studi ilmu hadist

Daftar Isi

 

 

Khusniati Rofiah, M.Si

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Studi Ilmu Hadis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



STUDI ILMU HADIS

 

Penulis:

Khusniati Rofiah, M.Si

 

Editor:

Muhammad Junaidi, M.H.I

 

Desain Cover:

Aura Latifa

 

Layout:

Audina

 

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT):

x+196 hlm.; 14.5x20 cm ISBN: 978-979-3946-80-1

Cetakan II, Maret 2018

 

Diterbitkan oleh:

IAIN PO Press

Jl. Pramuka No.156 Ponorogo 63471

Tlpn. (0352) 481277, 462972 Fax. (0352) 461893

 

Dicetak oleh:

Nadi Offset Jl. Nakulo No. 19A, Pugeran, Sleman, Yogyakarta Telp. (0274) 4333626/081578626131/081392868382

email: kantornadi@gmail.com

 

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat

(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)

 
Isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis

Text Box: Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)


 

 

 

Kata Pengantar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Puji Syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku yang berjudul STUDI ILMU HADIS ini. Shalawat dan salam semoga selamanya tercurahkan kepada Rasul saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya.

Ilmu Hadis merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu hadis maka mustahil hadis bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai dengan metodologinya. Dari fungsinya terhadap hadis, dapat diibaratkan bagaikan ilmu tafsir terhadap Al-Qur’an. Pemahaman Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tafsir akan sulit untuk dilakukan. Demikian juga ilmu hadis terhadap hadis.


Buku ini kami susun berisikan tentang materi-materi yang kami sampaikan dalam perkuliahan dan kami sajikan sesuai dengan silabus yang ada. Sehingga buku ini dapat dijadikan sebagai referensi atau bahan rujukan perkuliahan mahasiswa dalam mata kuliah Ulumul Hadis.

Dengan terselesaikannya penulisan buku ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada teman-teman seangkatan yang telah banyak memberikan Support untuk menerbitkan buku ini.

Buku ini penulis susun berdasarkan sumber bacaan yang penulis baca dan penulis pelajari, dengan segala keterbatasannya. Sehingga di dalamnya masih banyak kesalahan dan kekurangan. Demi penyempurnaan buku ini, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun, sehingga di kemudian hari buku ini dapat disajikan dengan lebih baik dan lengkap.

Akhirnya, semoga buku ini dapat menjadi pelengkap referensi-referensi lainnya yang sudah ada dalam bidang ulumul hadis dan bermanfaat bagi mahasiswa dan kalangan yang berhasrat mendalami bidang Ulumul Hadis.

Ponorogo, Maret 2017


 

 

 

Sambutan Dekan Fakultas Sariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bismillahi al-Rahman al-Rahim

Puji Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya kepada kita sehingga kita dapat menjalani kehidupan ini. Shalawat dan salam semoga selamanya tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya.

Penulisan buku ajar merupakan bagian dari peningkatan proses belajar mengajar untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan Fakultas Syariah khususnya dan pendidikan di IAIN pada umumnya.

Dengan terbitnya buku ajar STUDI ILMU HADIS ini, meski- pun hadir dalam bentuk yang sederhana namun diharapkan


mampu memberikan manfaat bagi dosen dan mahasiswa sehingga proses belajar mengajar dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Semoga Allah SWT meridloi setiap amal kebajikan yang kita tanam dan menjadi manfaat bagi kita semua. Amin.

 

Ponorogo, Maret 2017 Dekan Fakultas Syariah Dr. H. Moh. Munir, M.Ag


 

 

 

Daftar isi

 

 

 

 

 

 


Kata Pengantar.............................................................................. iii

Sambutan Dekan Fakultas Sariah.................................................... v

Institut Agama Islam Negeri............................................................ v

(IAIN) Ponorogo............................................................................ v

Daftar isi...................................................................................... vii

BAB I        Hadis Dan Ruang Lingkupnya....................................... 1

A.  Pengertian Hadits...................................................... 1

B.   Sinonim Hadis.......................................................... 4

C.   Bentuk-Bentuk Hadist............................................ 12

D.  Struktur Hadits........................................................ 15

E.   Model Periwayatan Hadis....................................... 17

BAB II      Hadis dan Hubungannya Dengan Al-Qur’an............... 21

Kompetensi Dasar:...................................................... 21

A.  Kedudukan Hadits dalam Islam............................... 21

B.   Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an......................... 26

C.   Perbedaan antara Hadis Nabawi, Hadis Qudsi

dan Al-Qur’a>n. ...................................................... 36

BAB III     Golongan Inkar As-Sunnah.......................................... 47

A.  Pengertian Inka>r As-Sunnah. ................................. 48

B.   Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Golongan Inka>r As-Sunnah.        51

C.   Ajaran-Ajaran Inkar As-Sunnah.............................. 59

BAB IV     Sejarah Perkembangan Hadis....................................... 67

A.  Hadits Pada Masa Rasulullah SAW......................... 67

B. H}adi>th Pada Masa S}ah}a>bat .................................... 76

C.   H}adi>th Pada Masa Ta>bi’i>n .................................... 79

D.  Hadis Pada Masa Kodifikasi dan Sesudahnya......... 82

BAB V      Ulumul Hadis Dan Cabang-Cabangnya....................... 99

A.  Pengertian Ilmu Hadist............................................ 99

B.   Cabang-Cabang Ulumul Hadis.............................. 103

C.   Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadis.            110

BAB VI     Pembagian Hadist Berdasarkan Kuantitas Sanad....... 117

A.  Hadits Mutawatir.................................................. 118

B.   Hadis Ahad........................................................... 124

BAB VII    Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad........... 133

A.  Hadits Ahad Yang Maqbul.................................... 134

B.   Hadits Ahad Yang Mardud................................... 136

C.   Hadits Shahih........................................................ 136

D.  Hadits Hasan........................................................ 144

E.   Hadis Dlaif........................................................... 146

F.    Hadis Maudhu’..................................................... 150

BAB VIII Proses Penerimaan dan Penyampaian Hadis (Tahammul dan ‘Ada al-Hadis)        155

A.  Penerimaan  dan Penyampaian Periwayatan......... 155

B.   Metode Mempelajari Hadis (Tahammul wa Ada al- Hadis)     160

BAB IX     Ilmu al-Jarh wat-Ta’dil.............................................. 165

A.  Pengertian  Ilmu Jarh Wat-Ta’dil.......................... 165

B.   Urgensi Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil............................ 166

C.   Cara Mengetahui Kecacatan dan Keadilan

Perawi................................................................... 168

D.  Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil................ 169

E.   Perlawanan antara Jahr dan Ta’dil........................ 171

F.    Kitab-Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil............................. 172

BAB X      Ilmu Takhrij Hadis.................................................... 177

A.  Pengertian Takhrij al-Hadits.................................. 178

B.   Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij

al-Hadits................................................................ 179

C.   Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadits................... 180

D.  Proses dan Metode Takhrij al-Hadits..................... 180

1.    Proses Takhrij Hadis............................................. 180

2.    Syarat Hadis yang ditakhrij................................... 180

3.    Metode-Metode Takhrij......................................... 181

E.   Kitab-Kitab Tahkhrij Hadis:................................. 188

Daftar Pustaka............................................................................ 191


Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB I

Hadis Dan Ruang Lingkupnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian hadis dan sinonimnya, bentuk-bentuk hadis, unsur-unsur pembentuk hadis, metode periwayatan, serta istilah-istilah yang digunakan dalam meriwayatkan hadis.

 

A.  Pengertian Hadits

Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu

1.     “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah,


sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi saw.1 Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah wahyu yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.2

2.     Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,

3.     Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan و ,حدثنا ,أخربنا أنبأنا (megabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan menceritakan kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya aha>di>ts.3

Allah-pun, memakai kata hadits dengan arti khabar dalam

firman-Nya:


ني ٤٣


صاد ِق


كنُوا


ِل ِه ِإ ْن مثْ


بَ ِديث


فَلْيَأْتُوا


Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang benar”.(QS.52:34).


Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi perbedaan antara pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada yang memberikan pengertian hadis secara

1 Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), 22

2 Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), 2

3 Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, (Beirut, Dar al-‘Ilm li al- Malayin, 1969), 4


terbatas (sempit) dan ada yang memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya sebagaimana yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:

 

صفة أو تقرير أو فعل أو قول من وسلم عليه اهلل صىل انليب إىل أضيف ما “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan atau sifat”.4

Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut :

 

اقواهل صىل اهلل عليه وسلم وافعاهل واحوهل segala dan perbuatan segala SAW, Nabi ucapan “Segala keadaanya.”

Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda  Nabi,  perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).5

Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:

 

اقواهل صىل اهلل عليه وسلم وافعاهل وتقاريره مما يتعلق به حكم بنا SAW nabi taqrir segala dan perbuatan segala perkataan, “Segala hukum”.6 dengan paut bersangkut yang

Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih di


4  Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalah al-hadis, (Beirut : Dar al-Tsaqafah

al-islamiyah, tth.), 15

5 M. Hasby As Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang : Thoha Putra, 1994), 4

6 Muh. Zuhri, Hadis Nabi, 3


atas, berarti informasi tentang kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang  tidak ada relevansinya dengan hukum, maka tidak disebut sebagai hadis.

 

B.   Sinonim Hadis

Ada beberapa istilah lain yang merupakan sinonim dari kata hadis, yaitu sunnah, khabar dan atsar.

 

1.    Pengertian Sunnah

Secara etimologis, sunnah berarti perjalanan yang pernah ditempuh.Dalam istilah Arab, sunnah berarti “preseden” yang kemudian ditiru orang lain, apakah sezaman atau sesudahnya; tidak dipersoalkan apakah sunnah itu baik atau buruk. Dalam bahasa Eropa sunnah diartikan dengan “tradition” atau “adat istiadat dalam bahasa Indonesia.7 Jamaknya adalah “Sunan”. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:

 

من سن ستة حسنة فله اجرها واجرمن عمل بما اىل يوم القيامة ومن سن سنة سيئة

القيامة يوم اىل بها عمل من ووزر وزرها فعلية “Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakanya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa membuat orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat.” (H.R. Bukhari Muslim).

7 Pengertian sunnah yang demikian sudah berkembang pada masa Jahiliyyah, sehingga diantara para orientalis ada yang memahami sunnah sebagai warisan jahiliyyah karena istilah sunnah dinisbatkan kepada siapa saja yang memulai. Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI, 2003), 21-21


Pengertian Sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari’at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan sama de- ngan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits.

Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) pengertiannya sama dengan pengertian hadis, ialah :

 

لك ما أثر عن انليب صيل اهلل عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية

بعدها أم ابلعثة قبل ذالك أكان سواء سرية أو خلقية أو “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya”.8

Ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat yang diberitakan oleh Allah SAW serta sebagai teladan dan figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :


حسنَ ٌة


    أُ ْس َو ٌة هلل َّ


ُسول ا ر


 ْم ِف ك


ك َن لَ


لَ َق ْد


“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (Q.S. Al-Ahzab : 21)


8 Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-

Tasyri’, (Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t), 23


Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubu- ngan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungan- nya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa mem- bedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.

Sementara itu ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ulama hadis. Pengertian sunnah menurut ulama hadis adalah :

 

لك ما صدر عن انليب ص م غري القرأن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح

رشيع حلكم ديلال يكون أن “Segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., selain Al-qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara”. 9


Ulama Ushul Fiqih memberikan pengertian sunnah sebagai- mana diuraikan di atas, dikarenakan ulama ushul fiqh membahas segala sesuatu dari Rasul SAW. dalam kapasitas beliau sebagai pembentuk syari’at atau musyarri’, artinya pembuat undang- undang wetgever di samping Allah, yang menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan dan meletakkan kaedah- kaedah bagi para mujtahid sepeninggal beliau. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:

9 Ajjaj al-Khatib, Ushul, 19


عنْ ُه فَانتَ ُهوا


َهاك  ْم ن


و َما


ُذو ُه خ


و َما آتَاك ُم الر ُسول فَ


“.....Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah”.

Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut:

 

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتاب اهلل و سنت رسوهل

) احلاكم رواه( “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Al-Hakim).

Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah “perbuatan yang di- lakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah yang merupakan antonim dari wajib adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. . Mereka membahas segala sesuatu dari nabi SAW yang menunjukkan ketentuan syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia baik dari segi wajib, mubah, atau yang lain.10

Menurut para ulama sunnah adalah lawan dari bid’ah. Bid’ah, menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama bid’ah adalah :


“Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syara’ yang jelas”.

10 Mustafa al-Siba’I, As-Sunnah wa makanatuhu fi at-Tasyri’, (Kairo : Dar

al-Qaumiyah, 1949), 61


Imam Syatibi, dalam kitabnya al-’Atisham, mengartikan bid- ’ah itu dalam bahasa sebagai penemuan terbaru. Dengan demi- kian, bid’ah adalah suatu pekerjaan yang belum ada contohnya, atau pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya.

Sementara golongan ahli Ushul memiliki dua pandapat ber- kaitan dengan pengertian bid’ah. Pendapat pertama, yaitu golo- ngan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid’ah. Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid’ah segala urusan yang sengaja diada- adakan, baik dalam urusan ‘Ibadah, maupun dalam urusan ‘Adat. Sedangkan golongan Ahli Fuqaha juga mempunyai dua pendapat. Perdapat pertama yang memandang bid’ah ; segala perbuatan yang tercela saja, yang menyalahi kitab, atau Sunnah, atau Ijma’. Pendapat yang kedua, memandang bid’ah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan,

baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat disim- pulkan bahwa Bid’ah segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat, untuk dijadikan syara’ dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubhat (yang menyamarkan), atau karena sesuatu ta’wil. Walaupun dalam pembagian Bid’ah ada bid’ah mahmudah dan bid’ah mazmumah atau ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama


tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.

Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud de- ngan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadits.11

Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambi- yah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.

Perbedaan hadis dan sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baru satu kali dikerjakan bahkan masih berupa azam menurujt sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali atau menjadi kebia- saan yang telah dilakukan Rasul. Perbedaan lain, Hadis menurut sebagian ulama ushul fiqih identik dengan sunnah qauliyah saja, karena melihat hadis hanya berbentuk perkataan sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau perbuatan yang telah mentradisi.

 

2.    Pengertian Khabar

Khabar menurut bahasa adalah warta berita yang disampaikan dari seseorang, jamaknya: “Akhbar”. Secara istilah menurut

11 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), 18


ulama hadits merupakan sinonim dari hadits yakni. segala yang datang dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Keduanya mencakup yang marfu’, mauquf, dan maqtu’.12

Sebagaian ulama mengatakan hadits adalah apa yang datang dari Nabi SAW. Sedang khabar adalah apa yang datang dari selain Nabi SAW. Oleh karena itu orang yang sibuk dengan sunnah disebut “Muhaddits”, sedang yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut “Akhbariy”.13

Dikatakan bahwa antara hadits dan khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi setiap hadits adalah khabar tetapi tidak sebaliknya.

 

3.    Pengertian Atsar

Atsar menurut bahasa adalah “bekas sesuatu atau sisa sesuatu” berarti nukilan. Jamaknya atsar atau utsur. Sedang menurut istilah jumhur ulama artinya sama dengan khabar dan hadits. Para fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khabar.14 Imam Nawawi menerangkan: bahwa fuqaha khurasan menamai perkataan sahabat (mauquf) dengan atsar dan menamai hadist Nabi (marfu’) dengan kabar.

 

4.    Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al- Atsar

Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk mak-


12 M. Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 8

13  Jalaludin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawy, (Kairo : Maktabah al-Kahiroh, 1956),   6

14 M. Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 15


sud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.

Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. (b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar”. (c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan


Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW.

Dari penjelasan di atas maka tampaklah ada persamaan dan perbedaan antara pengertian hadis dan sinonimnya. Perbedaannya sebagai berikut :

   Hadis adalah:  segala  yang  disandarkan  kepada  Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).

   Sunnah: segala yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan kebiasaan yang dilakukan berulang kali..

   Khabar adalah sesuatu yang datang dari selain Nabi

   Atsar adalah sesuatu yang berasal dari sahabat Nabi.

 

C.  Bentuk-Bentuk Hadist

Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk

hadist dapat digolongkan sebagai berikut:

 

1.    Hadist Qouli

Yang dimaksud dengan hadist qouli adalah segala perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.

Misalnya sabda beliau:


... مانوي امرئ للك وإنما بانليات األعمال انما “Sesungguhnya keberadaan amal-amal itu tergantung niatnya. Dan seseorang hanyalah akan mendapatkan sesuatu sesuai niatnya.”

Menurut rangkingnya, hadist qauli menempati urutan pertama dari bentuk-bentuk hadist lainnya. Urutan ini menunjukkan kualitas hadits qouli menempati kualitas pertama, diatas hadits fi’li dan taqriri.

 

2.    Hadits Fi’il

Yang dimaksud hadits fi’li adalah segala perbuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan perilaku para, sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengi- kutinya, seperti praktek wudlu, praktek salat lima waktu dengan sikap-sikap dan rukun-rukunnya, praktek manasik haji, cara, memberikan keputusan berdasarkan sumpah dan saksi, dan lain- lain.

