studi ilmu hadist
Khusniati
Rofiah, M.Si
Studi Ilmu Hadis
STUDI
ILMU HADIS
Penulis:
Khusniati Rofiah, M.Si
Editor:
Muhammad
Junaidi, M.H.I
Desain Cover:
Aura Latifa
Layout:
Audina
Perpustakaan
Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT):
x+196 hlm.; 14.5x20 cm ISBN: 978-979-3946-80-1
Cetakan II, Maret 2018
Diterbitkan oleh:
IAIN
PO Press
Jl. Pramuka No.156
Ponorogo 63471
Tlpn.
(0352) 481277, 462972 Fax. (0352) 461893
Dicetak oleh:
Nadi Offset Jl. Nakulo No. 19A, Pugeran,
Sleman, Yogyakarta Telp. (0274) 4333626/081578626131/081392868382
email: kantornadi@gmail.com
Sanksi Pelanggaran
Pasal 113 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Setiap orang yang dengan tanpa hak
dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
Isi tulisan menjadi
tanggungjawab penulis
Kata Pengantar
Puji Syukur
senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya,
penulis dapat menyelesaikan penulisan buku yang berjudul STUDI ILMU HADIS ini. Shalawat dan salam semoga selamanya
tercurahkan kepada Rasul saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya.
Ilmu Hadis
merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu hadis maka
mustahil hadis bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai dengan
metodologinya. Dari fungsinya terhadap hadis,
dapat diibaratkan bagaikan ilmu tafsir
terhadap Al-Qur’an. Pemahaman Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tafsir akan sulit
untuk dilakukan. Demikian
juga ilmu hadis terhadap hadis.
Buku ini
kami susun berisikan tentang materi-materi yang kami sampaikan dalam
perkuliahan dan kami sajikan sesuai dengan silabus yang ada. Sehingga buku ini
dapat dijadikan sebagai referensi atau bahan rujukan perkuliahan mahasiswa
dalam mata kuliah Ulumul Hadis.
Dengan
terselesaikannya penulisan buku ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak, terutama kepada teman-teman seangkatan yang telah banyak
memberikan Support untuk menerbitkan buku ini.
Buku ini penulis susun berdasarkan sumber bacaan
yang penulis baca dan penulis pelajari, dengan segala keterbatasannya. Sehingga di dalamnya masih
banyak kesalahan dan kekurangan.
Demi penyempurnaan buku ini, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun, sehingga
di kemudian hari buku ini dapat disajikan dengan
lebih baik dan lengkap.
Akhirnya,
semoga buku ini dapat menjadi pelengkap referensi-referensi lainnya
yang sudah ada dalam bidang
ulumul hadis dan bermanfaat bagi mahasiswa dan kalangan yang berhasrat
mendalami bidang Ulumul Hadis.
Ponorogo,
Maret 2017
Sambutan Dekan Fakultas Sariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
Bismillahi al-Rahman al-Rahim
Puji Syukur
senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya
kepada kita sehingga kita dapat menjalani kehidupan ini. Shalawat dan salam
semoga selamanya tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat
dan seluruh pengikutnya.
Penulisan
buku ajar merupakan bagian dari peningkatan proses belajar mengajar untuk meningkatkan kualitas
dan mutu pendidikan Fakultas Syariah khususnya dan
pendidikan di IAIN pada umumnya.
Dengan terbitnya buku ajar STUDI
ILMU HADIS ini,
meski- pun hadir dalam bentuk yang sederhana namun diharapkan
mampu memberikan manfaat
bagi dosen dan mahasiswa sehingga proses belajar mengajar dapat
mencapai hasil yang diharapkan.
Semoga Allah SWT meridloi
setiap amal kebajikan yang kita tanam dan menjadi manfaat bagi kita semua.
Amin.
Ponorogo, Maret
2017 Dekan Fakultas Syariah Dr. H. Moh. Munir, M.Ag
Kata Pengantar.............................................................................. iii
Sambutan Dekan Fakultas Sariah.................................................... v
Institut Agama Islam
Negeri............................................................ v
(IAIN) Ponorogo............................................................................ v
Daftar isi...................................................................................... vii
BAB I Hadis Dan Ruang Lingkupnya....................................... 1
A. Pengertian Hadits...................................................... 1
B. Sinonim Hadis.......................................................... 4
C. Bentuk-Bentuk Hadist............................................ 12
D. Struktur Hadits........................................................ 15
E. Model Periwayatan Hadis....................................... 17
BAB
II Hadis dan
Hubungannya Dengan Al-Qur’an............... 21
Kompetensi Dasar:...................................................... 21
A. Kedudukan Hadits dalam
Islam............................... 21
B. Fungsi Hadits Terhadap
Al-Qur’an......................... 26
C.
Perbedaan antara Hadis Nabawi,
Hadis Qudsi
dan Al-Qur’a>n. ...................................................... 36
BAB
III Golongan Inkar As-Sunnah.......................................... 47
A. Pengertian Inka>r
As-Sunnah. ................................. 48
B. Latar Belakang
dan Sejarah Perkembangan Golongan Inka>r As-Sunnah. 51
C. Ajaran-Ajaran Inkar
As-Sunnah.............................. 59
BAB
IV Sejarah Perkembangan Hadis....................................... 67
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW......................... 67
B. H}adi>th Pada Masa S}ah}a>bat .................................... 76
C. H}adi>th Pada Masa Ta>bi’i>n .................................... 79
D. Hadis Pada Masa
Kodifikasi dan Sesudahnya......... 82
BAB
V Ulumul Hadis Dan Cabang-Cabangnya....................... 99
A. Pengertian Ilmu Hadist............................................ 99
B. Cabang-Cabang Ulumul
Hadis.............................. 103
C. Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadis. 110
BAB VI Pembagian Hadist Berdasarkan Kuantitas Sanad....... 117
A. Hadits Mutawatir.................................................. 118
B. Hadis Ahad........................................................... 124
BAB
VII Pembagian Hadis
Berdasarkan Kualitas Sanad........... 133
A. Hadits Ahad Yang Maqbul.................................... 134
B. Hadits Ahad Yang Mardud................................... 136
C. Hadits Shahih........................................................ 136
D. Hadits Hasan........................................................ 144
E. Hadis Dlaif........................................................... 146
F. Hadis Maudhu’..................................................... 150
BAB VIII Proses Penerimaan dan Penyampaian
Hadis (Tahammul dan ‘Ada al-Hadis) 155
A.
