’, Telaah Bisnis, 16(2), pp. 135–150