 

3.    Hadits Taqriri

Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa, ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang atau yang dikemukakan oleh para sahabatnya dan Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan perbuatan tersebut, tanpa, membedakan penegasan apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Yang bersumber dari sahabat yang mendapat pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu dianggap bersumber dari beliau. Misalnya, riwayat yang ditakhfi oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari Abu Said al Khudry ra. Bahwasanya ada dua perang yang keluar rumah untuk


bepergian tanpa memiliki persediaan air. Lalu, tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan debu yang  baik, lalu melakukan shalat. Beberapa, saat kemudian keduanya mendapatkan air, masih dalam waktu  shalat  tersebut.  Yang  satu mengulang wudlu dan shalatnya, sedang yang lain tidak. Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan perihal keduanya lalu kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda: “Engkau telah mengerjakan sunnah (ku). Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahala dua kali lipat.

 

4.    Hadits Hammi

Hadits Hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan. Walaupun hal ini baru rencana dan belum dilakukan oleh Nabi, para ulama memasukkannya pada hadis, karena Nabi tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syari’at Islam dan beliau diutus untuk menjelaskan syariat Islam. Contoh hadis hammi seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyura yang belum sempat dijalankan oleh Nabi SAW karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura tahun berikutnya, mengambil sepertiga dari hasil kebun madinah untuk kemaslahatan perang al-Ahzab, dan lain-lain.15

 

5.    Hadits Ahwal

Yang dimaksud dengan hadits ahwali ialah yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tidak temasuk ke dalam kategori ke empat hadits di atas. Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk

15 M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah,

(Cairo : Dar al-Wafa, 1991), 15-16.


“hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan sifat-sifat kepribadiannya/perangainya (khuluqiyyah), keadaan fisiknya (khalqiyah), karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.

 

D.  Struktur Hadits

Setiap Hadis terdiri dari 2 unsur yaitu sanad dan matan, sebagaimana Hadis berikut:

 

حد ثنا عبد اهلل بن يوسف قال: أخربنا مالك بن انس عن ابن شهاب عن سالم بن عبد اهلل عن ابيه ان رسول اهلل ص.م. مر ىلع رجل من األنصار وهو يعظ اخاه ىف

احلياء فقال رسول اهلل صلعم دعه فان احلياء من اإليمان ( رواه ابلخارى )

Kalimat “’anna Rasulullah SAW” sampai akhir itulah yang disebut matan Hadis, sedang rangkaian para perowi yang membawa Hadis disebut sanad Hadis.

Untuk lebih jelasnya unsur-unsur Hadis dapat dijelaskan

sebagai berikut:

 

1.    Rawi

Yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang menyam- paikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwah dan perbuatannya menyampaikan Hadis disebut meriwayatkan Hadis.16


Sebuah Hadis sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah terdewan dalam dewan-dewan Hadis, melalui beberapa rawi dan sanad. Seorang pengarang bila hendak menguatkan suatu

16 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al Hadits, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1974), hal. 217


Hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab Hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi terakhirnya pada akhir matan Hadis. Dalam contoh Hadis di depan, rawi terakhirnya adalah Imam Bukhari. Sedangkan rawi pertamanya adalah Abdullah (sahabat nabi).

 

2.    Matan

Matan menurut lughat ialah jalan tengah, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan Hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat ataupun Tabi’in. Baik pembicaraan itu tentang Nabi atau taqrir Nabi.

Menurut Ath Thibi, matan ialah:

 

املعاىن بها تتقوم اليت احلديث ألفاظ “lafadz-lafadz Hadis yang dengan lafadz-lafadz itulah terbentuk makna”.

Sedang menurt Ibnu Jama’ah matan ialah:

 

السند اغية السند إيله ينتىه ما “Sesuatu yang kepadanya berakhir sanad (perkataan yang disebut sesuatu berakhir sanad)”.17

 

3.    Sanad

Sanad menurut lughah, ialah: “sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya”. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah:

17 M. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis, vol.1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987) hal. 45


طريق منت احلديث

“Jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis”.

 

Ringkasnya sanad Hadis ialah yang disebut sebelum matan Hadis.

Sedangkan isnad secara lughah ialah menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah:

 

ناقله او ايلقائله احلديث رفع “Mengangkat Hadis kepada yang mengatakanya atau yang menukilkannya”.

Sedangkan pengertian sanad secara terminologis adalah :

 

سلسلة الرجال املوصلة للمنت18

“Silsilah orang-orang yang menghubungkan Hadis”

 

Sisilah orang-orang  maksudnya  adalah  susunan  atau rangkaian orang-orang perawi Hadis yang menyampaikan materi Hadis sejak mukharrij sampai kepada perawi terakhir yang bersambung kepada Nabi saw.

 

E.   Model Periwayatan Hadis

1.    Metode Periwayatan Hadis

Ada dua model yang digunakan para sahabat (rawi) dalam meriwayatkan hadis dari Nabi, yaitu:

a.     Periwayatan bil-lafzi, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi.


18 Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut : Dar Ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.t), hal. 16


b.     Periwayatan bil makna, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya tidak persis sama dengan apa yang diucapkan Nabi, namun maknanya sama dengan yang dimaksudkan oleh Nabi.

Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bah- wa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurut- nya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.

2.    Istilah dalam Periwayatan Hadis

Istilah periwayatan yang sering digunakan oleh para mudaw- win Hadis berbeda-beda diantaranya:

a.     Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim

b.     Akhrajahu syaikhani, artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

c.      Akhrajahu tsalatsah, artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i.

d.     Akhrajahu arba’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.

e.      Akhrajahu khamsah, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad.

f.       Akhrajahu Sittah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.


g.     Akhrajahu Sab’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.

h.     Akhrajahu Jama’ah, artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Hadis.

 

PERTANYAAN:


 َّيا َن ح


َن ب


سلَيْ َما َن


ْع  ِن ي


خا ِ ٍل


 َثنَا أَبُو ح َّد


الْ َه ْم َدا ِ ُّن ن َم ْ ٍري


ا َ ِهلل َّ بْ ِن عبْ ِد


ُن ب


َّم ُدَ مَ


ح َ َّد َثنَا


هلل َّ


ص َّىل ا


ِ ِّيب نل


ع ْن ا


ع  َم َر


 ْن ابْ ِن ع


 بْ ِن َ ُعبَيْ َد َة س ْع ِد


ع ْن


ِ ِّع ج


ك ا ْأل ْش

ْ


مالِ


 ْن أ ِب ع


ا ْأل ْ َح َر


ِء ال َّز ْ َك ِة وإِيتَا


ص َال ِة


وإِقََا ِم ال


هلل َّ


أ ْن يُ َو َّح َد ا َىلع


ْ َس ٍة خْ


َىلع


ْس َال ُم إل


َم قَا َل بُ ِ َنْ ا و َسلَّ


علَيْ ِه


ُّج واحلَ


ضا َن


 َم ر


ِصيَا ُم ر َمضا َن قَا َل ل صيَا ُم و


ٌل احلَ ُّج ر ُج


ِّج ف َقا َل واحلَ


َمضا َن ر


و ِصيَا ِم


َسلَّ َم (رواه ابلخاري) و


علَيْ ِه


ص َّىل اهلل َّ


َّ هلل


ُسول ا ر


م ْن


ِم ْعتُ ُه س


هك َذا


 

Bacalah hadis di atas secara teliti lalu jawablah pertanyaan di bawah ini:

1.         Berdasarkan bentuknya, hadis tersebut termasuk hadis apa? Jelaskan!

2.         Berdasarkan sandarannya, hadis tersebut disebut hadis apa?

3.         Ada berapa perowi yang meriwayatkan hadis tersebut? Sebutkan nama-namanya!

4.         Tulislah kembali matan hadis dari teks hadis anda!

5.         Buatlah skema pohon sanad dari hadis tersebut!

6.         Siapa perowi pertama pada sanad hadis tersebut?

7.         Siapa mudawwin pada hadis tersebut?

8.         Setelah anda menjawab semua pertanyaan, kemudian tolong

berikan definisi dari sanad, matan dan rawi!


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 


                          


 

 

 

BAB II

Hadis dan Hubungannya Dengan Al-Qur’an

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian hadis Qudsi serta fungsi hadis terhadap Al-Qur’an

 

A.  Kedudukan Hadits dalam Islam

Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. la menempati kedudukan setelah al-Qur’an.1 Keharusan mengikuti hadist bagi umat Islam, baik berupa perintah maupun larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an. Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber


1 Ada sebagian yang meragukan kehujjahan Sunnah sebagai sumber kedua yang disebut golongan inkar as-sunnah. Lihat lebih lanjut Abu Syuhbah,      Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah, (Kairo : Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1969), 11.


syari’at yang saling terkait Seorang muslin tidak mungkin. dapat memahami syari’at. kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin mengabaikan

salah satunya.

Jadi al hadits dipandang dari segi keberadaanya wajib diamalkan dan sumbernya dari wahyu sederajat dengan al Qur’an. la berada pada posisi setelah Al Qur’an dilihat dari kekuatannya. Karena Al Qur’an berkualitas qathiy secara global saja, tidak secara rinci. Di samping itu al Qur’an merupakan pokok, sedang sunnah merupakan cabang posisinya menjelaskan dan menguraikan.

Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam, dapat dilihat beberapa, dalil berikut:

 

a.    Al-Qur’an

Banyak ayat Al Qur’an yang- menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan, mereka. Hal ini seba- gaimana dijelaskan dalam Surat Ali Imran 17 dan An Nisa’ 36.

Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya, baik berupa, perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan patuh kepada Allah. Banyak ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini.

Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:


الْ َك ِف ِرين (٢٣) ِيب


َّ ل هلل


فَ ِإ ْن تَ َولَّ ْوا فَ ِإ َّن ا والر ُسول


هلل َّ


قُ ْل أَ ِطيعوا ا


“Katakanlah ! taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”

Dalam surat An Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman:


عتُ ْم ِف


تنَاز


 ْم فَ ِإ ْن ك


منْ


وأُول األم ِر


ِطيعوا الر ُسول وأَ


هلل َّ


يَا أ ُّي َها ا َّلين آ َمنُوا أَ ِطيعوا ا


ْش ٍء فَ ُر ُّدو ُه ِإ َىل اهلل والر ُسول

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ….(QS. An-Nisa’: 59).

Disamping banyak  ayat  yang  menyebutkan  ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak memerintahkan mentaati rasul secara terpisah pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada Allah sebagaimana firman Allah yang berbunyi:


هلل َّ


ْد أَ  َطاع ا ف َق


م ْن يُ ِط ِع الر ُسول


“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”(An Nisa’ : 80)

Allah juga, berfirman:

 

)۷ :احلرش( فانتهوا عنه نهاكم وما فخذوه الرسول أتاكم وما “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah SWT juga menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban


mengamalkan sunnah sebagaimana di dalam ayat-ayat yang menerangkan kewajiban taat kepada Rasul. Semua itu merupakan dalil bahwa Al Hadits dijadikan salah satu sumber pembentukan syari’at dalam. Al-Qur’an.

 

b.    Hadits Nabi SAW

Banyak hadits yang menunjukkan perlunya ketaatan kepada. perintah Rasul. Dalam satu pesannya, berkenaan dengan keha- rusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al- Qur’an, Rasul SAW bersabda:

 

وسنيت اهلل كتاب بهما تمسكتم إن ما تضلوا لن أمرين فيكم تركت “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan ter- sesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

 

)داود ابو رواه( ... بها تمسكوا املهديني الراشدين اخللفاء وسنة بسىت عليكم “Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. ” (HR. Abu Dawud).

 

c.    Ijma’

Umat Islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah. Bahkan hal ini mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya. Kaum muslimm menerima hadits seperti mereka menerima Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai cumber hukum Islam.


Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam ha- dits berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, maka Khulafa’ur Rasyidin, tabi’in, tabi’ut tabi’in, atba’u tabi’in serta, masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya, sampai sekarang. Banyak diantara, mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandunganya, akan tetapi mereka menghapal, mentadwin dan menyebarluaskan dengan segala, upaya kepada, generasi-generasi selanjutnya. Dengan ini, sehingga tidak ada, satu haditspun yang beredar dari pemeliharaannya. Begitu pula tidak ada, satu hadits palsupun yang dapat mengotorinya.

 

d.    Sesuai dengan petunjuk akal

Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah diakuidandibenarkan oleh umat Islam. Ini menunjukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi Muhammad SAW membawa, misi untuk menegakkan amanat dan Dzat yang mengangkat karasulan itu, yaitu Allah SWT. Dari aspek akidah, Allah SWT bahkan menjadikan kerasulan itu sebagai salah satu dari prinsip keimanan. Dengan demikian, manifestasi dari, pengakuan dan keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati dan mengamalkan segala peraturan atau perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihadnya sendiri. Di dalam mengemban misi itu, terkadang beliau, hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima oleh Allah SWT baik isi maupun formulasinya dan terkadang pula atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad sema-mata mengenai


suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Kesemuanya itu merupakan hadits Rasul, yang terpelihara dan tetap berlaku sampai ada Hash yang menasikhnya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum. ajaran Islam yang menduduki urutan kedua, setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dan segi ke- hujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanni, kecuali yang mutawatir.

 

B.   Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Al-Qur’an memuat ajaran- ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini haditslah yang berfungsi sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl 44 yang berbunyi:

 

للناس تلبني الكر ايلك وأنزنلا Dan Kami turunkan kepadamu, Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia ... ..... ..

Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, dapat diperinci sebagai berikut:

 

1.    Bayan at Taqrir

Bayan at Taqrir disebut juga bayan at Ta’kid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan mem- perkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya, memperkokoh isi kandungan Al-


Qur’an. Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yang berbunyi:


الْ َم َراف ِق َىل


ْم ك


ِديَ وأَيْ


ْم ك


ُجو َه و


اغسلُوا


َىل الصالة


ْمتُ ْم ُق


َذا


يَا أ ُّي َها ا َّلين آ َمنُوا


ك ْعبَ ْ ِني


ِإ َىل الْ ك  ْم


ْر ُجلَ وأ


ْم ك


وامسحوا بِ ُر ُءو ِس


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak menger- jakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

Ayat di atas ditaqrir oleh hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang berbunyi:

 

يتوضأ حىت أحدث من صالة لتقبل صلعم اهلل رسول قال “Rasul SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudlu.”

Contoh lain, ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:


ص ْم ُه


الش ْه َر فَلْيَ ك        ُم


منْ


ِه َد ش


ف َم ْن


“Karena itu, barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”

Ayat di atas ditaqrir oleh hadits riwayat muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi, sebagai berikut:

 

)مسلم رواه( فأفطروا رأيتموه واذا فصوموا رأيتموه إذا “...... Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru iyah) bulan itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)


Contoh berikutnya ialah dalam banyak ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang syahadah (al-Huiurat: 182 dan 185), dan tentang haji (Ali Imran 97). Ayat-ayat diatas ditaqrir oleh hadist riwayat al Bukhari dari Ibn Umar, yang berbunyi

 

بن اإلسالم عيل خس: شهادة أن لاهل ال اهلل وان ممدا رسول اهلل وإقام الصالة

)ابلخاري رواه( رمضان وصوم واحلج الزاكة وإيتاء “Islam dibangun atas lima dasar: yaitu mengucapkan kalimah syahadah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji dan berpuasa dalam bulan Ramadlan.” (HR. Al- Bukhari)

Menurut sebagian ulama  bahwa  bayan  at  taqrir  atau  bayan at ta’kid ini disebut juga dengan bayan al Muwafiq li Nash al Kitab al karim. Hal ini karena munculnya hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.

 

2.    Bayan at Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau

.penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal,, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.

 

a.    Memerinci ayat-ayat yang mujmal

Yang mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya,


kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat,  puasa,  zakat, jual beli, nikah, qishas dan hudud. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih bersifat global  atau garis besar, atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal-  ini karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan

misalnya,  bagaimana  cara  mengerjakanya,  apa  sebabnya,  apa

syarat-syaratnya atau, apa. halangan-halangannya. Maka Rasul SAW disini menafsirkan dan menjelaskan secara, terperinci. Diantara contoh perincian itu dapat dilihat pads hadits dibawah ini, yang berbunyi:

صلوا كما رأيتموين أصىل ...

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat...”.

Dari perintah shalatnya, sebagaimana dalam hadits tersebut, Rasul SAW kemudian memberinya contoh dimaksud secara sempurna. Bahkan bukan hanya itu, beliau melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang harus dilakukan sejak sebelum shalat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian, maka hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagaimana perincian dari perintah Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:


وآتُوا الز َك َة


وأَ ِقيموا الصالة


“Dan dirikantah shalat, tunaikanlah zakat...”.

 

Masih juga berkaitan dengan ayat diatas, Rasul SAW memberinya berbagai penjelasan dan perincian mengenai zakat secara lengkap, baik yang berkaitan dengan jenisnya maupun ukuranya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki cakupan sangat luas.

 

b.    Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq.

Kata muthlaq, artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul SAW yang berupa men- taqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:

 

)مسلم رواه( عدا فصا دينار ربع ىف ال السارق يد لتقطع “Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih”. (HR. Muslim).

Hadits diatas men-taqyid ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah dalam surat al Maidah ayat 38, yang berbunyi:


هلل َّ


َن ا م


كال


كسبَا نَ


 َزاء بِ َما ج


ُة فَاق َط ُعوا أَيْ ِد َي ُه َما والسارقَ


والسار ُق


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...”


Contoh lain adalah sabda Rasulullah SAW:

 

أحلت نلا ميتان ودمان فإما امليتتان احلوت واجلرد وأما المان فالكبد والطحال

)وابليهيق ماجه وابن احلاكم رواه( “Telah dihalalkan bagi kami dua (macam) bangkai, dan dua (macam) darah Adapun bangkai adalah bangkai ikon dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR. al Hakim, Ibn Majah dan al Baihaqi).