Penerimaan dan Penyampaian Periwayatan......... 155
B.
Metode Mempelajari Hadis (Tahammul
wa Ada al- Hadis) 160
BAB IX Ilmu al-Jarh wat-Ta’dil.............................................. 165
A. Pengertian Ilmu Jarh Wat-Ta’dil.......................... 165
B. Urgensi Ilmu Al-Jarh
wat-Ta’dil............................ 166
C. Cara Mengetahui
Kecacatan dan Keadilan
Perawi................................................................... 168
D. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
Wat-Ta’dil................ 169
E. Perlawanan
antara Jahr dan Ta’dil........................ 171
F. Kitab-Kitab Al-Jarh
wat-Ta’dil............................. 172
BAB
X Ilmu Takhrij Hadis.................................................... 177
A. Pengertian Takhrij
al-Hadits.................................. 178
B. Latar Belakang
Munculnya Ilmu Takhrij
al-Hadits................................................................ 179
C. Tujuan dan
Manfaat Takhrij al-Hadits................... 180
D.
Proses dan Metode Takhrij
al-Hadits..................... 180
1.
Proses Takhrij Hadis............................................. 180
2.
Syarat Hadis yang ditakhrij................................... 180
3.
Metode-Metode Takhrij......................................... 181
E. Kitab-Kitab Tahkhrij
Hadis:................................. 188
Daftar Pustaka............................................................................ 191
Peta Konsep
Hadis Dan Ruang
Lingkupnya
Kompetensi
Dasar:
Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian hadis dan sinonimnya,
bentuk-bentuk hadis, unsur-unsur pembentuk hadis,
metode periwayatan, serta istilah-istilah yang
digunakan dalam meriwayatkan hadis.
A. Pengertian Hadits
Secara
etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa
arti; yaitu
1.
“Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah,
sedangkan
yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi saw.1
Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut
wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah
wahyu yang ghair matluw
sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu
qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.2
2.
“Qarib”,
yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
3.
“Khabar”,
yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan و ,حدثنا ,أخربنا أنبأنا (megabarkan kepada kami,
memberitahu kepada kami dan
menceritakan kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya “aha>di>ts.3
Allah-pun, memakai kata hadits dengan arti khabar dalam
firman-Nya:
ني ٤٣
صاد ِق
كنُوا
ِل ِه ِإ ْن مثْ
بَ ِديث
فَلْيَأْتُوا
Artinya: “Maka hendaklah
mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang
benar”.(QS.52:34).
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi
perbedaan antara pendapat
antara ahli hadits
dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada
yang memberikan pengertian hadis secara
1 Subhi As-shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), 22
2
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis
dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), 2
3 Shubhi
al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh,
(Beirut, Dar al-‘Ilm li al- Malayin, 1969), 4
terbatas (sempit) dan ada yang
memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya
sebagaimana yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:
صفة أو
تقرير أو
فعل أو
قول من
وسلم عليه
اهلل صىل
انليب إىل
أضيف ما “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan atau sifat”.4
Ulama hadis yang lain
memberikan pengertian hadis sebagai berikut :
اقواهل صىل اهلل
عليه وسلم وافعاهل واحوهل segala dan perbuatan segala SAW, Nabi ucapan “Segala
keadaanya.”
Sedangkan
pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama
seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’),
juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).5
Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:
اقواهل صىل اهلل عليه وسلم وافعاهل
وتقاريره مما يتعلق
به حكم بنا SAW nabi taqrir segala dan perbuatan segala perkataan, “Segala
hukum”.6 dengan paut bersangkut
yang
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul
fiqih di
4 Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalah al-hadis, (Beirut : Dar al-Tsaqafah
al-islamiyah, tth.), 15
5 M. Hasby As
Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang : Thoha Putra, 1994), 4
6
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, 3
atas, berarti informasi tentang kehidupan Nabi
ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka
tidak disebut sebagai hadis.
B. Sinonim Hadis
Ada beberapa
istilah lain yang merupakan sinonim
dari kata hadis, yaitu sunnah, khabar
dan atsar.
1.
Pengertian Sunnah
Secara
etimologis, sunnah berarti perjalanan yang pernah ditempuh.Dalam istilah Arab, sunnah berarti “preseden” yang
kemudian ditiru orang lain, apakah sezaman atau sesudahnya; tidak dipersoalkan
apakah sunnah itu baik atau buruk. Dalam bahasa
Eropa sunnah diartikan dengan “tradition” atau “adat istiadat dalam bahasa Indonesia.7 Jamaknya
adalah “Sunan”. Sebagaimana sabda
Nabi SAW.:
من سن ستة
حسنة فله اجرها واجرمن
عمل بما اىل
يوم القيامة ومن
سن سنة سيئة
القيامة يوم
اىل بها
عمل من
ووزر وزرها فعلية “Barang siapa mengadakan
sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala
orang lain yang mengerjakanya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa membuat orang
yang mengerjakannya hingga
hari kiamat.” (H.R. Bukhari
Muslim).
7 Pengertian sunnah yang demikian sudah berkembang pada masa Jahiliyyah,
sehingga diantara para orientalis ada yang memahami sunnah sebagai warisan
jahiliyyah karena istilah sunnah dinisbatkan kepada siapa saja yang memulai.
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI,
2003), 21-21
Pengertian
Sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari’at,
sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan
sama de- ngan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi
syarat-syarat tertentu, yang
berbeda dengan istilah hadits.
Sunnah
menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) pengertiannya sama dengan
pengertian hadis, ialah :
لك ما أثر عن انليب
صيل اهلل عليه
و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
بعدها أم
ابلعثة قبل
ذالك أكان
سواء سرية
أو خلقية
أو “Segala
yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi
Rasul, maupun sesudahnya”.8
Ulama hadis
mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang diri Rasul
SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum.
Kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang
memberikan nasihat yang diberitakan oleh Allah SAW serta sebagai teladan dan
figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ahzab ayat 21,
sebagai berikut :
حسنَ ٌة
أُ ْس َو ٌة هلل َّ
ُسول ا ر
ْم ِف ك
ك َن لَ
لَ َق ْد
“Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (Q.S. Al-Ahzab : 21)
8
Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah
an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-
Tasyri’,
(Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t), 23
Ulama Hadits
membicarakan segala sesuatu yang berhubu-
ngan dengan Nabi Muhammad SAW.,
baik yang ada hubungan-
nya dengan ketetapan hukum syariat
Islam maupun tidak.