Hadist ini men-taqyid ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat.3, yang berbunyi:

ح ِّر َمت علَيْك ُم الْ َميْتَ ُة وال ُم

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah.   

 

c.    Men-takhsis ayat yang ‘am.

Kata, ‘am ialah kata, yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedang kata, takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus,  tertentu  atau  tunggal.  Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian- bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadits ahad. Menurut asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadits ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebaliknya. Contoh hadits. yang berfungsi untuk mentakhsish ayat-ayat al-Qur’an ialah sabda Rasul SAW yang berbunyi:


ليرث القاتل من املقتول شيأ

“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”. (HR. Ahmad).

 

Hadits tersebut men-takhsish keumuman firman Allah surat

an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:

يُو ِصيك ُم اهلل َّ ِف أَ ْول ِدك ْم لِذلك ِر مثْ ُل ح ِّظ األنْثَيَ ْ ِني

“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. ”.

 

3.    Bayan at Tasyri’

Kata tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at tasyri’ di sini ialah penjelasan hadist yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Rasul SAW dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu dengan sabdanya sendiri.

Banyak hadist Rasul SAW yang termasuk dalam kelompok ini. Diantara hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi seseorang anak.

Suatu contoh dapat dikemukakan di sini hadis tentang

kewajiban zakat fitrah yang berbunyi sebagai berikut :


إن رسول اهلل ص م فرض زاكة الفطر من رمضان عيل انلاس صااع من تمر أو صااع

)مسلم رواه( املسلمني من أنيث أو ذكر عبد أو حر لك عيل شعري من Sesungguhnya Rasul saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan. (HR. Muslim).

Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “bayan zaa’id ‘ala al Kitaab al Kariim (tambahan terhadap nash al-Qur’an).2 Disebut tambahan di sini, karena sebenarnya di dalam al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga da- tangnya hadis tersebut merupakan tambahan terhadap keten- tuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, Hadis mengenai ketentuan diyat. Dalam al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada surat an-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadis mengenai haramnya binatang-binatang buas dan keledei jinak (himar al-ahliyah). Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada, sebagaimana disebutkan, diantaranya pada surat al- A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana dikatakan Abu Zahrah, tidak ada suatu Hadis pun yang berdiri sendiri yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al-Qur’a>n.3

Hal tersebut di atas menurutnya, sesuai dengan ayat al- Qur’a>n surat al An’a>m ayat 38, yang menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’a>n tidak ada yang dilewatkan atau dialpakan sesuatu pun.


2 Abbas Mutawali Hamadah, As-sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ , (Kairo : Dar al-Qoumiyyah li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1981), 161

3    Muhammad Abu Zahrah, Ushu>l al Fiqh, hal. 112


Pandangan  ini  diantaranya  dinukil  oleh  Asy  Sya>fi’i  dalam  ar Risa>lah, yang diperkuat oleh asy Sya>t}ibi dalam al Muwa>fa>qa>t.4

Hadis  Rasul  SAW  yang  termasuk  bayan  tasyri>  ini  wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Hadis-Hadis lainnya. Ibnu al Qayim berkata, bahwa Hadis-Hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’a>n, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau menginka>rinya, dan bukanlah sikap (Rasul SAW) itu mendahului al-Qur’a>n melainkan semata-mata karena perintah-Nya.5

Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas, kelihatannya dise- pakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan yang lainnya, seperti bayan an-nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadis sebagai na>sikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh, diantaranya ialah jumhur ulama mutakallimi>n,   baik   Mu’tazilah   maupun   Asy’ariyah,   ulama Malakiah, Hanafiah, Ibn Hazm dan sebagian Z{a>hiriyah. Sedang yang  menolaknya  diantaranya  ialah  asy  Sya>fi’i  dan  mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Z{a>hiriyah.

 

4.    Bayan an-Nasakh

Kata an-nasakh secara bahasa ada bermacam-macam arti. Bisa berarti  al-ibt}al  (membatalkan),  atau  al  iza>lah  (menghilangkan), atau at-tahwi>l (memindahkan), atau at-taghyi>r (mengubah).

Diantaraparaulama,baikmutaakhiri>nmaupunmutaqaddimi>n

terdapat  perbedaan  pendapat  dalam  mendefinisikan  bayan an-


4 Lihat Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz IV, (Beirut : Dar al Fikr, t.t). hal. 6

5  Ibnu  al  Qayyim  al-Jauziyah,  A’lam  al  Muwaqi’im,  Jilid II, (Mesir           : Matba’ah as sa’adah, 1995), hal. 289.


nasakh memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimi>n, bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian.6

Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemu- dian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai  ketentuan  yang  datang  kemudian  daripada  al-Qur’a>n dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al- Qur’a>n.  Demikian  menurut  pendapat  ulama  yang  menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.7

Di antara para ulama yang membolehkan adanya nasakh Hadis terhadap al-Qur’a>n juga berbeda pendapat dalam macam Hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok.

Pertama,  yang  membolehkan  me-nasakh  al-Qur’a>n  dengan segala Hadis, meskipun dengan Hadis ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Z{a>hiriyah.

Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa Hadis tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.

Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadis masyhur, tanpa harus dengan Hadis mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.8

Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al Bahili, yang berbunyi:

 


6 Abbas Mutawalli Hamadah, As-Sunnah, hal. 173-175

7      Musthafa as Siba>’I, As-Sunnah, hal. 360

8 Abbas Mutawalli Hamadah, as Sunnah, hal. 173-175


)الالنسائ واألربعة أحد رواه( لوارث وصية فال حقه حق ذي لك أعطى قد اهلل إن “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad dan al Arba’ah, kecuali an-Nasa>‘i).9

H{adits  di  atas  dinilai  h}asan  oleh  Ahmad  dan  At-Tirmidzi>. Hadis  ini  menurut  mereka  menasakh  isi  al-Qur’a>n  surat  al- Baqarah ayat 180, yang berbunyi:


واألقْ َربِني


ِص َّي ُة لِلْ َوا ِ َليْ ِن خ ْ ًريا الْ َو


ْن تَ َر َك


 َدك ُم الْ َم ْوت ح


َذا ح   َض أَ


ْم ك


ك ِتب علَيْ


)18٠( ني


الْ ُم َّت ِق َىلع


ًّقا ح


بِالْ َم ْع ُرو ِف


“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf….”.

Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadis yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.

 

C.  Perbedaan antara Hadis Nabawi, Hadis Qudsi dan Al- Qur’a>n.


Baik  Hadis  Nabawi,  Hadis  Qudsi  maupun  al-Qur’a>n  keti- ganya diterima oleh para sahabat dari Nabi SAW. Dilihat dari

9    Ibnu Hajar al Asqalani, Bulu>ghul Mara>m, hal. 202. Dalam redaksi yang berbeda al Bukha>ri meriwayatkan dari Abbas, bahwa suatu ketika Rasul SAW bersabda:

كن املال للول و كنت الوصية للوالين فنسخ اهلل من ذلك و احب فجعل لذلكر مثل حظ األنثيني

وجعل للوالين للك واحد منهما االسدوس..

Lihat al Bukha>ri , S{}}}ah}}i>h al Bukha>ri, Jilid II, hal. 188


satu sudut ini saja, terlihat betapa Rasul SAW sangat luar biasa, terutama dalam hal kekuatan hafalan atau daya ingatannya. Rasul SAW dengan sumber-sumber tersebut membina umatnya, yang berlatar belakang suku, adat dan kemampuan yang berbeda-beda menjadi satu umat yang kokoh yang saling menunjang untuk kepentingan membina umat dan menerapkan serta menjelaskan syari>’at Islam.

Bagi Rasul SAW, segala perbedaan yang ada, baik dari sudut umat yang dibinanya dengan segala potensinya, maupun nash- nash sebagai sumber ajaran yang digunakannya (yang meliputi Hadis   nabawi   itu   sendiri,   Hadis   qudsi   maupun   al-Qur’a>n), merupakan potensi dan fasilitas yang menambah kokohnya upaya dakwah dan pembinaan umat tersebut. Ketiga sumber ajaran di atas merupakan sumber naqli syari’at Islam, yang memiliki persamaan dan perbedaannya sebagaimana terlihat di bawah ini.

 

1.    Hadis Qudsi


Hadis Qudsy atau ilahy adalah setiap Hadis yang disabdakan Nabi SAW dengan mengatakan Allah berfirman” dan mengandung penyandaran Nabi SAW kepada Allah, “Beliau meriwayatkan dari Allah SWT”. Disebut Hadis qudsi atau ilahy karena ia muncul dari Allah SWT, dipandang dari segi keberadaan Allah SWT sebagai yang memfirmankan dan yang memunculkan untuk mula pertamanya. Adapun keberadaannya sebagai Hadis adalah karena Rasul SAW menceritakannya dari Allah SWT. Karena itu jika berkenaan dengan al-Qur’a>n, dikatakan: Allah SWT berfirman”. Sedangkan jika berkenaan dengan Hadis qudsi dikatakan: “Rasul SAW bersabda tentang apa yzng diriwayatkan dari Tuhannya”.10

10  Ajaj al-Khatib, Ushul al H{adi>s, hal. 9


Hadis qudsi dan Hadis nabawi itu kedua-duanya bersumber dari wahyu Allah, sedang perpedaan antara keduanya adalah: Hadis qudsi itu maknanya hanya dari Allah sedang Hadis nabawi ada yang tauqifi yakni bersumber dari wahyu Allah dan ada juga yang taufiqi yakni ijtihad nabi sendiri dan dibenarkan oleh wahyu.11

Hadis qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT, rasul SAW menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT. Sedang Hadis nabawi dinisbatkan kepada rasul SAW dan diriwayatkan dari beliau.12

Dari sudut kebahasaan kata “Qudsi” berasal dari kata “Qa- dusa, Yaqsudu, Qudsan”, yang artinya suci atau bersih. Maka kata “Hadis Qudsi” artinya ialah Hadis yang suci. Dari sudut terminologis, kata Hadis qudsi terdapat beberapa definisi dengan redaksi yang agak berbeda-beda, akan tetapi esensinya pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada  Nabi  SAW,  selain  Al-Qur’a>n  yang  redaksinya  disusun oleh Nabi sendiri. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi tersebut dapat dilihat di bawah ini.

Menurut satu definisi bahwa Hadis qudsi adalah:

 

ما خيرب اهلل تعاىل به انلىب ص.م. بالهلام أو باملنام فأخرب انلىب من تلك املعىن بعبارة

.نفسه “Sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi, kemudian Nabi SAW menyampaikan berita ini dengan ungkapannya sendiri”.


11  Manna’  Khalil  al  Qatan,  terj.  Mudzakir  AS.  Studi  Ilmu-Ilmu  al-Qur’a>n,

(Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996) hal. 28

12  Ajjaj al-Kha>tib, Ushul al H{adi>s, hal. 9


Menurut definisi lain disebut sebagai berikut:

 

.عزوجل اهلل اىل قول .م .ص اهلل رسول فيه يضيف حديث لك “Segala Hadis Rasul SAW yang berupa ucapan, yang disandarkan kepada Allah “Azza wa Jalla”.

Menurut definisi lainnya ialah:

 

ما أخرب اهلل نبيه تارة بالويح وتارة بالهلام وتارة باملنام مفوضا ايله اتلعبري بأي

.شاء عبارة “Sesuatu yang diberitakan Allah SWT yang terkadang melalui wahyu, ilham atau mimpi dengan redaksinya diserahkan kepada Nabi SAW”.

Disebut Hadis, karena redaksinya disusun oleh Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadis ini suci dan bersih (Ath- thaha>rah  wa  al-tanzi>h)  dan  datangnya  dari  zat  yang  Maha  suci. Istilah lainnya, Hadis ini disebut juga dengan Hadis Ilahiyah atau Rabbiyah. Disebut Ilahi atau Rabbani, karena Hadis tersebut datang dari Allah Rabb al-‘Alami>n.13

 

2.    Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi

a.    Persamaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi


Baik Hadis Nabawi maupun Hadis qudsi, pada dasarnya keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:

13  Lebih lanjut lihat Al-Qasimi, Qawa>’id at-Tahdi>ts min Funu>n Musthalah al Ha>dis, hal. 64-69, Subhi Shalih, Ulu>m al-Hadit>s wa Must}alahuh, (Beirut: Dar al Ilmi al-Malayyin, 1959 M/1378 H), hal 11-13 dan Muhammad Usman al-Khusyat, Ma fa>tih Ulu>m al Hadis, (Kairo : Maktabah Al-Qur’a>n, tt), hal. 48


َما ينْ ِط ُق ع ِن الْ َه َوى (٣)إ ْن ه َو ِإل و ْ  ٌيح يُوح (٤) و

“Dan tiadalah yang yang diucapkannya  menurut  kemauan  hawa nafsunya. Ucapanya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

Selain itu redaksi keduanya baik Hadis nabawi maupun Hadis qudsi disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata- mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.

 

b.    Perbedaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi

Perbedaan antara Hadis nabawi dengan Hadis qudsi, dapat dilihat dapat dilihat pada sudut sandarannya, nisbatnya dan jumlah kuantitasnya.

Pertama, dari sudut sandarannya Hadis nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan Hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SWT. Dengan demikian maka dalam mengidentifikasinya, pada Hadis qudsi terdapat kata-kata seperti:

 

ربه عن يرويه فيما .م.ص اهلل رسول قال “Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya”.

 


Atau kata-kata:


قال رسول اهلل ص.م. قال اهلل عزوجل


“ Rasul SAW telah bersabda, “Allah SWT berfirman”.

 

Kedua, dari sudut nisbahnya Hadis nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi maupun maknanya. Sedanglan


Hadis qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SWT dan redaksinya kepada Nabi.

Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah Hadis qudsi jauh lebih sedikit dari pada Hadis nabawi. Dalam hal ini para ulama tidak ada yang memberikan hitungan secara  pasti  tentang  jumlahnya.  Ada di antaranya, Tajuddin al-Manawi al Hadadi, dalam karyanya al- Aha>dits al Qudsiyah menghimpun Hadis-Hadis qudsi sampai 272 Hadis. Dalam sebuah karya yang berjudul al Hadis al Qudsiyah, yang menghimpun Hadis-Hadis qudsi dari 7 buah kitab Hadis (yaitu al Muwatha’ Malik,  S}ah}i>h al Bukha>ri, S}ah}i>h Muslim, Sunan Abu>  Da>wu>d,  Sunan  at  Turmudzi>,  Sunan  an  Nasa>’i,  dan  Sunan Ibnu Ma>jah) terhimpun Hadis qudsi sebanyak 384 buah Hadis.14

 

3.    Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur’a>n

 

a.    Persamaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’a>n

Baik  Hadis  qudsi  maupun  al-Qur’a>n  keduanya  bersumber atau datang dari Allah SWT, yang karenanya Hadis qudsi ini disebut dengan Hadis Ilahi. Karena dilihat dari sudut sumbernya ini, maka dalam periwayatan atau penyampaian keduanya sama- sama memakai ungkapan, seperti: اهلل قال atau وجل عز اهلل قال atau لعل

b.    Perbedaan antara Hadis qudsi dengan al Qur’an

Ada sekitar 6 perbedaan antara Hadis qudsi dengan al Qur’an, seperti dapat dilihat dibawah ini:

Pertama,       Al-Qur’a>n  merupakan  Mu’jizat  terbesar  bagi  Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadis qudsi bukan.


14  Animinus,  Al  H{adi>s  al  Qudsiyah,  Jilid  1-2,  (Beirut  :  Dar  al  Fikr,  1988 M/1408 H)


Kedua,         Al-Qur’a>n redaksi dan maknanya langsung dari Allah SWT sedang Hadis qudsi maknanya dari Allah SWT dan redaksinya dari Nabi SAW.

Ketiga,         dalam    s}alat    al-Qur’a>n    merupakan    bacaan    yang diwajibkan sehingga tidak sah s}alat seseorang kecuali dengan bacaan Al-Qur’a>n. Hal ini tidak berlaku pada Hadis qudsi.

Keempat,     menolak   al-Qur’a>n   merupakan   perbuatan   kufur, berbeda dengan penolakan Hadis qudsi.

Kelima,        Al-Qur’a>n  diturunkan  melalui  perantaraan  malaikat Jibril sedangkan Hadis qudsi diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi.

Keenam,      Perlakuan atau siukap seseorang terhadap al-Qur’a>n diatur oleh beberapa atruran, seperti keharusan bers uci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin kedalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pada Hadis qudsi.

Diantara contoh Hadis qudsi ialah:

 

عن ىلع رىض اهلل عنه قال قال انلىب ص. م. قال اهلل تعاىل اشتد غضيب ىلع من ظلم

)الطربان رواه( غريي نارصا هل جيد ل من Dari Ali ra. Ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW, “Allah SWT berfirman: “Aku sangat murka kepada orang yang melakukan ke- zaliman (menganiaya) terhadap orang yang tidak ada pembelanya selain Aku”. (HR Ath-Thabra>ni).15


15 Ibid, hal. 7


Contoh lainnya ialah Hadis yang berbunyi:


ّو ِري فيها ز


قال رسول اهلل ص.م. قال اهلل تعاىل إن بيوىت ىف األرض املساجد وإن

ع َّمارها (رواه ابو نعيم)


“ Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya rumah-Ku di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang-orang yang memakmurkannya”. (HR. Abu Nu’aim).