Olah karena itu, mereka
menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita
yang diterima tentang
diri Rasul SAW.,
tanpa mem- bedakan apakah
(yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau
tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut,
apabila ucapan atau
perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Sementara
itu ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah
berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ulama hadis. Pengertian sunnah
menurut ulama hadis adalah :
لك ما صدر عن انليب ص م غري القرأن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح
رشيع حلكم
ديلال يكون
أن “Segala
yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., selain Al-qur’an al-Karim, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi
penetapan hukum syara”. 9
Ulama Ushul Fiqih memberikan pengertian sunnah sebagai- mana diuraikan di atas,
dikarenakan ulama ushul
fiqh membahas segala sesuatu
dari Rasul SAW. dalam kapasitas beliau sebagai
pembentuk syari’at atau musyarri’,
artinya pembuat undang- undang wetgever di samping Allah, yang menjelaskan
kepada manusia undang-undang kehidupan dan meletakkan kaedah- kaedah bagi para
mujtahid sepeninggal beliau. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr
ayat 7 yang berbunyi:
9
Ajjaj al-Khatib, Ushul, 19
عنْ ُه فَانتَ ُهوا
َهاك ْم ن
و َما
ُذو ُه خ
و َما آتَاك ُم الر ُسول فَ
“.....Apa yang diberikan oleh
Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul
jauhilah”.
Menurut T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam
sabda Nabi, sebagai berikut:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتاب اهلل و سنت رسوهل
) احلاكم رواه( “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Al-Hakim).
Ulama Fiqh,
memandang sunnah ialah “perbuatan yang di- lakukan dalam agama, tetapi
tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah yang
merupakan antonim dari wajib adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. . Mereka membahas segala
sesuatu dari nabi SAW yang menunjukkan ketentuan syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia baik dari segi wajib, mubah, atau yang lain.10
Menurut para ulama sunnah
adalah lawan dari
bid’ah. Bid’ah, menurut
bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat
indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama bid’ah adalah :
“Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syara’ yang jelas”.
10
Mustafa al-Siba’I, As-Sunnah wa makanatuhu fi at-Tasyri’, (Kairo : Dar
al-Qaumiyah, 1949), 61
Imam
Syatibi, dalam kitabnya al-’Atisham, mengartikan bid- ’ah itu dalam bahasa
sebagai penemuan terbaru. Dengan demi- kian, bid’ah adalah suatu pekerjaan yang
belum ada contohnya, atau pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan
dipandang indah oleh yang mengadakannya.
Sementara golongan
ahli Ushul memiliki
dua pandapat ber- kaitan dengan pengertian bid’ah. Pendapat pertama,
yaitu golo- ngan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid’ah.
Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid’ah segala urusan yang sengaja diada- adakan, baik
dalam urusan ‘Ibadah, maupun dalam urusan
‘Adat. Sedangkan golongan Ahli Fuqaha juga mempunyai dua pendapat. Perdapat
pertama yang memandang
bid’ah ; segala perbuatan yang
tercela saja, yang
menyalahi kitab, atau
Sunnah, atau Ijma’. Pendapat
yang kedua, memandang bid’ah segala yang diada-adakan
sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan,
baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat
disim- pulkan bahwa Bid’ah
segala sesuatu yang
diada-adakan sesudah Nabi
wafat, untuk dijadikan syara’ dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada
dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubhat (yang
menyamarkan), atau karena
sesuatu ta’wil. Walaupun dalam
pembagian Bid’ah ada bid’ah mahmudah
dan bid’ah mazmumah atau
ada bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyiah.
Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama
ditegakkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status
normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah
sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang
secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama
tidak hanya dipandang sebagai
praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat
tersebut.
Menurut
Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum
syara’, maka yang dimaksud de- ngan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu
yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa
perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum
syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah
al-Qur’an dan Hadits.11
Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambi- yah menerangkan bahwa Sunnah
ialah suatu jalan
yang dilakukan atau
dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya;
sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua
atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut
selain mereka sendiri.
Perbedaan
hadis dan sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baru satu kali
dikerjakan bahkan masih berupa azam menurujt sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali
atau menjadi kebia- saan yang telah
dilakukan Rasul. Perbedaan lain, Hadis menurut sebagian ulama ushul fiqih
identik dengan sunnah
qauliyah saja, karena
melihat hadis hanya berbentuk perkataan sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau
perbuatan yang telah
mentradisi.
2.
Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa
adalah warta berita
yang disampaikan dari seseorang, jamaknya: “Akhbar”. Secara
istilah menurut
11 Muhammad Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa
Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), 18
ulama hadits merupakan sinonim
dari hadits yakni. segala yang datang dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Keduanya
mencakup yang marfu’, mauquf, dan maqtu’.12
Sebagaian ulama
mengatakan hadits adalah
apa yang datang dari Nabi SAW. Sedang khabar
adalah apa yang datang dari selain Nabi SAW. Oleh karena itu orang yang sibuk
dengan sunnah disebut “Muhaddits”, sedang yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut “Akhbariy”.13
Dikatakan
bahwa antara hadits dan khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi
setiap hadits adalah khabar tetapi tidak sebaliknya.
3.
Pengertian Atsar
Atsar menurut
bahasa adalah “bekas
sesuatu atau sisa sesuatu”
berarti nukilan. Jamaknya atsar atau utsur. Sedang menurut istilah jumhur ulama artinya sama dengan
khabar dan hadits. Para fuqaha
memakai perkataan atsar untuk perkataan ulama
salaf, sahabat, tabi’in
dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khabar.14 Imam Nawawi menerangkan: bahwa fuqaha khurasan menamai
perkataan sahabat (mauquf) dengan atsar dan menamai hadist
Nabi (marfu’) dengan
kabar.
4.
Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan
al- Atsar
Dari keempat
istilah yaitu Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar,
menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk mak-
12
M. Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 8
13 Jalaludin as-Suyuti, Tadrib
ar-Rawy, (Kairo : Maktabah al-Kahiroh, 1956), 6
14
M. Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 15
sud yang sama, yaitu bahwa hadits
disebut juga dengan sunnah,
khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka
Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan
Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih
dapat disebut dengan
Sunnah Shahih, Khabar Shahih,
dan Atsar Shahih.
Tetapi
berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah
menurut pendapat dan pandangan ulama, baik
ulama hadits maupun
ulama ushul dan
juga perbedaan antara hadits
dengan khabar dan atsar dari
penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan
pendapat ulama tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut : (a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas
pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi
SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya,
baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun sesudahnya. (b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi
SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada
Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum
daripada Hadits, karena
perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW.,
maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits
khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits,
diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari
sahabat dinamai Atsar”.
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya
dengan khabar dan
Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat
bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits
mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW.
Dari
penjelasan di atas maka tampaklah ada persamaan dan perbedaan antara pengertian hadis dan sinonimnya. Perbedaannya sebagai berikut :
• Hadis adalah:
segala yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).
• Sunnah: segala yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan kebiasaan yang dilakukan berulang kali..
•
Khabar adalah sesuatu
yang datang dari
selain Nabi
• Atsar adalah
sesuatu yang berasal
dari sahabat Nabi.
C. Bentuk-Bentuk Hadist
Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk
hadist dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Hadist Qouli
Yang
dimaksud dengan hadist qouli adalah segala perkataan Nabi SAW yang berisi
berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah baik
yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Misalnya sabda beliau:
... مانوي امرئ للك
وإنما بانليات
األعمال انما “Sesungguhnya keberadaan
amal-amal itu tergantung niatnya. Dan seseorang hanyalah akan mendapatkan
sesuatu sesuai niatnya.”
Menurut rangkingnya, hadist qauli menempati urutan
pertama dari bentuk-bentuk hadist lainnya. Urutan ini menunjukkan
kualitas hadits qouli menempati kualitas pertama, diatas
hadits fi’li dan taqriri.
2.
Hadits Fi’il
Yang
dimaksud hadits fi’li adalah segala
perbuatan Nabi SAW. yang menjadi
anutan perilaku para,
sahabat pada saat itu,
dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengi- kutinya, seperti praktek
wudlu, praktek salat lima waktu dengan
sikap-sikap dan rukun-rukunnya, praktek manasik haji, cara, memberikan keputusan berdasarkan sumpah dan saksi, dan lain-
lain.
3.
Hadits Taqriri
Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa, ketetapan Nabi SAW.
terhadap apa yang datang atau yang dikemukakan oleh para sahabatnya dan Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan
perbuatan tersebut, tanpa, membedakan penegasan apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Yang
bersumber dari sahabat yang mendapat pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu dianggap
bersumber dari beliau.
Misalnya, riwayat yang ditakhfi
oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari Abu Said
al Khudry ra. Bahwasanya ada dua perang
yang keluar rumah
untuk
bepergian tanpa memiliki
persediaan air. Lalu, tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan
debu yang baik, lalu melakukan shalat.
Beberapa, saat kemudian keduanya mendapatkan air, masih dalam waktu shalat
tersebut. Yang satu mengulang wudlu dan shalatnya, sedang
yang lain tidak. Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan perihal
keduanya lalu kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda: “Engkau telah mengerjakan sunnah (ku).
Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahala dua kali lipat.”
4.
Hadits Hammi
Hadits Hammi
adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum
terealisasikan. Walaupun hal ini
baru rencana dan belum dilakukan oleh Nabi, para ulama memasukkannya pada
hadis, karena Nabi tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai
dalam agama, dituntut dalam syari’at Islam
dan beliau diutus
untuk menjelaskan syariat Islam. Contoh hadis hammi seperti
halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyura yang belum sempat dijalankan oleh Nabi
SAW karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura tahun berikutnya, mengambil sepertiga dari hasil
kebun madinah untuk kemaslahatan perang
al-Ahzab, dan lain-lain.15
5.
Hadits Ahwal
Yang dimaksud dengan
hadits ahwali ialah yang berupa
hal ihwal Nabi SAW yang tidak
temasuk ke dalam
kategori ke empat hadits di atas. Ulama
hadits menerangkan bahwa
yang termasuk
15
M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah,
(Cairo :
Dar al-Wafa, 1991), 15-16.
“hal ihwal”, ialah
segala pemberitaan tentang
Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan
sifat-sifat kepribadiannya/perangainya (khuluqiyyah), keadaan fisiknya
(khalqiyah), karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
D. Struktur Hadits
Setiap Hadis
terdiri dari 2 unsur yaitu sanad dan matan, sebagaimana Hadis berikut:
حد ثنا عبد اهلل بن يوسف قال: أخربنا مالك بن انس عن ابن شهاب
عن سالم بن عبد اهلل عن ابيه ان رسول اهلل
ص.م. مر ىلع رجل من األنصار وهو يعظ
اخاه ىف
احلياء فقال رسول اهلل صلعم دعه فان احلياء من اإليمان
(
رواه ابلخارى )
Kalimat
“’anna Rasulullah SAW” sampai akhir itulah yang disebut matan Hadis, sedang
rangkaian para perowi yang membawa Hadis disebut sanad Hadis.
Untuk lebih jelasnya unsur-unsur Hadis
dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Rawi
Yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang menyam- paikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari
seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwah dan
perbuatannya menyampaikan Hadis disebut meriwayatkan Hadis.16
Sebuah Hadis sampai kepada kita
dalam bentuknya yang sudah terdewan
dalam dewan-dewan Hadis, melalui beberapa rawi
dan sanad. Seorang
pengarang bila hendak
menguatkan suatu
16 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al Hadits, (Bandung : PT Al-Ma’arif,
1974), hal. 217
Hadis yang ditakhrijkan dari
suatu kitab Hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi terakhirnya pada akhir
matan Hadis. Dalam contoh Hadis di
depan, rawi terakhirnya adalah Imam Bukhari. Sedangkan rawi pertamanya adalah Abdullah (sahabat nabi).
2.
Matan
Matan menurut
lughat ialah jalan tengah, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.
Sedangkan menurut istilah, matan Hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi
berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah SAW, sahabat ataupun Tabi’in. Baik pembicaraan itu tentang Nabi atau
taqrir Nabi.