Dari uraian di atas, dapat kita ketahui perbedaan antara hadis nabawi, hadis qudsi dan Al-Qur’an seperti pada tabel berikut :

 

No

Hadis Nabawi

Hadis Qudsi

Al-Qur’an

1

Redaksi dan

maknanya dari Nabi

Redaksi dari Nabi, maknanya dari Allah Swt

Redaksi dan

maknanya dari Allah Swt

2

Berasal dari ijtihad Nabi dengan

panduan wahyu

Disampaikan melalui ilham atau mimpi

Diwahyukan

Allah Swt melalui malaikat Jibril

3

Periwayatannya boleh dengan maknanya saja

Periwayatannya boleh dengan maknanya

saja

Periwayatan harus dengan makna

dan lafaznya

4

Umumnya

diriwayatkan secara Ahad

Umumnya

diriwayatkan secara Ahad

Seluruh

periwayatannya mutawatir

5

Bukan merupakan mukjizat Nabi

Bukan merupakan mukjizat Nabi

Merupakan

mukjizat Nabi

6

Membacanya bukan ibadah

Membacanya bukan ibadah

Membacanya

termasuk ibadah

7

Bukan bacaan shalat

Bukan bacaan shalat

Merupakan

bacaan shalat

8

Menyentuhnya tidak disyaratkan dalam

keadaan suci

Menyentuhnya tidak disyaratkan dalam

keadaan suci

Menyentuhnya

disyaratkan dalam keadaan suci


REFERENSI:

1.     Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.

2.     Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama, 1998

3.     Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

4.     M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

5.     Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991

6.     Muhammad ’Ajaj al-Katib, ’as-Sunnah qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971

7.     Ibn Salah, ’Ulum al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.

8.     Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

9.     Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz IV, (Beirut :

Dar al Fikr, t.t).

10.  Ibnu al Qayyim al-Jauziyah, A’lam al Muwaqi’im, Jilid II, (Mesir : Matba’ah as sa’adah, 1995)


PERTANYAAN:

1.  Jelaskan fungsi hadis terhadap al-Qur’an berikut contoh- contohnya!

2.  Apa    yang    kamu    ketahui     tentang     hadis    qudsi?    Apa perbedaannya dengan al-Qur’an?

3.  Sebutkan perbedaan dan persamaan hadis qudsi dengan hadis Nabawi.


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB III

Golongan Inkar As-Sunnah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, sejarah perkem- bangan, dan tokoh-tokoh inkar as-sunnah.

Seperti telah diuraikan di depan, umat Islam telah sepakat bahwa segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,  perbuatan  atau  taqri>r  merupakan  pedoman  hidup yang utama setelah Al-Qur’an.

Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya juga tidak diterangkan cara mengamalkannya dan tidak terperinci, hendaklah dicarikan pemyelesaiannya dalam al-Hadis. Hal itu sampai pada masa sekarang, dengan sanad yang sahih bisa mendatangkan kepastian (qath’iy), dimana


keberadaannya itu merupakan hujjah bagi umat Islam sebagai sumber tasyri‘ untuk mengistimbathkan hukum-hukum syar’i mengenai perbuatan orang mukallaf.

Disamping adanya kesepakatan dari mayoritas umat Islam untuk menerima as-sunnah sebagai hujjah dan dasar perundang- undangan dalam Islam, ada juga sebagaian orang diantara kaum muslimin sendiri yang meragukan kehujjahan dan menolak as-sunnah sebagai sumber syari’at setelah Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa cukuplah Al-Qur’an saja sebagai dasar perundang-undangan. Mereka ini disebut golongan inkar as- sunnah.

 

A.  Pengertian Inka>r As-Sunnah.

Inkar As-Sunnah adalah golongan kaum muslimin yang meragukan kehujjahan dan as-sunnah sebagai sumber syari’at Islam  setelah  Al-Qur’an.  Ragib  Al-Asfaha>ni  (w.  502  H/1108  H), ahli fiqh dan ahli tafsir, mengartikan inkar sebagai penyangkalan dengan ucapan (lidah) sebagai perwujudan dari penolakan hati. Penyangkalan ini terjadi karena ketidak tahuan mengenai hakekat sesuatu yang disangkal.

As-Sya>fi’i  membagi  golongan  ini  menjadi  tiga  golongan, yakni (1) Golongan yang menolak seluruh sunnah, (2) Golongan yang menolak sunnah, kecuali yang memiliki kesamaan dengan petunjuk  Al-Qur’a>n,  dan  (3)  golongan  yang  menolak  sunnah yang berstatus ahad. Golongan yang terakhir ini hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir.1

 


1 M.M. Azami., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) hal. 14


a.    Golongan yang menolak Hadis secara keseluruhan.

Alasan yang dipergunakan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1). Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang sudah barang tentu menggunakan ushlub-ushlub bahasa yang biasa dipergunakan oleh bangsa Arab. Sehingga kalau  seseorang  telah  menggunakan  ushlu>b  bahasa  Arab, ia akan mampu memahami Al-Qur’an tanpa memerlukan penjelasan sunnah dan yang lainnya.

2).   Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya. (QS An-Nahl: 89).

Imam  Sya>fi’i  tidak  menerangkan  dengan  kongkrit  di  dalam kitabnya Al-Umm mengenai siapa yang menolak sunnah itu. Menurut  Abu  Dzahrah  dalam  kitab  Asy-Sya>fi’i  halaman  218 bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy-Sya>fi’i ialah golongan zindiq dan sebagian golongan khawa>rij. Tetapi menurut Asy- Syaikh Al-Khudlari, guru besar sejarah hukum Islam pada Egyptian University, bahwa golongan yang dimaksud oleh Imam Sya>fi’i adalah golongan mu’tazilah.2

b.    Golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’a>n.

Pendapat dari golongan kedua ini menurut lahirnya mengan- dung dua kemungkinan:

1). Mereka menolak Hadis baik ahad maupun mutawatir, ke- cuali bila ada nash Al-Qur’a>n yang sama mengenai lafadznya

 


2 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993) hal. 34-35


atau maknanya dengan Hadis tersebut. Pada hakekatnya pendapat ini sama dengan pendapat yang pertama.

2). Kemungkinan kedua ialah mereka tidak menerima sunnah, kecuali  jika  ada  sandaran  hukumnya  dalam  Al-Qur’a>n, karena Al-Qur’a>n itu sebagai mashdar al-awwal al-kull, yaitu sumber hukum yang pertama yang bersifat universal bagi syari’at Islam.3

c.    Golongan yang Menolak Sunnah yang Berstatus Ahad. Golongan ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: 1). Hadis Ahad tingkatannya z}anni.

2). Ada kemungkinan perawi-perawinya lupa atau berbuat salah.

3). Sejarah telah membuktikan bahwa tidak sedikit orang-orang atau golongan-golongan tertentu untuk maksud tertentu, misalnya untuk maksud politik, untuk kepentingan pribadi, fanatik kepada golongan yang membuat Hadis-Hadis palsu.

Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Hadis wa  Al-MuHadisu>n  halaman  25,  bahwa  golongan  yang  menolak Hadis ahad ialah golongan Qodariyah, Rafidlah dan sebagian madzhab z}a>hiri.4

Sebagian   golongan   Khawa>rij   dan   Mu’tazilah,   juga   tidak menerima Hadis ahad sebagai hujjah. Sebab di dalam Hadis itu terdapat kemungkinan kesalahan purbasangka dan kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan demikian tidak memberikan faedah ilmu qath’iy, padahal Allah SWT berfirman:


 

 

 

3  Ibid, hal. 36

4  Ibid, hal. 39


ٌم علْ


ك بِ ِه


س لَ


ما لَيْ


ول ت ْق ُف


“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mem- punyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Surat Al-Isra’: 36).

Sesuatu yang tidak memberikan kaedah ilmu qath’iy tidak dapat digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan aqidah dan tidak pula dapat digunakan mewajibkan beramal.5

 

B.   Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Golongan Inka>r As-Sunnah.

Diantara faktor yang mendorong munculnya inka>r as-sunnah tersebut ialah ketidak fahaman mereka tentang berbagai hal ber- kenaan dengan ilmu Hadis. Faktor ini bukan hanya terlihat pada mereka yang berfaham inka>r as-sunnah pada zaman Asy-Sya>fi’i saja melainkan juga pada masa berikutnya. Termasuk di dalamnya kelompok penginka>r al-sunnah di Indonesia dan Malaysia.

Salah satu yang mendorong timbulnya kelompok dalam negara tersebut adalah ketidak tahuan mereka tentang isi dan makna  Al-Qur’a>n  serta  ilmu  tafsir  dan  bahasa  arab.  Karenanya banyak ayat-ayat yang diterjemahkan dan difahami secara salah, disamping itu mereka tidak hanya mengetahui seluk beluk pengetahuan Hadis (sunnah).6

Sebenarnya pada masa sahabat, sudah ada orang-orang yang kurang memperhatikan kedudukan sunnah sebagai sum- ber   hukum.   Al-h}asan   menuturkan,   ketika   Imran   bin   H}asan mengajarkan Hadis, ada seseorang yang minta agar tidak usah mengajarkan  Hadis,  tetapi  cukup  Al-Qur’a>n  saja.  Jawab  Imran,


5 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995) hal. 46

6 Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) hal. 87


“Kamu   dan   sahabat-sahabatmu   dapat   membaca   Al-Qur’a>n, maukah kamu mengajarkan s}alat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau  zaka>t  dan  syarat-syaratnya?  Kamu  sering  absen  padahal Rasulullah SAW telah mewajibkan zaka>t begini-begini”. “Terima kasih saya baru sadar”. Jawab orang tadi. Dan ia di kemudian hari menjadi ahli fiqh.

Hal serupa juga pernah terjadi pada Umyyah bin Khalid, dimana ia mencoba mencari seluruh permasalahan dengan merujuk   pada   Al-Qur’a>n   saja.   Akhirnya   ia   berkata   kepada Abdullah bin Umar bahwa di dalam Al-Qur’a>n ia hanya mene- mukan masalah s}alat di rumah dan pada waktu perang saja (s}alat khauf), sedangkan masalah s}alat di perjalanan tidak ditemukan.7 Para sahabat yang menolak sunnah pada abad ke-2 H ini tidak mewakili golongan, tetapi masih bersifat perorangan dan akhirnya mereka menyadari kekhilafannya. Menjelang akhir abad ke-2 H atau pada awal masa Abbasiyah muncul golongan yang  menginka>ri  sunnah  secara  jelas.  Gejala  adanya  golongan inka>r as-sunnah ini hanya terdapat di Iraq saja, tidak di seluruh negeri-negeri Islam. Argumentasi gerakan inka>r as-sunnah yang muncul pada abad ke-2 ini telah dibantah oleh Asy-Syaf’i dengan menulis bantahan terhadap argumentasi-argumentasi  mereka dan membuktikan keabsahan Hadis (sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Sehingga ulama pada masa berikutnya menggelari Asy-Sya>fi’i sebagai “pembela Hadis (Na>shir al-Hadis) atau “Pembela al-sunnah” (Na>shir al-Sunnah; Multazim al-Sunnah), sehingga  gerakan  inka>r  as-sunnah  pada  zaman  as-Sya>fi’i  bisa dipadamkan. Gerakan inka>r as-sunnah pada abad ke-2 tersebut


disebut inka>r as-sunnah klasik.

7    MM. Azami, H{adi>ts Nabi, hal. 41


Sesudah abad ke-2 H, kelompok inka>r as-sunnah ini lenyap dan tidak muncul ke permukaan lagi. Baru kemudian muncul inka>r as-sunnah modern di Kairo Mesir pada abad ke-13 H akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.

Apabila  inka>r  as-sunnah  klasik  masih  bersifat  perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, maka inka>r as-sunnah modern banyak yang bersifat kelompok dan terorganisir, sementara tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu.

Apabila   penginka>r   sunnah   pada   masa   klasik   mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, maka para penginka>r sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap menyebarkan pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.8


Menurut  MM  Azami,  aliran  inka>r  as-sunnah  modern  ini lahir di Kairo Mesir pada masa Syekh Mohammad Abduh ( 1266- 1332 H / 1849-1905 M), dengan kata lain Mohammad Abduh lah orang  yang  pertama  kali  melontarkan  gagasan  inka>r  as-sunnah pada masa modern dengan catatan apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar. Abu Rayyah menuturkan bahwa Muhammad Abduh berkata: “ Umat Islam pada masa ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain Al-Qur’a>n, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau

8   Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) hal. 46


juga berkata: “Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit se- lama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di al- Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju tanpa semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu Al-Qur’a>n. Dan semua hal selain Al-Qur’a>n akan menjadi  kendala  yang  menghalangi  antara  Al-Qur’a>n  dan  ilmu serta amal”.9

Sementara   itu   Prof.   Dr   Musthafa   al-Siba>’i   secara   tidak langsung menuduh Syekh Muhammad Abduh sebagai penginka>r sunnah. Al-Siba>’i mengakui keunggulan-keunggulan Muhammad Abduh bahkan menilai sebagai filusuf Islam, namun disisi lain al- Siba>’i menilai Abduh sebagai orang yang sedikit perbendaharaan Hadisnya. Menurutnya, Abduh memiliki prinsip bahwa senjata yang paling ampuh untuk membela Islam adalah logika dan argumen yang rasional. Berangkat dari prinsip ini Abduh kemudian mempunyai penilaian yang lain terhadap sunnah dan para rawinya berikut dalam memandang sunnah itu sendiri. Pendapat Abduh ini akhirnya dijadikan argumen kuat oleh Abu Rayyah dalam menginka>ri sunnah


Pemikiran Syekh Muhammad Abduh dalam “menolak” sunnah ini kemudian diikuti oleh Dr. Taufiq Siddiqi dimana ia menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun ke IX dengan judul Islam adalah Al-Qur’a>n itu sendiri. Sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’a>n, Taufiq Siddiqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan Sunnah. Pendapat Taufiq Shidqi ini ditanggapi positif oleh Sayyid Rasyid Ridha, dimana antara lain beliau mengatakan, “dalam masalah ini ada suatu hal yang perlu di kaji ulang, yaitu apakah Hadis - yang mereka sebut

9 Ibid, hal. 47


sebagai sunnah qauliyah itu – merupakan agama dan syari’at yang bersifat umum, meskipun hal itu tidak merupakan aturan- aturan yang harus dikerjakan khususnya pada masa-masa awal

?. Apabila kita menjawab “ya”, maka ada pertanyaan besar yang perlu kita jawab, yaitu kenapa Nabi SAW justru melarang apapun selain Al-Qur’a>n ?. Begitu pula para sahabat, kenapa mereka tidak menulis Hadis, bahkan para ulama dari kalangan mereka seperti para khalifah juga tidak terpanggil untuk memperhatikan dan melestarikan Hadis.

Sayyid Rasyid  Ridha  tampaknya  sangat  mendukung pemikiran Taufiq Shiddiqi. Bahkan beliau berpendapat bahwa Hadis-Hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah raka’at s}alat, puasa dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara khusus dimana kita tidak wajib menerimanya. Namun pada perkembangannya beliau mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela Hadis. Demikian pula al-Siba>’i menegaskan bahwa Sayyid Rasyid Ridha adalah orang yang paling gigih membela sunnah.

Ronde berikutnya, tahun 1929 Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajr al-Islam dimana beliau mengulas masalah Hadis dalam suatu bah}asan khusus (bab VI pasal 2) yang mana tulisan beliau justru mengacaukan antara yang haq dan yang bathil, bahkan memberikan keraguan terhadap Hadis. Sementara beliau tetap pada pendiriannya sampai wafat. Kemudian pada tahun 1353 H (1933 M) Ismail Adham mempublikasikan bukunya tentang sejarah Hadis. Ia berkesimpulan bahwa Hadis-Hadis yang  terdapat  dalam  kitab-kitab  s}ah}i>h  (antara  lain  S}ah}i>h  al- Bukha>ri dan S}ah}i>h Muslim) tidak dapat dipertanggungjawabkan


sumbernya. Menurutnya Hadis-Hadis itu secara umum diragukan otensitasnya, bahkan banyak yang palsu.

Ketika masyarakat memprotesnya, Ismail Adham menjawab lewat majalah al-Fath bahwa pendapatnya itu telah disetujui oleh tokoh-tokoh ulama antara lain Ahmad Amin. Ahmad Amin memang tidak membantah pembelaan Ismail Adham itu merupakan pemasungan kreatifitas dan kebebasan berfikir, dan hal itu akan menjadi batu pengganjal dalam penelitian ilmiah. Begitulah, dan akhirnya tongkat estafet Inka>r as-Sunnah di Kairo dipegang oleh Abu Rayyah lewat bukunya Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (sorotan terhadap sunnah Muhammadiyah) seperti telah disinggung di depan.

Aliran   inka>r  as-sunnah  modern   ini  juga   berkembang  di Malaysia dengan tokohnya Kassim Ahmad melalui karya tulis- nya “Hadis suatu Penilaian Semula”. Tulisan Kassim Ahmad tersebut telah mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan. Diantara reaksi yang dikemukakan dalam bentuk tulisan adalah Mahayudin Haji Yahaya (penyunting), “Penjelasan Mengenai Hadis dan KOD 19 (Reaksi terhadap buku “Hadis Suatu Penilaian Semula”). Menurut Umar Yunus, seorang guru besar dan budayawan yang kini tinggal di Malaysia, Kassim Ahmad telah beberapa kali membikin kejutan di Malaysia, yakni:

a.    Dia berhenti sebagai ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia (PSRM)dan sekaligus keluar dari partai itu.

b.    Dia telah menyatakan ingin menjadi anggota UMNO, suatu organisasi yang dulu dimusuhinya.

c.    Dia menerbitkan buku yang menolak Hadis sebagai sumber ajaran Islam.