Menurut Ath Thibi, matan ialah:
املعاىن بها
تتقوم اليت
احلديث ألفاظ “lafadz-lafadz Hadis yang
dengan lafadz-lafadz itulah terbentuk makna”.
Sedang menurt Ibnu Jama’ah matan ialah:
السند اغية
السند إيله
ينتىه ما “Sesuatu yang kepadanya berakhir
sanad (perkataan yang disebut
sesuatu berakhir sanad)”.17
3.
Sanad
Sanad menurut lughah, ialah: “sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik
tembok atau selainnya”. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah:
17 M. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-Pokok Ilmu
Diroyah Hadis,
vol.1 (Jakarta : Bulan
Bintang, 1987) hal. 45
طريق منت احلديث
“Jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis”.
Ringkasnya
sanad Hadis ialah yang disebut sebelum matan
Hadis.
Sedangkan isnad
secara lughah ialah
menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan
menurut istilah adalah:
ناقله او ايلقائله احلديث رفع “Mengangkat Hadis kepada yang mengatakanya atau yang menukilkannya”.
Sedangkan pengertian sanad secara terminologis adalah :
سلسلة الرجال
املوصلة للمنت18
“Silsilah orang-orang yang menghubungkan Hadis”
Sisilah orang-orang maksudnya
adalah susunan atau rangkaian
orang-orang perawi Hadis yang menyampaikan materi
Hadis sejak mukharrij sampai kepada perawi terakhir yang bersambung kepada Nabi
saw.
E. Model Periwayatan Hadis
1.
Metode Periwayatan
Hadis
Ada dua model yang digunakan
para sahabat (rawi) dalam meriwayatkan
hadis dari Nabi, yaitu:
a.
Periwayatan bil-lafzi, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis sama dengan apa yang diucapkan
oleh Nabi.
18 Mahmud
Thahhan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut : Dar Ats-Tsaqafah
al-Islamiyah, t.t), hal. 16
b.
Periwayatan bil makna, yaitu periwayatan hadis yang redaksi
atau matannya tidak persis sama dengan apa yang
diucapkan Nabi, namun maknanya sama dengan yang dimaksudkan oleh Nabi.
Menurut H.Said Agil Husain
al-Munawar, mengatakan bah- wa di antara para sahabat yang sangat ketat
berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurut-
nya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari
yang disabdakan Rasul SAW.
2. Istilah dalam
Periwayatan Hadis
Istilah periwayatan yang sering
digunakan oleh para mudaw-
win Hadis berbeda-beda diantaranya:
a. Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat
yang sama, dikenal
dengan Hadits Bukhari dan Muslim
b. Akhrajahu syaikhani, artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim
c.
Akhrajahu tsalatsah, artinya hadis
tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
d.
Akhrajahu arba’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.
e. Akhrajahu khamsah, yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah
dan Imam Ahmad.
f.
Akhrajahu Sittah, berarti hadis
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai
dan Ibn Majah.
g.
Akhrajahu Sab’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.
h.
Akhrajahu Jama’ah, artinya hadis
tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Hadis.
PERTANYAAN:
َّيا َن ح
َن ب
سلَيْ َما َن
ْع ِن ي
خا ِ ٍل
َثنَا أَبُو ح َّد
الْ َه ْم َدا ِ ُّن ن َم ْ ٍري
ا َ ِهلل َّ بْ ِن عبْ ِد
ُن ب
َّم ُدَ مَ
ح َ َّد َثنَا
هلل َّ
ص َّىل ا
ِ ِّيب نل
ع ْن ا
ع َم َر
ْن ابْ ِن ع
بْ ِن َ ُعبَيْ َد َة س ْع ِد
ع ْن
ِ ِّع ج
ك ا ْأل
ْش
ْ
مالِ
ْن أ ِب ع
ا ْأل ْ َح َر
ِء ال َّز ْ َك ِة وإِيتَا
ص َال ِة
وإِقََا ِم ال
هلل َّ
أ ْن يُ َو َّح
َد ا َىلع
ْ َس ٍة خْ
َىلع
ْس َال ُم إل
َم قَا َل بُ ِ َنْ ا و َسلَّ
علَيْ ِه
ُّج واحلَ
ضا َن
َم ر
ِصيَا ُم ر َمضا َن قَا َل ل صيَا ُم و
ٌل احلَ ُّج
ر ُج
ِّج ف َقا َل واحلَ
َمضا َن ر
و ِصيَا ِم
َسلَّ َم (رواه ابلخاري) و
علَيْ ِه
ص َّىل اهلل َّ
َّ هلل
ُسول ا ر
م ْن
ِم ْعتُ ُه س
هك َذا
Bacalah hadis di atas secara
teliti lalu jawablah pertanyaan di bawah ini:
1.
Berdasarkan bentuknya, hadis tersebut termasuk
hadis apa? Jelaskan!
2.
Berdasarkan sandarannya, hadis tersebut disebut
hadis apa?
3.
Ada berapa perowi yang meriwayatkan hadis tersebut?
Sebutkan nama-namanya!
4.
Tulislah kembali matan hadis dari teks hadis anda!
5.
Buatlah skema pohon sanad dari hadis tersebut!
6.
Siapa perowi pertama
pada sanad hadis tersebut?
7.
Siapa mudawwin pada hadis tersebut?
8.
Setelah anda menjawab semua pertanyaan, kemudian tolong
berikan definisi dari sanad, matan dan rawi!
Peta Konsep
BAB II
Hadis dan Hubungannya Dengan Al-Qur’an
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian hadis Qudsi serta fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
A. Kedudukan Hadits dalam Islam
Seluruh umat
Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. la menempati kedudukan setelah
al-Qur’an.1 Keharusan mengikuti hadist bagi umat Islam, baik berupa perintah
maupun larangan sama
halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an. Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber
1 Ada sebagian yang meragukan kehujjahan Sunnah sebagai sumber kedua yang
disebut golongan inkar as-sunnah. Lihat lebih lanjut Abu Syuhbah, Fi
Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah, (Kairo : Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyah, 1969), 11.
syari’at yang saling terkait
Seorang muslin tidak
mungkin. dapat memahami
syari’at. kecuali dengan merujuk
kepada keduanya sekaligus dan seorang
mujtahid tidak mungkin
mengabaikan
salah satunya.
Jadi al
hadits dipandang dari segi keberadaanya wajib diamalkan dan sumbernya dari
wahyu sederajat dengan
al Qur’an. la berada
pada posisi setelah
Al Qur’an dilihat
dari kekuatannya. Karena Al Qur’an
berkualitas qathiy secara global
saja, tidak secara rinci. Di samping
itu al Qur’an merupakan pokok,
sedang sunnah merupakan cabang
posisinya menjelaskan dan menguraikan.
Untuk
mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai
sumber ajaran Islam, dapat dilihat beberapa, dalil berikut:
a.
Al-Qur’an
Banyak ayat Al Qur’an yang-
menerangkan tentang
kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada
Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan
individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan,
mereka. Hal ini seba- gaimana dijelaskan dalam
Surat Ali Imran
17 dan An Nisa’ 36.
Selain Allah
memerintahkan umat Islam
agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar
mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya, baik
berupa, perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan patuh
kepada Allah. Banyak
ayat Al Qur’an
yang berkenaan dengan masalah ini.
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:
الْ َك ِف ِرين (٢٣) ِيب
َّ ل هلل
فَ ِإ ْن تَ َولَّ ْوا فَ ِإ َّن ا والر ُسول
هلل َّ
قُ ْل أَ ِطيعوا ا
“Katakanlah ! taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang kafir.”
Dalam surat An Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman:
عتُ ْم ِف
تنَاز
ْم فَ ِإ ْن ك
منْ
وأُول األم
ِر
ِطيعوا الر ُسول وأَ
هلل َّ
يَا أ ُّي َها ا َّلين آ َمنُوا أَ ِطيعوا ا
ْش ٍء فَ ُر ُّدو ُه ِإ َىل اهلل والر ُسول
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ….(QS. An-Nisa’: 59).
Disamping banyak
ayat yang menyebutkan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak
memerintahkan mentaati rasul secara terpisah pada dasarnya ketaatan kepada
rasul berarti ketaatan kepada Allah sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
هلل َّ
ْد أَ َطاع ا ف
َق
م ْن يُ ِط ِع الر ُسول
“Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”(An Nisa’ : 80)
Allah juga, berfirman:
)۷
:احلرش( فانتهوا
عنه نهاكم
وما فخذوه الرسول أتاكم
وما “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Berdasarkan kenyataan ini, maka
sebenarnya Allah SWT juga menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban
mengamalkan sunnah sebagaimana
di dalam ayat-ayat yang menerangkan kewajiban taat
kepada Rasul. Semua
itu merupakan dalil bahwa
Al Hadits dijadikan salah satu sumber
pembentukan syari’at dalam. Al-Qur’an.
b.
Hadits Nabi SAW
Banyak hadits
yang menunjukkan perlunya
ketaatan kepada. perintah
Rasul. Dalam satu pesannya, berkenaan dengan keha- rusan menjadikan hadits sebagai
pedoman hidup disamping Al- Qur’an, Rasul SAW bersabda:
وسنيت
اهلل كتاب
بهما تمسكتم
إن ما
تضلوا لن
أمرين فيكم
تركت “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian
tidak akan ter- sesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah
dan Sunnahku.”
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
)داود ابو
رواه( ... بها
تمسكوا املهديني
الراشدين اخللفاء
وسنة بسىت
عليكم “Kalian
wajib berpegang teguh dengan sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk,
berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya. ” (HR. Abu Dawud).
c.
Ijma’
Umat Islam
telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah. Bahkan hal ini
mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya. Kaum
muslimm menerima hadits seperti mereka menerima Al-Qur’an, karena keduanya
sama-sama dijadikan sebagai cumber hukum Islam.
Kesepakatan umat
Islam dalam mempercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam ha- dits berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya,
maka Khulafa’ur Rasyidin, tabi’in, tabi’ut tabi’in, atba’u tabi’in serta, masa-masa selanjutnya dan
tidak ada yang mengingkarinya, sampai sekarang. Banyak diantara, mereka
yang tidak hanya memahami
dan mengamalkan isi kandunganya, akan tetapi mereka menghapal, mentadwin
dan menyebarluaskan dengan segala, upaya kepada, generasi-generasi selanjutnya.
Dengan ini, sehingga tidak ada,
satu haditspun yang
beredar dari
pemeliharaannya. Begitu pula tidak ada, satu hadits palsupun yang dapat mengotorinya.
d.
Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah diakuidandibenarkan oleh umat Islam. Ini menunjukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi
Muhammad SAW membawa, misi untuk menegakkan amanat dan Dzat yang mengangkat karasulan
itu, yaitu Allah SWT. Dari
aspek akidah, Allah
SWT bahkan menjadikan kerasulan itu sebagai
salah satu dari prinsip keimanan.
Dengan demikian, manifestasi dari, pengakuan
dan keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati
dan mengamalkan segala
peraturan atau perundang-undangan serta
inisiatif beliau, baik
yang beliau ciptakan
atas bimbingan wahyu
maupun hasil ijtihadnya sendiri. Di dalam mengemban misi itu, terkadang beliau, hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima oleh Allah SWT baik isi maupun
formulasinya dan terkadang pula atas inisiatif sendiri
dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad sema-mata mengenai
suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh
wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Kesemuanya itu merupakan hadits
Rasul, yang terpelihara dan tetap berlaku sampai ada Hash yang
menasikhnya.
Dari uraian
di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum. ajaran
Islam yang menduduki urutan kedua, setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat
dan segi ke- hujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanni, kecuali yang
mutawatir.
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai
sumber ajaran Islam, satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Al-Qur’an memuat ajaran- ajaran yang bersifat umum
dan global, yang
perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini
haditslah yang berfungsi sebagai
penjelas dari Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl
44 yang berbunyi:
للناس تلبني الكر ايلك وأنزنلا Dan Kami turunkan kepadamu, Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia ... ..... ..
Fungsi
hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, dapat diperinci sebagai
berikut:
1.