Selama ini Kassim dikenal sebagai orang yang tidak melibatkan diri pada persoalan agama dan bahkan sering dipertanyakan keterlibatannya dalam pengamalan agama, serta dipertanyakan pengetahuannya tentang agama Islam.

Selanjutnya aliran inka>r as-sunnah modern juga berkembang di Indonesia. Tokoh-tokohnya adalah Abdul Rahman, Moh. Ircham Sutarto, dan Lukman Said. Menurut hasil pengamatan Ahmad Husnan, salah satu sebab yang mendorong timbulnya kelompok Inkar as-Sunnah di Indonesia tersebut ialah ketidak tahuan mereka terhadap isi dan makna Al-Qur’an, serta ilmu tafsir dan bahasa Arab. Karenanya banyak ayat yang diterjemahkan dan dipahami secara salah. Disamping itu Ahmad Husnan secara tidak langsung juga berpendapat , bahwa mereka itu tidak banyak mengetahui seluk beluk pengetahuan Hadis (sunnah). Terbukti Ahmad Husnan dalam bukunya yang membahas inkar as-sunnah menyertakan juga beberapa uraian penting tentang pengertian, kedudukan, sejarah penghimpunan dan berbagai sejarah ilmu Hadis.10

Tetapi pada tahun 1983 keberadaan inkar as-sunnah di Indonesia dilarang dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983. Dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut maka secara resmi inkar as-sunnah di Indonesia dilarang keberadaannya dan buku-buku yang diterbitkan oleh mereka dibredel/ dilarang beredar, meskipun sebenarnya kelompok mereka masih ada namun keberadaan tidak terorganisir secara nyata atau lebih bersifat individual.

 


10 HM. Syuhudi Ismail, Kaedah, hal. 87


Berikutnya aliran inkar as-sunnah modern berkembang di India, Pakistan dan Bangladesh  dengan  tokoh-tokohnya  an-  tara lain adalah Ahmad Dien dan Ahmad Khan. Ahmad Din adalah seorang staf pengajar pada sekolah Islam Amritsar yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang cemerlang, namun dalam membahas dan mengkaji masalah-masalah keagamaan ia merujuk  kepada  Al-Qur’a>n  sebagai  satu-satunya  dasar  hukum Islam. Baginya Hadis bukan merupakan hujjah dalam agama, karena itu kita tidak boleh berpegang pada sunnah. Hal ini dapat diketahui melalui tulisannya “Mu’jizat Al-Qur’an” yang terdiri dari satu jilid. Selain itu mereka juga membentuk kelompok yang dinamakan umat muslimin, serta berhasil menerbitkan majalah “Al-Balaq” yang isinya menyajikan pikiran-pikiran mereka yang membawa missi tertentu yang sesuai dengan idenya.11

Sedangkan Ahmad Khan, dilahirkan di Delhi tahun 1817 dan termasuk kelompok ahli Al-Qur’an. Pertumbuhan kelompok ini tercipta akibat adanya gerakan yang berasal dari murid-murid Ahmad Khan. Pandangan Ahmad Khan tentang sunnah antara lain, bahwa para MuHadisi>n dan para ulama salaf terlalu ceroboh dalam penyaringan sanad Hadis dan matan Hadis. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu sunnah baru bisa menjadi hujjah syar’i yaitu Hadis/sunnah yang diriwayatkan itu benar-benar sabda Rasulullah SAW secara pasti (mutawatir), yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasulullah SAW.12


11 Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989) hal. 153

12 Zufran Rahman, , hal. 152-152


C.  Ajaran-Ajaran Inkar As-Sunnah

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh aliran inkar as- sunnah antara lain:

a.    Taat kepada Allah sebagai satu-satunya sumber dan dasar tasyri’ dalam agama Islam, tidak boleh ada yang lain. Barang siapa yang menggunakan sumber dan dasar hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an akan berakibat kemusyrikan atau kekafiran.

b.    Tugas Rasulullah adalah menyampaikan Al-Qur’an, wahyu yang diterima dari Allah SWT kepada umatnya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menimbulkan hukum baru. Rasulullah SAW menjadi rasul ketika ia menyampaikan Al-Qur’an, wahyu yang diterima dari Allah kepada umatnya, di luar itu dia sebagai manusia biasa, maka perbuatan, perkataan, ketetapan dan cita-citanya tidak dapat menjadi hujjah dalam agama Islam.

c.    Sunnah  yang  ditulis  oleh  Imam  Bukha>ri,  Imam  Muslim  dan ahli Hadis lainnya tidak bisa diterima menjadi dasar atau sum- ber tasyri> Islam. Sunnah Rasulullah adalah bohong dan palsu. Sunnah tidak lain adalah dongeng, omong kosong, bukan perkataan Nabi.

d.    Mereka berkeyakinan bahwa istilah mu’jizat tidak pernah di- sebut  dalam  Al-Qur’a>n,  sedangkan  dalam  Al-Qur’a>n  mema- kai istilah “Ayah” yang berarti pertanda atas kenabian. Nabi Muhammad itu Rasulullah, tetapi ia bukan Nabi terakhir, sesudah Muhammad itu banyak sekali rasul-rasul yang ber- tugas menyampaikan ayat-ayat Allah atau yang menerima dengan  perantaraan  Al-Qur’a>n  yang  disampaikan  oleh  Nabi


Muhammad. Dalam pandangan mereka, kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, yang wajib diimani adalah Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., dan Al-Qur’a>n yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kitab Zabur bukan merupakan suatu kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud, tetapi Zabur itu adalah kekuatan yang didatangkan dan diberikan kepada Nabi Daud. Dengan Zabur (kekuatan) yang diberikan kepada Nabi Daud, maka ia melebihi nabi-nabi yang lain, terutama dalam industri besi. Selanjutnya mengenai masalah Adam as. Dan isterinya adalah manusia pertama yang diturunkan ke permukaan bumi Allah. Akan tetapi Adam bukanlah manusdia pertama yang dijadikan oleh Allah, tetapi manusia pertama yang dijadikan Allah adalah perempuan. Darinyalah lahir anak laki-laki melalui partheonogenese tanpa bapak. Anak laki-laki itu kemudian menjadi suami perempuan tersebut yang dari mereka lahirlah Nabi Adam as. Sebagaimana kejadian Nabi Isa as. Dalam keyakinan terhadap Ka’bah mereka berkeyakinan bahwa di setiap planet di semesta raya ini ada ka’bah, justeru di setiap planet di semesta raya ini ada manusia sebagaimana halnya di bumi kita ini. Sedang dalam keyakinan terhadap Isra’ Mi’raj, mereka berkeyakinan Nabi Muhammad bukanlah melaksanakan Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram Mekkah ke Palestina (Masjidil Aqsha) terus menuju ke Sidratul Muntaha, tetapi Isra’ dan Mi’raj itu berlangsung dari masjidil haram    ke masjidil Aqsha di planet Muntaha. Jadi menurut mereka masjidil Aqsha itu bukanlah di palestina, tetapi terletak di planet Muntaha. Dan pada hakekatnya perjalanan Isra’ dan


Mi’raj ke Sidratul Muntaha itu adalah untuk menunaikan ibadah haji.

e.    Setiap diri mengalami kematian dua  kali  dan  hidup  dua  kali. Mati pertama adalah sebelum lahir dan mati kedua di waktu hidup kini berakhir dengan bermacam-macam sebab musabab. Waktu roh berpisah dengan tubuh tidaklah meng- alami sakaratul maut dan setelah dikuburkan tidak pula mendapat azab kubur.  Karena  menurut  mereka  azab  itu  dua kali yaitu di dunia berupa musibah, kehinaan dan azab    di akhirat adalah manusia masuk ke dalam neraka. Dengan demikian azab kubur itu tidak ada dan untuk itu tidak wajib dipercayai keberadaannya. Adapun hidup yang kedua adalah di akhirat, dimana manusia diberikan kesempatan menikmati hidup di surga dan merasakan kesengsaraan hidup di neraka. Sedangkan mengenai Hadis-Hadis siksa kubur adalah Hadis palsu yang bertentangan dengan Al-Qur’a>n dan logika yang sehat. Bahkan kandungan Hadis-Hadis kubur dan siksaannya tidak   terjamin   kemurniannya   dan   semuanya   dugaan   (z} anniyah), sehingga tidak bisa diyakini kebenarannya, begitu pula Hadis-Hadis tentang Isra’ dan Mi’raj, surga dan neraka, beserta Hadis tentang malaikat Munkar dan Nakir, semuanya adalah batal.

Itulah   diantara   pendapat-pendapat   kelompok   inka>r   as- sunnah, dan masih banyak lagi pendapat yang lainnya.

Sedang dalam hal ibadah, berdasarkan hasil penelitian Drs. Huda  Ali  ajaran  inka>r  as-sunnah  berbeda  dengan  ajaran  Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia, antara lain:


a.    S}alat adalah melakukan permohonan kepada Allah SWT oleh karena itu tidak boleh ada perbuatan atau kata-kata yang di luar dari permohonan kepada Allah SWT seperti cerita, salam kepada orang lain atau menengok ke kiri dan ke kanan. S}alat yang diperintahkan terhadap Yang Maha Kuasa (Allah) hanya s}alat malam (s}alat tahajjud) dan s}alat jum’at. Namun di pihak lain bahwa s}alat yang lima tetap diperintahkan. Yang menjadi objek dalam s}alat yaitu gerakan tubuh yang dimulai dengan berdiri lurus, ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud serta tahiyat. Dan apa yang dikerjakan mayoritas muslim selama ini adalah suatu hal yang keliru.13

b.    Perintah  s}alat  bukan  diterima  pada  waktu  Isra’  dan  Mi’raj, tetapi telah diperintahkan sejak jutaan tahun yang lalu, bahkan semenjak Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, waktu Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW tidak menerima perintah s}alat lima waktu, tetapi ia melakukan Isra’ dan Mi’raj semata-mata untuk melihat ayat-ayat Allah di semesta raya ini (planet-planet), yaitu tentang susunan tata surya dan bintang- bintang di angkasa raya yang semuanya nampak jelas dan meyakinkan bila dilihat dari luar lapisan ionosfir.

c.    Pengertian safar bagi orang yang berpuasa bukanlah seperti yang lazim diterjemahkan dengan “perjalanan” tetapi makna safar itu adalah berbeban. Orang-orang yang tergolong “Ala Safarin” yaitu orang-orang yang lemah fisik , bekerja berat, bertugas di medan perang, perempuan yang sedang hamil tua, perempuan yang haidh.

 


13 Abdul Aziz, Gerakan Islam, hal. 186


d.    Ibadah  zaka>t  diartikan  kecerdasan,  bukan  diartikan  men- sucikan, membersihkan harga. Beberapa aspek pengertian zaka>t itu adalah:

1)        Pemberian ilmu dan penjelasan kepada orang yang mem- butuhkan.

2)        Memberi kesempatan dan lapangan kerja bagi yang mem- butuhkan.

3)        Memberi harta atau uang kepada orang yang membutuhkan,

dengan shadaqah, nafkah atau lainnya.

4)        Memberi pertolongan berbentuk usaha, tenaga, buah pikiran atau apa saja, untuk kepentingan masyarakat umum terutama kepada orang-orang yang membutuhkan.

e.    Bahwa zaka>t itu bukan hanya berupa harta, tetapi memberikan orang lain ilmu/mengajar orang lain juga berarti memberikan zaka>t.

f.     Menunaikan ibadah haji itu pada bulan tertentu asyuhurum ma’lu>ma>t yaitu pada empat bulan haram, Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.

g.    Wukuf di Arafah boleh saja dilakukan pada empat bulan tersebut di atas.

h.    Penyembelihan hewan ternak (qurban) adalah rukun haji terpenting bukan dam (denda yang wajib dibayar).

i.      Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji ke planet Muntaha di kutub nenek moyang manusia bermukim di sana sebagaimana manusia di bumi ini menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang jadi kutub utara dulu sebelum taufan Nuh dan tempat bermukim nenek moyang kita.


j.      Di planet-planet lain di semesta raya ini telah berlaku hukum Islam dan di sana telah ada Mekkah dengan Ka’bahnya selaku kiblat slahat, seperti di bumi dengan penyembelihan ternak qurban.

Demikianlah  ajaran-ajaran  inka>r  as-sunnah,  yang  ternyata bertentangan dengan apa yang dihayati dan diyakini oleh mayoritas umat Islam selama ini. Pemikiran dan pemahaman ajaran agama Islam yang dikembangkan oleh kelompok inka>r as- sunnah sebagaimana telah diceritakan di atas telah menimbulkan dampak  sosial  yang  tidak  baik  bagi  penganut  faham  inka>r  as- sunnah itu sendiri maupun masyarakat Islam lain.

 

REFERENSI:

1.     Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)

2.     Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991

3.     Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)

4.     M.M. Azami., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

5.     Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)

6.     Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000)

7.     Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989) hal. 153


PERTANYAAN:

1.    Apa yang anda ketahui tentang golongan inkar as-sunnah?

2.    Apa perbedaan antara golongan inkar as-sunnah klasik dan modern? Jelaskan dan sebutkan tokoh-tokohnya!

3.    Jelaskan ajaran-ajaran golongan inkar as-sunnah!.


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB IV

Sejarah Perkembangan Hadis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa mampu mendeskripsikan sejarah hadis mulai masa Nabi, sahabat, hingga masa penulisan dan kodifikasinya.

 

A.  Hadits Pada Masa Rasulullah SAW.

Para  ahli  h}adi>th  menyatakan  bahwa  penulisan  h}adi>th  telah dimulai sejak Rasu>lulla>h saw. masih hidup. Banyak sekali para s} ah}a>bat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan h}adi>th,  baik  untuk  disimpan  sebagai  catatan-catatan  pribadi maupun untuk memberikan pesan-pesan kepada orang lain dalam bentuk surat-menyurat dengan membubuhkan h}adi>th.1


1    Utang  Ranuwijaya,  Ilmu  H}adi>th,  (Jakarta  :  Gaya  Media  Pratama,  1996), hal. 51


Namun demikian, gerakan penulisan h}adi>th pada masa Nabi saw. tersebut tidak sehebat penulisan ayat-ayat Al-Qur’a>n. Kalau untuk menuliskan wahyu Allah, Nabi mempunyai sekretaris khusus, untuk penulisan h}adi>th justru sebaliknya. Beliau pernah melarang s}ah}a>bat-s}ah}a>batnya untuk menulis h}adi>th-h}adi>th yang beliau sampaikan kepada mereka. Bahkan terdapat beberapa riwa>yat  yang  isinya  tentang  pelarangan  penulisan  h}adi>th,  di antaranya :

1.                 H}adi>th riwa>yat Abu> Sa’id al-Khudriy ra. :

 

عن أب سعيد اخلدري ريض اهلل عنه قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم ل تكتبوا

عىن ومن كتب عن غري القرأن فليحمه وحد ثوا عىن ول حرج ومن كذب عيل

٢)مسلم رواه( انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا Dari Abu> Sa’id  al-Khudriy ra., dia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda : “Kalian jangan menulis apa-apa yang keluar dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu yang keluar dariku selain Al-Qur’a>n,  maka  hendaklah  ia  menghapusnya.Riwa>yatkanlah dari saya. Barang sipa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka” (HR. Muslim).

2.                 H}adi>th riwa>yat Abu> Sa’id al-Khudriy ra. :

 

عن أب سعيد اخلدري ريض اهلل عنه جهد نا بانلىب صيل اهلل عليه و سلم أن يأذن


فأىب الكتاب ف نلا Abu>  Sa’id  Al-Khudriy  berkata  :  “Saya  pernah  berjuang  agar Nabi memberi izin kepada kami menulis h}adi>th, tetapi Nabi saw. enggan (memberi izin)”.3

2 Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, J. 18, (Kairo : Matba’ah al- Misriyah, 1934), hal. 129.

3    Al-H}asan  bin  Abd  al-Rahman  al-Ramahurmuzi,  Al-Muh}addith  al-Fa>sil Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1984), Juz 4, hal. 5


3.                 H}adi>th riwa>yat Abu> Hurairah ra. :

 

نكتب وحنن وسلم عليه اهلل صىل اهلل رسول خرج قال أنه هريرة أىب عن روي فقال منك نسمعها أحاديث نكتب قلنا تكتبون؟ الي هذا ما فقال الحاديث اهلل كتاب من اكتتبوا بما إل قبلكم المم ضل ما أتذرون اهلل كتاب غري كتاب Diriwa>yatkan dari Abu> Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw.  telah  keluar,  sementara  kami  menulis  h}adi>th-h}adi>th.  Ia bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis ini ? Kami menjawab, “H}adi>th-h}adi>th yang kami dengar dari paduka,”  Beliau bertanya, “Tulisan selain Kitab Allah? Tahukah kalian bahwa kesesatan ummat sebelum kamu dulu disebabkan menulis kitab bersama Kitab Allah SWT.

Inilah fakta-fakta yang memperkuat argumentasi bahwa upaya penulisan h}adi>th pada masa Nabi dibatasi oleh Nabi sendiri. Menurut analisis sejarah, larangan Nabi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu :

1.  Bahwa Nabi melarang para s}ah}a>bat dekat beliau untuk menulis h}adi>th-h}adi>thnya  itu,  dilatar  belakangi  oleh  kekhawatiran beliau sendiri akan tercampurnya ayat-ayat Al-Qur’a>n dengan h}adi>th-h}adi>th,  karena  mereka   pada  umumnya  melakukan penulisan wahyu, sementara alat-alat tulis amat terbatas.