Bayan at
Taqrir
Bayan at Taqrir
disebut juga bayan
at Ta’kid dan bayan
al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan
ini adalah menetapkan dan mem- perkuat
apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini
hanya, memperkokoh isi kandungan Al-
Qur’an. Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yang berbunyi:
الْ َم َراف ِق َىل
ْم ك
ِديَ وأَيْ
ْم ك
ُجو َه و
اغسلُوا
َىل الصالة
ْمتُ ْم ُق
َذا
يَا أ ُّي َها ا
َّلين آ َمنُوا
ك ْعبَ ْ ِني
ِإ َىل الْ ك
ْم
ْر ُجلَ وأ
ْم ك
وامسحوا بِ ُر ُءو ِس
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak menger- jakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki”
Ayat di atas ditaqrir oleh
hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang berbunyi:
يتوضأ حىت أحدث من صالة لتقبل صلعم اهلل رسول قال “Rasul SAW bersabda: “Tidak
diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudlu.”
Contoh lain, ayat Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:
ص ْم ُه
الش ْه َر فَلْيَ ك ُم
منْ
ِه َد ش
ف َم ْن
“Karena itu, barangsiapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”
Ayat di atas ditaqrir oleh
hadits riwayat muslim dari Ibnu Umar
yang berbunyi, sebagai berikut:
)مسلم
رواه( فأفطروا
رأيتموه واذا فصوموا
رأيتموه إذا “...... Apabila kalian melihat
(ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pula apabila
melihat (ru iyah) bulan itu maka berbukalah.”
(HR. Muslim)
Contoh
berikutnya ialah dalam banyak ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang syahadah
(al-Huiurat: 182 dan 185), dan tentang haji (Ali Imran 97). Ayat-ayat diatas
ditaqrir oleh hadist riwayat al Bukhari dari Ibn Umar, yang berbunyi
بن اإلسالم عيل خس: شهادة أن لاهل ال اهلل وان ممدا رسول اهلل وإقام الصالة
)ابلخاري
رواه( رمضان
وصوم واحلج
الزاكة وإيتاء “Islam dibangun atas lima
dasar: yaitu mengucapkan kalimah syahadah, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menunaikan ibadah haji dan berpuasa dalam bulan Ramadlan.” (HR. Al-
Bukhari)
Menurut
sebagian ulama bahwa bayan at
taqrir atau bayan at
ta’kid ini disebut juga dengan bayan al
Muwafiq li Nash al Kitab al karim. Hal ini karena munculnya hadits-hadits
itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.
2.
Bayan at Tafsir
Yang
dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits
terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau
.penjelasan lebih lanjut,
seperti pada ayat-ayat yang mujmal,,
mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi
hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil)
dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih
umum.
a. Memerinci ayat-ayat
yang mujmal
Yang mujmal artinya yang ringkas atau
singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak
makna yang perlu
dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya,
kecuali setelah adanya
penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global
yang memerlukan mubayyin.
Dalam
al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal,
yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah
Allah SWT untuk mengerjakan shalat,
puasa, zakat, jual beli, nikah,
qishas dan hudud. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut
masih bersifat global atau garis besar,
atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih
memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal- ini karena dalam ayat tersebut
tidak dijelaskan
misalnya, bagaimana
cara mengerjakanya, apa
sebabnya, apa
syarat-syaratnya atau, apa.
halangan-halangannya. Maka Rasul SAW disini menafsirkan dan menjelaskan secara,
terperinci. Diantara contoh perincian itu dapat dilihat pads hadits dibawah
ini, yang berbunyi:
صلوا كما
رأيتموين أصىل ...
“Shalatlah sebagaimana kalian
melihat aku shalat...”.
Dari perintah shalatnya, sebagaimana dalam hadits
tersebut, Rasul SAW kemudian memberinya contoh dimaksud secara sempurna.
Bahkan bukan hanya itu, beliau melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang
harus dilakukan sejak sebelum shalat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian,
maka hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagaimana perincian dari perintah
Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وآتُوا الز َك َة
وأَ ِقيموا الصالة
“Dan dirikantah shalat, tunaikanlah zakat...”.
Masih juga
berkaitan dengan ayat diatas, Rasul SAW memberinya berbagai penjelasan dan
perincian mengenai zakat secara lengkap, baik yang berkaitan dengan jenisnya
maupun ukuranya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki cakupan sangat
luas.
b. Men-taqyid ayat-ayat
yang muthlaq.
Kata muthlaq, artinya kata yang menunjukkan
pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Men-taqyid dan muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang
muthlaq dengan sifat, keadaan atau
syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul SAW yang berupa men- taqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:
)مسلم
رواه( عدا
فصا دينار
ربع ىف
ال السارق
يد لتقطع “Tangan pencuri tidak boleh
dipotong, melainkan pada (pencurian
senilai) seperempat dinar atau lebih”. (HR.
Muslim).
Hadits
diatas men-taqyid ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan
darah, sebagaimana firman
Allah dalam surat al Maidah ayat 38, yang berbunyi:
هلل َّ
َن ا م
كال
كسبَا نَ
َزاء بِ َما ج
ُة فَاق َط ُعوا أَيْ ِد َي ُه َما والسارقَ
والسار ُق
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...”
Contoh lain adalah sabda Rasulullah SAW:
أحلت نلا ميتان ودمان فإما امليتتان احلوت
واجلرد وأما المان فالكبد والطحال
)وابليهيق
ماجه وابن احلاكم
رواه( “Telah dihalalkan bagi kami
dua (macam) bangkai, dan dua (macam) darah
Adapun bangkai adalah
bangkai ikon dan
belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”.
(HR. al Hakim, Ibn Majah dan
al Baihaqi).
Hadist ini men-taqyid ayat al-Qur’an yang
mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat.3, yang berbunyi:
ح ِّر َمت علَيْك ُم الْ َميْتَ ُة وال ُم
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai
dan darah. ”
c. Men-takhsis ayat yang ‘am.
Kata, ‘am ialah kata, yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedang kata, takhsis atau
khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu
atau tunggal. Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an
sehingga tidak berlaku pada bagian- bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini,
maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya
dengan hadits ahad. Menurut asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat
bisa ditakhsish oleh hadits ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah
sebaliknya. Contoh hadits. yang berfungsi untuk mentakhsish ayat-ayat al-Qur’an ialah sabda
Rasul SAW yang berbunyi:
ليرث القاتل من املقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak
menerima harta warisan”. (HR. Ahmad).
Hadits tersebut men-takhsish keumuman firman Allah surat
an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
يُو ِصيك ُم اهلل َّ
ِف أَ ْول ِدك ْم لِذلك ِر مثْ ُل ح ِّظ األنْثَيَ ْ ِني
“Allah mensyariatkan
bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
”.