2.  Para  s}ah}a>bat  beliau  juga  pada  umumnya  orang-orang  yang punya daya hafal kuat, sehingga walaupun mereka tidak menuliskan h}adi>th-h}adi>th yang mereka terima, h}adi>th-h}adi>th tersebut tidak akan musnah akibat lupa dan kelalaiannya.

Dengan demikian, alasan-alasan Nabi itu amat pragmatis dan kondisional, sehingga ketika kekhawatiran itu hilang, dan kebutuhan kondisi berubah, maka Nabi pun merubah sikapnya


itu. Terbukti terdapat beberapa riwa>yat yang isinya membolehkan penulisan h}adi>th, yaitu :

1.                H}adi>th yang diriwa>yatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘A<sh.

 

قال عبداهلل بن عمروبن العاص ريض اهلل عنهما, كنت أكتب لك شئ أسمعه مع رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم أريد حفظه فنهتىن قريش وقالوا تكتب لك شئ سمعته عن رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم ورسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم برش يتلكم ىف الغضب والرضا.فأمسكت عن الكتابة. فذكرت ذالك لرسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم فأومأ بأصابعه إىل فيه وقال : أكتب فو الي نفىس بييده ما خرج منه

٤.احلق إل Abdullah bin Amr bin ‘A<sh berkata, saya senantiasa menuliskan segala sesuatu yang saya dengar dari Rasul saw. agar saya menghafalnya. Maka orang Quraisy mencegah aku dan berkata: “Anda menuliskan segala yang anda dengar dari Raulullah saw. sedangkan ia manusia biasa, berbicara dalam keadaan marah dan lapang. Maka saya menahan diri dari menulis. Kemudian saya melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka beliau me- nunjuk mulutnya dengan telunjuknya dan berkata, “Tulislah Demi Allah, tidak ada yang keluar dari sini kecuali yang benar”.

2.                H}adi>th riwa>yat Abu> Hurairah ra.

 

روي عن أىب هريرة أنه ملا فتح اهلل ىلع رسوهل صىل اهلل عليه و سلم مكة. قام الرسول صىل اهلل عليه و سلم و خطب  ىف انلاس. فقام رجل مع أهل ايلمن يقال هل أبو شاه, فقال يا رسول اهلل أكتبوا ىل, فقال أكتبوا أل ىب شاه5.

 


4 Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman bin Al-Fadl, Sunan Darimi, Juz.1,

(Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.) hal 125.

5    Abu> Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 12, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1978), hal. 232


Diriwa>yatkan  dari  Abu>  Hurairah,  bahwa  ketika  Fath  Makkah Rasulullah saw. bangkit untuk berkhotbah di tengah orang ba- nyak. Maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu> Syah. Katanya, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Kata  Nabi, “Tuliskanlah untuknya”.

3.                Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, Nabi mengirim surat-surat ke berbagai penguasa negara-negara tetangga. Sesuai  dengan  cakupan  h}adi>th  adalah  apa  saja  yang  berasal dari Nabi, termasuk isi surat, maka dengan perintah menulis surat, Nabi memberi izin penulisan h}adi>th.

Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa ada dua kelompokriwa>yatyangkelihatannyaterjadikontradiksi, kelompok pertama  melarang  penulisan  h}adi>th,  sedang  kelompok  yang kedua membolehkannya. Dengan adanya kontradiksi tersebut, maka mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti jalan na>sikh dan mansu>kh, dan ada yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).

Menurut   Al-Nawa>wi>   dan   Al-Suyu>thi,   larangan   tersebut dimaksudkan bagi  orang  yang  kuat  hafalannya,  sehingga  tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat hafalannya, maka diperbolehkan  mencatatnya.6  Sedangkan  menurut  Ibnu  Ha>jar Al-Asqalani,   bahwa   larangan   Rasul   saw.   menuliskan   h}adi>th adalah   khusus   ketika   Al-Qur’a>n   turun   dikarenakan   ada   ke- khawatiran   tercampurnya   naskah   Al-Qur’a>n   dengan   h}adi>th.

6    Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1998), hal. 67.


Kemudian menurutnya larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Qur’a>n dalam satu s}uh}uf. Ini artinya, bahwa ketika wahyu tidak turun dan dituliskan bukan pada s}uh}uf untuk mencatat wahyu, maka diperbolehkan menulis h}adi>th.7

Dari   beberapa   pendapat   ulama   h}adi>th   terhadap   adanya kontradiksi dua h}adi>th di atas, jika diambil kesimpulannya, maka dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama,  menurut  sebagian  ulama  bahwa  h}adi>th  riwa>yat Sa’id  Al-Khudry  bernilai  mauqu>f,  karenanya  tidak  dapat  dija- dikan hujjah. Pendapat ini ditolak oleh Ajjaj Al-Khatib, karena menurutnya  h}adi>th  tersebut  adalah  s}ah}i>h>.  Sedangkan  menurut Prof.   Al-Azami,   bahwa   semua   h}adi>th   tentang   pelarangan penulisan h}adi>th tersebut d}a’i>f.8

Kedua, Larangan menulis h}adi>th hanya terjadi pada periode awal Islam, dikarenakan adanya keterbatasan, seperti jumlah umat  Islam  dan  tenaga  penulis  h}adi>th.  Selain  itu  larangan  itu berlaku jika penulisannya dijadikan satu s}uh}uf dengan Al-Qur’a>n. Prof Azami membantah pendapat yang mengatakan bahwa pada masa Nabi terdapat keterbatasan jumlah tenaga penulis h} adi>th  karena  amat  langka  s}ah}a>bat  yang  dapat  menulis  h}adi>th. Banyaknya sekretaris Al-Qur’a>n menggambarkan banyaknya s}ah} a>bat yang pandai menulis.


Ketiga, larangan itu diperuntukkan bagi mereka yang kuat hafalannya, untuk melatih kekuatan hafalannya. Sedangkan bagi mereka yang kurang kuat daya hafalannya maka diperbolehkan untuk menulis h}adi>th.

7    Ibnu  Ha>jar  Al-Asqalani,  Fath  Al-Ba>ri,  Jilid  I,  (Beirut  :  Da>r  Al-fikr  wa Maktabah Al-salafiyah, t.t), hal 218.

8    Al-A’zami,  Studies  in  Early  H}adi>th  Literature,  (Indianapolis,  Indiana  : Islamic Teaching Centre, 1977) Hal. 106-116


Keempat, Larangan tersebut ditujukan kepada masyarakat umum, sedangkan bagi orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak dikhawatirkan akan terjadi kekeliruan, maka diperbolehkan.

Terlepas dari kontradiksi h}adi>th di atas, yang jelas banyak s} ah}a>bat yang pandai menulis dan mempunyai catatan h}adi>th yang terpisah dengan Al-Qur’a>n yang dikenal dengan istilah s}ah}i>fah9. Di antara catatan-catatan itu adalah :

1. 


Al-  S}ah}i>fah  al-S{adi>qah  karya  Abdullah  ibn  Amr  Al-‘A<sh  (w. 63  H/682  M),  seorang  s}ah}a>bat  yang  mengerti  bahasa  Ibrani dan  Syiria.  H}adi>th-h}adi>th  yang  tercantum  dalam  s}ah}i>fah  ini menurutnya telah dibenarkan oleh Rasulullah saw., sehingga diberi  nama  al-s}ah}i>fah  al-s}adi>qah.  Beliau  adalah  s}ah}a>bat  yang mendapat izin langsung  dari  Nabi  saw  untuk  menulis  apa  saja yang didengar dari Rasul, walaupun tindakan tersebut pernah diprotes oleh orang-orang Quraisy. Dalam s}ah}i>fahnya ini  terhimpun  sekitar  seribu  h}adi>th10,  yang  menurutnya  dia terima langsung dari Rasulullah saw. ketika mereka berdua tanpa ada orang yang menemaninya. Pada gilirannya s}ah}i>fah ini berpindah tangan kepada seorang cucunya, yaitu ‘Amr bin Syu’aib. H}adi>th-h}adi>th yang tercatat dalam s}ah}i>fah ini banyak terdapat dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dalam bab

9    Kata  s}ah}i>fah  pada  mulanya  berarti  lembaran,  namun  kadang-kadang kata itu digunakan untuk arti “buku kecil”. Suatu s}ah}i>fah biasanya berisi sunnah Nabi saw, terlepas dari jumlah dan isinya. Banyak di antara s}ah} i>fah tersebut berisi H}adi>th dengan jumlah yang sangat terbatas , namun sebagian ahli pada masa awal tersebut diyakini memiliki seratus hingga seribu lebih h}adi>th dalam s}uh}uf mereka. Lihat Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi H{adi>th Kontenporer, (Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 2002), hal. 11.

10  Hanya  saja  perhitungan  Amr  ibn  Syu’aib  yang  diriwa>yatkannya  Da>ri ayahnya Da>ri kakeknya tidak mencapai lima ratus buah h}adi>th.


Musnad  Abdullah  bin  ‘Amr  melalui  riwa>yat  ‘Amr  bin  Syu’aib dari  bapaknya  dari  kakeknya.  S}ah}i>fah  ini  merupakan  bukti historis  yang  ilmiah  memuat  informasi  tentang  penulisan  h} adi>th Nabi saw. di hadapan beliau dengan izin beliau sendiri.11

2.  S}ah}i>fah Jabir, yang disusun oleh Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H). Ia memiliki catatan h}adi>th dari Rasulullah saw.   tentang   Mana>sik   haji.   H}adi>th-h}adi>thnya   kemudian diriwa>yatkan   oleh   Imam   Muslim.   Tulisan   Jabir   tersebut begitu  terkenal  di  kalangan  banyak  orang.  Seorang   tabiin   besar Qatabah bin Di’amah as-Sadusi (w. 118 H) sangat meng- hargainya dan berkata : “Saya justru lebih hafal tulisan jabir daripada surat al-Baqarah”.12 Jabir juga mempunyai kelompok kajian  di  Masjid  Nabawy  untuk  meng’imlakkan  h}adi>thnya kepada  murid-muridnya.  Banyak  yang  menulis  darinya,  semisal Wahb Ibn Munaaabbih (w. 114 H). Disamping itu Abu> az-Zuabir, Abu> Sufyan, dan asy-Sya’biy juga benar-benar meriwa>yatkan dari Jabir.13

3.  Al-S}ah}i>fah al-Sah}i>h}ah. S}ah}i>fah ini sebenarnya adalah s}ah}i>fah Abu> Hurairah (w. 59 H/679 M) yang diwariskan kepada seorang muridnya Hammam bin Munabbih (40-131/2 H). S{ah}i>fah yang memuat 138 h}adi>th ini telah sampai kepada kita dalam keadaan utuh dan selamat, persis seperti yang diriwa>yatkan dan dicatat oleh  Hammam  dari  Abu>  Hurairah,  oleh   karena  itu  disebut al-s}ah}i>fah  al-s}ah}i>h}ah.  Naskah  dari  s}ah}i>fah  ini  telah  ditemukan oleh Dr. M. Hamidullah dalam bentuk manuskrip aslinya di


11  M.  Ajjaj  al-Kha>t}ib,  Us}u>l  al-H{adi>s,  terj.  M.Qodirun  Nur  dan  Ahmad

Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 173.

12 Lihat Thabaqat Ibnu Sa’d, hal.1-2, bagian II, juz VII.

13  SyihAbu>ddin Ibn Ali (Ibn Ha>jar) al-Asqalany, Tahdhi>b at-Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959), hal 214


Damaskus dan Berlin. 14Isi s}ah}i>fah ini secara keseluruhan mirip yang  dalam  Musnad  Ahmad  dan  juga  banyak  diantara  h} adi>th-h}adi>thnya diriwa>yatkan dalam s}ah}i>h} Bukhori pada bab- bab yang berbeda-beda.

4.  S}ah}i>fah  Ali  bin  Abi  Thalib,  S}ah}i>fah  ini  hanya  berisi  tentang  h} adi>th-h}adi>th  mengenai  ketentuan  hukum  diat,  keharaman Madinah  dan  pembebasan  tawanan.  S}ah}i>fah  ini  sering  beliau gantungkan pada pedang beliau.15 S}ah}i>fah ini juga sangat tipis. Al-Bukha>ri  meriwa>yatkan  kisah  s{ah}i>fah  Ali  ini  dari  riwa>yat Abu> Juhaifah, katanya : “Aku bertanya kepada Ali : “Apakah kamu mempunyai kitab?”. Ia menjawab : “Tidak, kecuali Kitab Allah; ilmu yang kudapat dari seorang Muslim, dan apa yang terdapat dalam s}ah}i>fah ini.” Aku bertanya: “Apa yang terdapat dalam s}ah}i>fah ini?”,  Ia menjawab: “’Aql (ketentuan-ketentuan diat), tentang pembebasan  tawanan  perang,  dan  bahwa  seorang Muslim tidak dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang kafir.”

5.  S}ah}i>fah Sa’ad bin Ubadah, Sa’ad bin ‘Ubadah adalah seorang s}ah}a>bat  senior  (w.15  H).  At-Turmudhi>  meriwa>yatkan  dalam kitab Sunan-nya dari Ibnu Sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata  :  “Kami temukan dalam kitab Sa’ad bahwa Rasulullah saw. menjatuhkan hukuman berdasarkan sumpah dan seorang saksi”.   Akan   tetapi   kita   tidak   temukan   selain   h}adi>th   ini dari  kitab  ini.  Namun  barangkali  kebanyakan  h}adi>th  yang diriwa>yatkan oleh Sa’ad adalah dari s}ah}i>fah ini.”


14  Muhammad   Ajjaj   Al-Kha>t}ib,   As-Sunnah   Qabl   at-Tadwi>n,   (Beirut   : Da>r al-Fikr, 1981), hal. 355-357 dan Subhi as-Salih, ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Musthalahuh, (Beirut : Da>r ‘Ilm li al-Malayin, 1988), hal. 32

15  Lihat  SyihAbu>ddin  Ahmad  ibn  Ali  (Ibnu  Ha>jar)  al-Asqalany,  Fath  al- Bariy, juz vii (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959), hal. 83


6.  Catatan  yang  dimiliki  oleh  Abu>  Syah  (Umar  ibn  Sa’ad  Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul saw  dicatatkan  h}adi>th  yang  beliau  sampaikan  ketika  pidato pada peristiwa futuh Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh s}ah}a>bat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang laki-laki Bani Lais.

Disamping catatan-catatan di atas, masih banyak pula catatan yang  dimiliki  oleh  s}ah}a>bat-s}ah}a>bat  lainnya,  yang  menurut  Al- Azami  tidak  kurang  dari  50  s}ah}a>bat.  Sebagian  besar  mereka mengimlakkan  h}adi>th  tersebut  untuk  dicatat  oleh  murid-murid mereka.16

 

B.  H}adi>th Pada Masa S}ah}a>bat

Kondisi pada masa s}ah}a>bat besar (khulafa>ur Ra>shidi>n), per- hatian mereka masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’a>n.   Dengan   demikian   maka   penulisan   h}adi>th   belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwa>yatan dan menjauhi penulisan h}adi>th tersebut. Oleh karena itu masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwa>yatan.

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwa>yatan dan penu- lisan  h}adi>th  yang  dilakukan  para  s}ah}a>bat,  disebabkan  karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama  Rasul  saw.,  karena  h}adi>th  adalah   sumber  ajaran  setelah Al-Qur’a>n.  Oleh  karena  itu,  para  s}ah}a>bat  khususnya  khulafa>ur ra>shidi>n  dan  s}ah}a>bat-s}ah}a>bat  lainnya,  seperti  az  Zubair,  Ibn

 


16 Al-Azami, Studies…, hal. 132-200.


Abbas  dan  Abu>  Ubaidah  berusaha  memperketat  periwa>yatan, penulisan dan penerimaan h}adi>th.

Abu>  Bakar  sebagai  khalifah  yang  pertama  menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara h}adi>th, demikian juga Umar bin Khatab. Keduanya sangat berhati-hati dalam menerima h}adi>th. Dalam beberapa athar disebutkan bahwa Abu> Bakar dan Umar  tidak  menerima  h}adi>th  jika  tidak  disaksikan  benarnya oleh  seseorang  yang  lain,  seperti  yang  diriwa>yatkan  oleh  Adh Dhahaby  dalam  Tadhkurah  al-Hufaz}.17  Abu>  Bakar  juga  pernah menghimpun h}adi>th, tetapi kemudian membakarnya. Disebutkan dalam sebuah riwa>yat yang disebut bersumber dari ‘A<isyah ra, ia   berkata,   “Ayahku   mengumpulkan   h}adi>th   Rasul   sebanyak 500 buah. Di suatu malam beliau tampak resah. Akhirnya saya bertanya, Apakah ayah sedang sakit atau ada sesuatu ? Pagi harinya,  beliau  menyuruhku  mendatangkan  h}adi>th  yang  ada padaku. Setelah aku menyerahkannya, beliau membakarnya. Saya bertanya, kenapa ayah membakarnya? Beliau menjawab, “Saya khawatir,  bila  saya  mati  h}adi>th  itu  masih  ada  padaku…”.  Abu> Bakar juga pernah mengumpulkan para s}ah}a>bat. Kepada mereka ia berkata: “Kalian meriwa>yatkan h}adi>th-h}adi>th Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang. Padahal orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwa>yatkan h}adi>th tersebut”.