3.
Bayan at
Tasyri’
Kata tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum. Maka yang
dimaksud dengan bayan at tasyri’ di
sini ialah penjelasan hadist yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan
syara’ yang tidak didapati nashnya
dalam al-Qur’an. Rasul
SAW dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa
persoalan yang muncul
pada saat itu dengan
sabdanya sendiri.
Banyak hadist Rasul SAW yang termasuk
dalam kelompok ini. Diantara
hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan
dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum
merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum
membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi seseorang anak.
Suatu contoh dapat dikemukakan di sini
hadis tentang
kewajiban zakat fitrah yang berbunyi sebagai
berikut :
إن رسول اهلل
ص م فرض زاكة
الفطر من رمضان
عيل انلاس صااع
من تمر أو صااع
)مسلم
رواه( املسلمني
من أنيث
أو ذكر عبد
أو حر
لك عيل
شعري من Sesungguhnya Rasul saw telah
mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan. (HR. Muslim).
Bayan ini oleh sebagian
ulama disebut juga dengan “bayan
zaa’id ‘ala al Kitaab al Kariim (tambahan terhadap nash al-Qur’an).2 Disebut
tambahan di sini,
karena sebenarnya di dalam al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan
pokoknya sudah ada, sehingga da- tangnya hadis tersebut merupakan tambahan
terhadap keten- tuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, Hadis mengenai
ketentuan diyat. Dalam
al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada
surat an-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadis mengenai haramnya binatang-binatang
buas dan keledei jinak (himar al-ahliyah). Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada, sebagaimana disebutkan, diantaranya pada
surat al- A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana dikatakan Abu
Zahrah, tidak ada suatu Hadis pun
yang berdiri sendiri yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al-Qur’a>n.3
Hal tersebut
di atas menurutnya, sesuai dengan ayat al- Qur’a>n surat al An’a>m ayat 38, yang menjelaskan
bahwa di dalam al-Qur’a>n tidak ada yang dilewatkan atau dialpakan sesuatu pun.
2
Abbas Mutawali Hamadah, As-sunnah
al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ , (Kairo :
Dar al-Qoumiyyah li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1981), 161
3 Muhammad Abu Zahrah,
Ushu>l al Fiqh, hal. 112
Pandangan ini diantaranya
dinukil oleh
Asy Sya>fi’i
dalam
ar Risa>lah, yang diperkuat
oleh asy
Sya>t}ibi dalam
al
Muwa>fa>qa>t.4
Hadis Rasul
SAW yang termasuk bayan tasyri>’ ini wajib
diamalkan sebagaimana kewajiban
mengamalkan Hadis-Hadis lainnya. Ibnu al Qayim berkata, bahwa Hadis-Hadis Rasul
SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’a>n, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak
atau menginka>rinya, dan bukanlah sikap (Rasul SAW) itu mendahului
al-Qur’a>n melainkan
semata-mata karena perintah-Nya.5
Ketiga bayan
yang telah diuraikan di atas, kelihatannya dise- pakati oleh para ulama,
meskipun untuk bayan yang ketiga
sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan yang lainnya, seperti bayan
an-nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadis sebagai na>sikh dan ada yang menolaknya. Yang
menerima adanya nasakh, diantaranya ialah jumhur ulama mutakallimi>n, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, ulama Malakiah, Hanafiah, Ibn Hazm dan sebagian Z{a>hiriyah. Sedang yang menolaknya
diantaranya ialah asy
Sya>fi’i dan
mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas
ulama Z{a>hiriyah.
4.
Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa ada
bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibt}al (membatalkan), atau al iza>lah (menghilangkan),
atau at-tahwi>l (memindahkan), atau at-taghyi>r (mengubah).
Diantaraparaulama,baikmutaakhiri>nmaupunmutaqaddimi>n
terdapat
perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan bayan an-
4 Lihat Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz
IV, (Beirut : Dar al Fikr, t.t). hal. 6
5 Ibnu al
Qayyim al-Jauziyah, A’lam
al Muwaqi’im, Jilid II, (Mesir : Matba’ah as sa’adah, 1995), hal. 289.
nasakh memahami arti
nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut
ulama mutaqaddimi>n, bahwa
yang disebut
bayan
an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang
datangnya kemudian.6
Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemu- dian dapat menghapus ketentuan yang
datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang
kemudian daripada
al-Qur’a>n dalam hal ini dapat
menghapus ketentuan atau isi kandungan al- Qur’a>n. Demikian
menurut pendapat ulama yang menganggap adanya
fungsi bayan an-nasakh.7
Di antara
para ulama yang membolehkan adanya nasakh Hadis terhadap al-Qur’a>n
juga berbeda
pendapat dalam macam Hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam
hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’a>n dengan segala Hadis, meskipun dengan Hadis ahad. Pendapat
ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta
sebagian para pengikut Z{a>hiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa Hadis tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan
Hadis masyhur, tanpa harus dengan Hadis mutawatir. Pendapat ini dipegang
diantaranya oleh ulama Hanafiyah.8
Salah satu
contoh yang bisa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasul SAW dari Abu
Umamah al Bahili, yang berbunyi:
6 Abbas Mutawalli Hamadah, As-Sunnah, hal.
173-175
7 Musthafa as Siba>’I,
As-Sunnah, hal. 360
8 Abbas Mutawalli Hamadah, as Sunnah,
hal. 173-175
)الالنسائ واألربعة
أحد رواه( لوارث
وصية فال
حقه حق
ذي لك
أعطى قد
اهلل إن “Sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR.
Ahmad dan
al Arba’ah, kecuali
an-Nasa>‘i).9
H{adits di
atas dinilai
h}asan oleh
Ahmad dan
At-Tirmidzi>. Hadis ini menurut
mereka menasakh
isi al-Qur’a>n
surat al- Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
واألقْ َربِني
ِص َّي ُة لِلْ َوا ِ َليْ ِن خ ْ ًريا الْ َو
ْن تَ َر َك
َدك ُم الْ َم ْوت ح
َذا ح َض أَ
ْم ك
ك ِتب علَيْ
)18٠( ني
الْ ُم َّت ِق َىلع
ًّقا ح
بِالْ َ