Akan  tetapi  walaupun  Abu>  Bakar  amat  ketat  dalam  peri- wa>yatan h}adi>th, beliau tidak anti pati terhadap penulisan h}adi>th. Bahkan, untuk kepentingan tertentu , h}adi>th Nabi juga ditulisnya. Dalam al-Mu’jam al-Kabi>r, al-T{abrani menyebutkan, bahwa Abu> Bakar  berkirim  surat  kepada  “Amru  ibn  al-‘A<sh,  di  dalamnya

17  Al Khudhory, Ta>ri>kh Tasyri>. hal. 65-66.


ditulis   beberapa   h}adi>th   Nabi.   Juga   dalam   suratnya   kepada Anas  ibn  Ma>lik,  Gubernur  Bahrain,  Abu>  Bakar  mencantumkan beberapa h}adi>th tentang kewajiban membayar zakat bagi orang- orang Islam sebagAima>na yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw.18

Umar bin Khattab terus menerus mempertimbangkan penu- lisan h}adi>th, padahal sebelumnya ia berniat untuk memcatatnya. Diriwa>yatkan   dari   Urwah   bin   Az-Zubair   bahwa   Umar   bin Khattab ingin menulis h}adi>th. Ia lalu meminta pendapat kepada para s}ah}a>bat Rasulullah dan umumnya mereka menyetujuinya. Tetapi masih ragu. Lalu Umar selama satu bulan melakukan s}alat Istikha>rah, memohon petunjuk kepada Allah tentang rencananya tadi. Suatu pagi sesudah mendapat kepastian dari Allah, Umar berkata :

 

إىن كنت أريد أن أكتب السنن وإىن ذكرت قوما كنوا قبلكم كتبوا كتبا فأكبوا

.أبدا بشئ اهلل كتاب أشوب ل واهلل وإىن اهلل كتاب وتركوا عليها “Aku telah menuturkan kepada kalian tentang penulisan kitab h} adi>th, dan kalian tahu itu. Kemudian aku teringat bahwa para ahli kitab sebelum kalian telah menulis beberapa kitab di samping kitab Allah, namun ternyata mereka malah lengah dan meninggalkan kitab  Allah.  Dan  aku,  demi  Allah,  tidak  akan  mengAbu>rkan Kitab Allah dengan sesuatu apa pun untuk selama-lamanya”. Umar pun lalu membatalkan niatnya untuk menulis kitab h}adi>th. Namun demikian menurut riwa>yat Na>fi’ dari Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar menemukan s}ah}i>fah di dalam pegangan pedang Umar ibn al-Khat}t}a>b yang berisi zakat-zakat binatang ternak.


18  Abu> Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h} Bukha>ri, (Beirut : Da>r al-Fikr, tt) ,h}adi>th no. 1454


Sikap kehati-hatian kedua s}ah}a>bat tersebut, juga diikuti oleh Usman dan Ali. Dalam sebuah athar disebutkan bahwa Ali ra. tidak menerima h}adi>th sebelum yang meriwa>yatkan itu disumpah.19.

Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun h}adi>th dalam suatu kitab seperti halnya Al-Qur’a>n, hal ini disebabkan karena20:

1.                Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’a>n.

2.                Para s}ah}a>bat yang banyak menerima h}adi>th dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukan masing-masing sebagai pembina masyarakat, se- hingga ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.

3.                Soal membukukan h}adi>th, dikalangan s}ah}a>bat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafaz} dan kes}ah}i>h}-annya.

 

C.  H}adi>th Pada Masa Ta>bi’i>n

Sebagaima>na para sah}a>bat, para ta>bi’i>n juga cukup berhati- hati dalam meriwa>yatkan h}adi>th. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para s}ah}a>bat. Pada masa ini Al-Qur’a>n sudah dikumpulkan dalam satu mus}h} a>f,  sehingga  tidak  mengkhawatirkan  mereka  untuk  tercampur dengan h}adi>th. Disamping itu pada masa Usman bin Affan para s}ah}a>bat ahli h}adi>th telah menyebar ke beberapa wilayah Islam,

 

 

 


19  al Khudhory , Ta>ri>kh Tasyri>, hal. 65-66

20  Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1997), hal. 92-93


sehingga  memudahkan  para  ta>bi’i>n  untuk  mempelajari  h}adi>th dari mereka.21

Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam   tersebut,   penyebaran   s}ah}a>bat   ke   daerah-daerah   juga meningkat yang berarti penyebaran h}adi>th juga meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal masa penyebaran periwa>yatan h}adi>th (Intisha>r ar Riwa>yah).

H}adi>th-H}adi>th  yang  diterima  oleh  para  ta>bi’i>n  ini,  seperti telah disebutkan ada yang dalan bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan  dan  ada  yang  harus  dihafal,  disamping  dalam  bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para s}ah}a>bat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu H}adi>th pun yang tercecer atau terlupakan.

Sesuai dengan tersebarnya para s}ah}a>bat ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwa>yatan H}adi>th, sebagai tempat tujuan para ta>bi’i>n dalam mencari H}adi>th dan pada gilirannya menjadi pusat kegiatan para ta>bi’i>n dalam meriwa>yatkan h}adi>th-h}adi>th tersebut kepada murid-muridnya. Kota-kota tersebut adalah, Madinah, Makkah, Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghrib,Andalus, Yaman dan Khurasan.22


21  Utang  Ranuwijaya, Ilmu  H}adi>th,  (Jakarta  :  Gaya  Media  Pratama,  1996), hal. 61

22  Munzier Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002), hal.

85


Pada   masa   ta>bi’i>n   juga   terjadi   kegiatan   menghafal   dan menulis   h}adi>th.   Banyak   riwa>yat   yang   menunjukkan   betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang menghafal }adi>th, para ta>bi’i>n seperti: Ibnu Abi Laila, Abu> al-Aliyah, Ibnu Shiha>b az Zuhri, Urwah bin az Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka  yang  sangat  menekankan  pentingnya  menghafal  h} adi>th secara terus menerus. Kata az-Zuhri sebagAima>na dikatakan al Auza’i : “Hilangnya ilmu itu karena lupa dan mau mengingat- ingat atau menghafalnya”. Kata alqamah: “Dengan menghafal h} adi>th maka h}adi>th-h}adi>th akan terpelihara”.

Disamping menghafal h}adi>th diantara mereka juga menulis atau memiliki catatan h}adi>th yang mereka terima dari para s}ah} a>bat. Di antara ta>bi’i>n besar yang menuliskan h}adi>th-h}adi>th yang diterimanya, ialah Abban bin Usman bin Affan, Ibrahim bin Yazid an Nakho’i, Abu> Salamah bin Abdurrahman, Abi Qila>bah, Ummu Darda’, Junainah binti Yahya, Ja>bir bin Zaid al Asdi dan lain-lain. Sedangkan  di  antara  ta>bi’i>n  kecil  yang  memiliki  catatan  h} adi>th ialah: Ibrahim bin Abdul al A’la al Ju’fi, Ibrahim bin Muslim al Ha>jari, Ishaq bin Abdullah, Ismail bin Abi Kha>lid al Ahmasi,

Ayyub bin Abi Tamimah as Sahtayani, Bagir bin Abdillah al Syajj dan lain-lain.

Pada masa ta>bi’i>n ini muncul atau terjadi perpecahan politik yang   sebenarnya   sudah   terjadi   sejak   masa   s}ah}a>bat,   setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang  oleh  Ali  bin  Abi  T{a>lib.  Akan  tetapi  akibatnya  cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawa>rij, Syi’ah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut.


Dari persoalan politik di atas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap   perkembangan   h}adi>th   berikutnya.   Pengaruh   yang langsung  dan  bersifat  negatif  adalah  munculnya  h}adi>th-h}adi>th palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakan kodifikasi h}adi>th sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.

 

D.   Hadis Pada Masa Kodifikasi dan Sesudahnya

Kodifikasi atau tadwi>n h}adi>th artinya pencatatan, penulisan atau  pembukuan.  Al-Zahrani  merumuskan  pengertian  tadwi>n sebagai berikut :


ح ُف


ِه الص فيْ


تْ َم ُع


كتَاب


ديْ َوان اَ ْو


و َجْ ُع ُه ِف


ش َّتت


ت ْق ِييْ ُد المتَ َف ِّر ِق الم


“Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran- lembaran”.23

Secara individual, pencatatan h}adi>th telah dilakukan oleh para s}ah}a>bat sejak zaman Rasul SAW. Namun, yang dimaksud dengan kodifikasi  h}adi>th  atau  tadwi>n  h}adi>th  pada  periode  ini  adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya. Masa kodifikasi h}adi>th ini dapat terbagi menjadi beberapa periode

 


23  Muhammad  Ibn  Mat}ar  al-Zahrani,  Tadwi>n  Al-Sunnah  al-Nabawiyyah, Nash’atihi  wa  Tat}awwurihi  min  Al-Qarn  Al-Awwal  ila  Niha>yat  Al- Qarn Al-Ta>si’ Al-Hijri, (T{aif : Maktabah Al-S{a>diq, 1412 H), hal. 73.


yang masing-masing periode melahirkan beberapa ulama h}adi>th yang berhasil mengarang beberapa kitab h}adi>th.

 

1.                 Permulaan Zaman Pembukuan H}adi>th (Abad ke II H.)

Kegiatan pembukuan h}adi>th dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Azi>z, melalui instruksinya  kepada  Abu>  bakar  bin  Muhammad  bin  Amr  bin Ha>shim (Gubernur Madinah) yang berbunyi:

أنظروا اىل حديث رسول اهلل ص.م. فاكتبوه فإىن خفت دروس العلم وذهاب

٤٢  انليب حديث ال تقبل ول العلمأ Periksalah h}adi>th-h}adi>th Rasul SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah kamu terima kecuali h}adi>th Rasu SAW”.

Motif utama kholifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif membukukan h}adi>th adalah:

a.    Beliau   khawatir   akan   hilang   dan   lenyapnya   h}adi>th   dari perbendaharaan    masyarakat,    disebabkan    h}adi>th    belum didewankan dalam sebuah kitab H}adi>th.

b.  Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan meme- lihara  h}adi>th  dari  h}adi>th-h}adi>th  maudhu’  yang  dibuat  oleh orang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya.

c.   Alasan  tidak  terdewankannya  h}adi>th  secara  resmi  di  zaman Rasulullah   SAW   dan   Khulafa>ur   Ra>shidi>n,   karena   adanya kekhawatiran  bercampur  aduknya  dengan  Al-Qur’a>n,  telah hilang  disebabkan  Al-Qur’a>n  telah  dikumpulkan  dalam  satu mush}af dan telah merata di seluruh pelosok.


24  Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah, hal 329


d. Beliau khawatir hilangnya h}adi>th-h}adi>th, dengan meninggalnya para ulama di medan perang.25

Untuk mencapai maksud itu khalifah menginstruksikan kepada Abu> Bakar Ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan h}adi>th-h}adi>th yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Ans} a>ri.  Seorang  ahli  fiqh,  murid  ‘A<ishah  ra.  dan  h}adi>th  yang  ada pada al Qa>sim bin Muhammad bin Abi Bakar ash- S{idiq. Instruksi yang  sama  juga  ditujukan  kepada  Muhammad  bin  Shiha>b  az Zuhri, seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan Syam. Beliau mengumpulkan  h}adi>th-h}adi>th  dan  kemudian  ditulisnya  dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing  penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar.26

Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Shiha>b-lah orang yang mula-mula mendewankan h} adi>th secara resmi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azi>z.27 Abu>  Bakar  Ibn  Hazm  berhasil  menghimpun  h}adi>th  dalam jumlah yang menurut ulama kurang lengkap sedang Ibn Shiha>b az Zuhri berhasil menghimpunnya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali , karya kedua ta>bi’i>n ini

lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.

Di antara para ulama setelah az Zuhri, ada ulama ahli h}adi>th yang  berhasil  menyusun  kitab  tadwi>n,  yang  bisa  diwariskan kepada generasi sekarang yaitu :

a.    Ma>lik bin Anas (93 179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya bernama al Muwat}t}a’. Kitab tersebut selesai disusun

25 Ibid, hal. 53

26  Mus}t}afa  Al-Siba>’i,  Al-Sunnah  wa  Maka>natuha  fi  Al-Tasyri>  Al-Isla>mi,

(Kairo : Da>r al-Sala>m, 1998), hal,. 64

27  Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1974), hal. 54


pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwi>n yang pertama.

b.    Imam Sha>fi’i dengan karyanya Musnad as Sha>fi’i dan Mukhtalif al h}adi>th (204 H)

c.    Muhammad Ibn Ishaq (150 H) dengan karyanya Al-Maghazy wal Siya>r

Para  pentadwi>n  selain  Ma>lik  bin  Anas,  Imam  Sha>fi’i  dan Muhammad Ibn Ishaq diantaranya adalah Ibnu Juraij (80 150

H) di Makkah, Ibn Abi Dzi’bin (80 158 H) di Madinah, Ar Rabi’ bin S}ah}i>h} (w. 160 H) di Bashrah, Hammad bin Salamah (w. 176 H) di Bashrah, Sofyan ath Thauri (97 – 161 H), di Kuffah, al Auza’i (88 157 H) di Syam, Ma’mar bin Rashi>d (93 153 H) di Yaman, Ibn al Muba>rak (118 181 H) di Khurasan, Abdullah bin Wahab (125 197 H) di Mesir, dan Jarir Ibn Abdul H{ami>d (110 188 H).28 Mereka  terdorong  kemauan  keras  untuk  mengumpulkan  h} adi>th  sebanyak-banyaknya,  dan  mereka  belum  sempat  menye- leksi  apakah  yang  mereka  dewankan  itu  h}adi>th  Nabi  semata- mata  ataukah  termasuk  di  dalamnya  fatwa-fatwa  s}ah}a>bat  dan ta>bi’i>n.  Dengan  demikian,  ciri  kodifikasi  h}adi>th  abad  kedua  ini masih bercampur aduk antara h}adi>th-h}adi>th Rasulullah dengan fatwa-fatwa  s}ah}a>bat  dan  ta>bi’i>n.  Sehingga  kitab-kitab  h}adi>th karya mereka belum diseleksi antara h}adi>th–h}adi>th yang marfu>‘, mauqu>f dan maqthu‘, serta antara H}adi>th s}ah}i>h}, h}asan dan dho’if.29

 

 

 

 

 


28  M. Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah, hal. 330

29 Fatchur Rahman, Ikhtisar, hal. 55


2.                 Periode Penyeleksian Dan Pentashihan H}adi>th (Abad ke III)

Sebagaima>na  diterangkan  di  atas,  bahwa  keadaan  kitab  h} adi>th  pada  abad  ke  II  masih  bercampur  aduk  antara  h}adi>th dan  fatwa-fatwa  s}ah}a>bat  dan  ta>bi’i>n,  antara  h}adi>th  s}ah}i>h},  h} asan dan dho’if. Maka di permulaan abad ke III para ahli h}adi>th berusaha  membukukan  H}adi>th  Rasulullah  semata-mata     dan menyisihkannya dari fatwa s}ah}a>bat dan ta>bi’i>n. Kendatipun kitab- kitab h}adi>th pada permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai satu kelemahan, yakni belum memisahkan antara yang s}ah}i>h}, h}asan dan d}a’i>f termasuk juga h}adi>th mad}u> yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai agama.

Para  ulama  h}adi>th  pada  permulaan  abad  ke  III  menyusun kitabnya secara musnad, diantaranya adalah Abdul Asad Ibn Mu>sa al Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al Khuza>’iy, Ahmad Ibn Hambal, Isha>q Ibn Rohawaih dan Usman Ibn Abi Syaibah.30

Untuk  mengatasi  kelemahan  kitab-kitab  h}adi>th  yang  telah disusun pada permulaan abad ke III, yakni belum memisahkan antara yang s}ah}I>h, h}asan dan d}a’i>f, maka para ulama h}adi>th pada pertengahan abad ke III bergerak untuk menyelamatkannya.  Mereka membuat kaedah-kaedah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah h}adi>th s}ah}i>h} atau d}a’i>f. Para rawi tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, hafalannya dan lain-lain.31 Maka lahirlah tunas ilmu dirayah yang banyak macamnya disamping ilmu riwayah h}adi>th.

30  Hasby ash Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 69

31 Fatchur Rahman, Ikhtisar, hal. 57


Ulama yang memulai usaha memisahkan h}adi>th-h}adi>th yang s}ah}i>h} dan yang tidak adalah Ishaq Ibn Rahawaih yang kemudian dilaksanakan   dengan   sempurna   oleh   Imam   Bukha>ri   dengan menyusun sebuah kitab yang terkenal dengan nama al Ja>mi’ al-S} ah}i>h}. Kemudian usaha ini diikuti oleh Abu> Husein Muslim bin al Hajaj al Kusairi an NaisAbu>ri (Imam Muslim) dengan kitabnya yang disebut al Ja>mi’ as S}ah}i>h}. Menyusul kemudian Abu> Da>wu>d SulAima>n bin al As’at bin Isha>q al Sajistani (202 275 H), Abu> Isha>q bin Isa bin Surah al-Turmudhi> (200 273 H), Abu> Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Ali al-Khurasani An-Nasa>’i (215-303) dan Ibnu  Ma>jah,  Abu>  Abdillah  Muhammad  ibn  Yazi>d  al-Qazwaini (209-273 H). Hasil  karya  keempat  ulama  ini  dikenal  dengan  kitab as Sunan.

Dengan  dua  kitab  al-Ja>mi’  dan  empat  kitab  as  Sunan,  maka kitab hasil tadwi>n dengan metodologi yang sama, sampai disini berjumlah enam kitab,  yang  dijadikan  induk,  standar,  atau  tempat merujuk kitab-kitab lain yang datang sesudahnya, yang terkenal dengan nama Kutub al -Sittah.32 Menurut sebagian ulama dari kutub al-sittah tersebut bisa diurutkan berdasarkan urutan kualitasnya adalah sebagai berikut:

1.                Al-Ja>mi’ as S}ah}i>h} susunan Imam al Bukha>ri

2.                Al-Ja>mi’ as S}ah}i>h} susunan Imam Muslim

3.                As-Sunan Abu> Da>wu>d

4.                As-Sunan At-Turmudhi>

5.                As-Sunan An-Nasa>‘i

6.                As-Sunan Ibn Ma>jah


32  Subhi al-Shalih, Ulu>m al-H}adi>th Wa Must}alahuhu, (Beirut : Da>r al-‘Ilm Al-Malayin, t.t), hal. 48


Pada  masa  ini  pula,  para  ulama  membagi  h}adi>th  kepada beberapa  derajat  yang  s}ah}i>h},  h}asan  dan  d}a’i>f.  Mereka  membuat kaidah-kaedah  untuk  mens}ah}i>h}kan  suatu  h}adi>th  dan  kaedah- kaedah untuk mend}a’i>fkannya. Selain itu mereka juga menetapkan dasar-dasar  yang  harus  dipegang  untuk  menentukan  h}adi>th-h} adi>th  mad}u>‘,  agar  terpisah  dengan  yang  s}ah}i>h},  h}asan  dan  d}a’i>f. Dengan  kata  lain  mereka  telah  melahirkan  ilmu  musthalah  h} adi>th, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk mens}ah}i>h}kan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwa>yat.

 

3.                 Periode Menghafal Dan Men-Isnad-kan H}adi>th Pada Ulama Mutaqaddimin (Abad ke IV).

Ulama-ulama h}adi>th pada abad ke II dan ke III digelari ulama mutaqaddimin,  yang  mengumpulkan  h}adi>th  dengan  semata- mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di pelosok negara Arab, Parsi dan lain-lainnya. Sedangkan ulama-ulama h} adi>th  mulai  abad  ke  IV  dan  seterusnya  digelari  dengan  ulama Muta’akhiri>n,  yang  dalam  usahanya  menyusun  kitab-kitab  h} adi>th hanya dengan menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama Mutaqaddimi>n.

Usaha ulama pada abad ini dalam mengembangkan hadis antara lain adalah sebagai berikut :

a.    Menyusun karya-karya yang metodenya mengikuti metode- metode yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, yakni menyusun kitab shahih dan kitab sunan, seperti : Sunan ad- Da>ruqut}ny, karya Imam Abdul H}asan Ali bin Umar bin Ahmad


ad-Da>ruqut}ny,  S}ah}i>h}  Abi  ‘Awa>nah,  S}ah}i>h}  Ibnu  Khuzaimah,  At Taqsi>n  wa  Anwa>,  susunan  Ibnu  Hibban  dan  Al-Mustadrak, susunan al Ha>kim (w.405 H)

b.    Menyusun  kitab  mu’jam,  seperti   Mu’jam  al-Kabi>r,  Mu’jam  al- Ausat{ dan Mu’jam  al-S{agir, karya Imam Sulaima>n bin Ahmad At T{abarany.

c.    Menggabungkan beberapa kitab hadis yang sudah ada, adakalanya yang menggabungkan 2 kitab shahih, yaitu kitab al-jam’u bayn al-Shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad (w.401 H), dan adakalanya yang menggabungkan enam kitab, seperti yang dilakukan oleh Abi al-Hasan Razin bin Mu’awiyah al-Sirqisthi (w.535 H)dengan judul al-Tadrid al-Shahah wa al- Sunan”, merupakan gabungan antara Shahihayn, Muwatha’ dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Majah.

d.    Syarah, yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad maupun matan, terutama maksud dan makna matan hadis dan pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis lain, misalnya Syarh Ma’anil al-Atsar dan Syarh Musykil al-Atsar karya al-Thahawi (w.321 H).

e.    Mustakhraj, metode  penulisan  istikhraj  ialah  seorang menghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah buku hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustakhraj Abi Bakar al-Isma’ili ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 371 H).

Para   ulama   abad   ke   IV   ini   selain   mentahdhi>bkan   dan memeriksa sanad kitab-kitab yang sudah ada, mereka juga berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya h}adi>th-h}


adi>th yang telah terdewan itu hingga tidak mustahil sebagian dari mereka  sanggup  menghafal  beribu-ribu  h}adi>th.  Sejak  periode inilah  timbul  bermacam-macam  gelar  keahlian  dalam  ilmu  h} adi>th, diantaranya adalah:

a.  Amir> al mukmini>n fi> al h}adi>th yaitu orang-orang sepeninggal Nabi SAW  yang  meriwa>yatkan  h}adi>th  yang  seolah-olah  berfungsi sebagai  khalifah  dalam   menyampaikan   sunnah.   Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain: Syu’bah Ibn al Hajjaj, Sufyan  ats  Tsauri,  Isha>q  bin  Rahawaih,  Ahmad  bin  Hambal, al-Bukha>ri, ad Da>ruquthny dan Muslim.

b.   Al Ha>kim, yaitu gelar keahlian bagi imam-imam h}adi>th yang mengusai   seluruh   h}adi>th   yang   diriwa>yatkan   baik   matan maupun  sanadnya  dan  mengetahui  ta’di>l  dan  tajrih  para perawi, juga harus menghafal. Yang mendapat gelar ini antara lain  Ibn  Dinnar,  Al  Laits  bin  Sa’ad,  Imam  Ma>liki  dan  Imam Sha>fi’i

c.    Al-Hujjaj, yaitu gelar keahlian bagi imam yang sanggup mengahafal   300.000   h}adi>th   baik   matan,   sanad   maupun perihal si pera>wi. Yang mendapat gelar ini antara lain adalah: Hisyam bin Urwah, Abu> Huzail Muhammad bin al Wa>lid dan Muhammad Abdullah bin Amr.

d.    Al  Ha>fiz},  yaitu  gelar  ahli  h}adi>th  yang  mens}ah}i>h}kan  sanad dan  matan  h}adi>th  dan  dapat  menta’di>lkan  dan  menjarhkan rawinya. Menurut sebagian pendapat mereka harus mengahafal  100.000  h}adi>th.  Yang  mendapat  gelar  ini  antara lain al-Iraqy, Shamsuddin ad Dimyathi, Ibnu Ha>jar al Asqalani dan Ibn Daqiqil’id


e.  Al-Muh}addis, yaitu orang yang dapat mengetahui sanad-sanad dan  nazil  (rendah)nya  suatu  h}adi>th,  memahami  Kutub  al- Sittah, Musnad Ahmad, Sunan al Baihaqy, Mu’jam T{abarany dan mengahafal h}adi>th sekurang-kurangnya 1000. Yang mendapat gelar ini antara lain ‘atha’ bin Abi Ribah dan Imam Az-Zabidy.

f.  Al Musnid, yaitu gelar bagi orang yang meriwa>yatkan h}adi>th beserta sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. Al Musnid  juga  disebut  dengan  At-T{a>lib,  Al-Mubtadi’  dan  Ar Rawy.33

 

4.                 Periode Mengklasifikasikan Dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab H}adi>th (Abad V dan Seterusnya)

Usaha  ulama  ahli  h}adi>th  pada  abad  ke  V  dan  seterusnya diantaranya adalah :

a.    Mengklasifikasikan   h}adi>th   dengan   menghimpun   h}adi>th-h} adi>th yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab h}adi>th.Oleh karena itu lahirlah kitab-kitab hukum seperti:

1)  Sunan al-Kubra, karya Abu> Bakar Ahmad bin Husein Ali al Baihaqy (384 – 458 H).

2)  Muntaqa’ al Akhbar, karya Majduddin al Harrany (w. tahun 562 H).

3)  Bulughul Maram min Ahaditsil Ahkam, karya Al-Hafidz Ibnu

Hajar al-Asqalany (852)

4)  Nail al-Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa’al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali As Syaukai (1172 – 1250 H).

5)  Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghany al-Maqdisy.


33 Fathur Rachman, Ihtisar…., hal. 37-39


Selain itu juga lahirlah kitab-kitab h}adi>th Targi>b wa al-Tarhi>b, seperti:

1)  At Targi>b wa al Tarhi>b karya Imam Zakiyuddin Abdu al ‘Az} i>m al Munziri (w. tahun 656 H).

2)  Riyad} al-S{a>lih}i>n karya Imam Muhyiddin Abi Zakariyya an Nawa>wi> (w. tahun 676 H).

3)  Dali>l al Fa>lih}I>n, karya Muhammad Ibn ‘Allan as Shidiqy (w. tahun  1057  H)  sebagai  sharah  kitab  Riyad}  al-S{a>lih}i>n  karya Imam Muhyiddin Abi Zakariyya an Nawa>wi> (w. tahun 676 H).

b.    Mensharahkan  dan  mengikhtisarkan  kitab-kitab  h}adi>th yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Contoh kitab- kitab syarah diantaranya :

1)  Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)

2)  Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)

3)  Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri

(wafat 536 H / 1142 M)

4)  Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)

5)  Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)

Sedangkan contoh kitab Mukhtashar (ringkasan), diantaranya:

1)           Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)

2)           Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)


c.    Menyusun kitab hadis Athraf, yaitu tehnik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya Athraf al-Kutub al-sittah yang ditulis oleh al-Maqdisi.

d.    Mentakhrij, yaitu mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis atau buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar al-Sabil oleh Nashiruddin al- Albani.

e.    Zawa’id, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti : Zawa’id Ibn Majah, Zawa’id al-Sunan al- Kubra disusun oleh al-Bashri. (w. 840).

f.     Jawami’ atau jami’, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. Secara mutlaq, seperti al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ al-Shagir tulisan al-Suyuthi (w. 911 H)

g.    Menciptakan kamus h}adi>th (kitab Indeks Hadis) untuk mencari pentakhri>j  suatu  h}adi>th  atau  untuk  mengetahui  dari  kitab  h} adi>th apa suatu h}adi>th didapatkan, di antaranya yaitu:

1)  Al  Ja>mi’  al-S{agi>r  fi  Ah}a>di>th  al-Basi>r  an-Nadhi>r   karya  Imam Jalaluddin  as  Suyu>t}i.  (849   911  H).  Kitab  yang  mengum- pulkan  h}adi>th-h}adi>th  yang  terdapat  dalam  kitab  VI  ini disusun  secara  alphabetis  dari  awal  h}adi>th  dan  selesai ditulis pada tahun 907 H.

2)  Dakha>ir  al  Mawa>rith  fi  al  Dalalati  ‘Ala  Mawad}i  al  Ah}a>di>th, karya al ‘Allamah as Sayyid Abdu al Gani al Maqdisi an NAbu>lisi.  Di  dalamnya  terkumpul  kitab  Athraf  7  (S}ah}i>h} Bukha>ri-Muslim, sunan empat dan Muwat}t}a’).


3)  Al Mu’jam al Mufahras li Alfa>z} al Ah}a>di>th an Nabawi, karya Dr. A. J. Wensinck dan Dr. J.F. Mensing , keduanya adalah dosen bahasa Arab Universitas Leiden. Kitab kamus h}adi>th yang  mengandung  h}adi>th-h}adi>th  kitab  enam,  Musnad  ad Da>rimi>,  Muwat}t}a’  Ma>lik  dan  Musnad  Ahmad  ini  selesei dicetak di Leiden pada tahun 1936 M.

4)  Mifta>h  Kunuz  al  Sunnah,  karya  Dr.  a.J.  Wensinck  berisikan  h} adi>th-h}adi>th yang terdapat dalam 14 macam kitab h}adi>th. Kitab tersebut disalin dalam bahasa Arab oleh ustadz Muhammad Fuad Abdu al Baqi dan dicetak di Mesir tahun 1934 M (cetakan pertama).

Usaha selanjutnya adalah penyusunan ensiklopedi hadis  yang telah dirintis beberapa tahun yang lalu oleh Universitas Al- Azhar di Mesir. Ensiklopedi hadis ini tediri atas 100 jilid lebih pembahasan mengenai hadis.34


Selanjutnya, dengan adanya perkembangan tehnologi, maka para sarjana Muslim di Inggris yang tergabung dalam Organisasi Islam Kingdom Islamic Mission (Misi Islam di Inggris) telah mendirikan The Islamic Computing Centre (Pusat Komputer Islam). Diantara tokoh-tokoh yang ada di Pusat Komputer Islam ini adalah A.K. Barkatullah (Alumni Deoband India), Zafar Ahmad Ansari, Suhaib Hasan, dan Iqbal Ahmad Azami (ketiganya alumni Universitas Islam Madinah). Salah satu tujuan didirikannya pusat komputer islam ini adalah menyajikan pengetahuan tentang islam dalam bentuk digital, termasuk di dalammya hadis Nabi. Kini pendataan dan komputerisasi hadis telah dilaksanakan terhadap

34 Rifyal Ka’bah, “Pusat Komputer Islam” dalam majalah Panji Masyarakat, No. 417, tahun xxv/1983, 38


sembilan kitab hadis standar (al-Kutub al-Tis’ah) dan kitab-kitab hadis lainnya.

 

REFERENSI:

1.     Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, J. 18, (Kairo : Matba’ah al-Misriyah, 1934)

2.     Al-H}asan bin Abd al-Rahman al-Ramahurmuzi, Al-Muh}addith al-Fa>sil Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1984)

3.     Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman bin Al-Fadl, Sunan Darimi, Juz.1, (Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.)

4.     Abu>   Abdillah   Ahmad   Ibnu   Hanbal,   Musnad   Ahmad   bin Hambal, Juz 12, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1978)

5.     Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1998)

6.     Ibnu Ha>jar Al-Asqalani, Fath Al-Ba>ri, Jilid I, (Beirut : Da>r Al-

fikr wa Maktabah Al-salafiyah, t.t)

7.     Al-A’zami, Studies in Early H}adi>th Literature, (Indianapolis, Indiana : Islamic Teaching Centre, 1977)

8.     Fazlur   Rahman   dkk,   Wacana   Studi   H{adi>th   Kontenporer,

(Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 2002)

9.         M.  Ajjaj  al-Kha>t}ib,  Us}u>l  al-H{adi>s,  terj.  M.Qodirun  Nur  dan

Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998)

10.  SyihAbu>ddin  Ibn  Ali  (Ibn  Ha>jar)  al-Asqalany,  Tahdhi>b  at- Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959) 11.Muhammad   Ajjaj   Al-Kha>t}ib,   As-Sunnah   Qabl   at-Tadwi>n,

(Beirut  :  Da>r  al-Fikr,  1981),  hal.  355-357  dan  Subhi  as-Salih, ‘Ulu>m  al-H}adi>th  wa  Musthalahuh,  (Beirut  :  Da>r  ‘Ilm  li  al- Malayin, 1988)


12.SyihAbu>ddin  Ahmad ibn Ali  (Ibnu Ha>jar)  al-Asqalany, Fath al-Bariy, juz vii (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959) 13.Abu>   Abdillah   Muhammad   bin   Ismail   al-Bukha>ri,   S}ah}i>h}

Bukha>ri, (Beirut : Da>r al-Fikr, tt)

14. Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r al- Fikr, 1997)

15. Utang   Ranuwijaya,   Ilmu   H}adi>th,   (Jakarta   :   Gaya   Media Pratama, 1996)

16. Munzier Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,

2002)

17. Muhammad  Ibn  Mat}ar  al-Zahrani,  Tadwi>n  Al-Sunnah  al- Nabawiyyah,  Nash’atihi  wa  Tat}awwurihi  min  Al-Qarn  Al- Awwal ila Niha>yat Al-Qarn Al-Ta>si’ Al-Hijri, (T{aif : Maktabah Al-S{a>diq, 1412 H)

18. Mus}t}afa  Al-Siba>’i,  Al-Sunnah  wa  Maka>natuha  fi  Al-Tasyri>

Al-Isla>mi, (Kairo : Da>r al-Sala>m, 1998)

19. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1974)

20. Hasby  ash  Shidiqy,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu  H}adi>th, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)

21. Subhi  al-Shalih,  Ulu>m  al-H}adi>th  Wa  Must}alahuhu,  (Beirut  : Da>r al-‘Ilm Al-Malayin, t.t)


PERTANYAAN:

1.    Mengapa Rasul melarang hadis? Sebutkan alasannya!

2.    Apa upaya yang dilakukan para sahabat dalam menjaga kemurnian hadis Nabi?

3.    Siapakah tokoh-tokoh utama dalam penulisan hadis pada masa awal? Apa usaha yang mereka lakukan?

4.    Bagaimana system penyaringan hadis yang digunakan oleh para ulama hadis?

5.    Sebutkan kitab-kitab hadis yang disusun dengan menggunakan metode seleksi hadis!


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB V

Ulumul Hadis

Dan Cabang-Cabangnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar:

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, perkembangan, dan cabang-cabang ulumul hadis

 

A.  Pengertian Ilmu Hadist

Kata ilmu hadis merupakan kata serapan dari bahasa arab ilmu al-hadis ayang terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan al-hadis. Maka ilmu hadis berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun lainnya.

Secara terminologis ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yamg membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampai pada rasul saw. Dari segi hal ihwal para prawinya yang me-


nyangkut kedhobitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sand, dan sebagainya. Menurut ‘Izzudin bi Jama’ah mengatakan bahwa ilmu hadis ialah ilmu tentang ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah untuk mengetyahui hal ihwal sanad dan matan hadis. Dengan pengertian ini maka yang menjadi pokok pembahasan idari ilmu ini ialah sand dan matan.1 Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits diroyah, dengan

penejelasan sebagai berikut :

 

1.    Ilmu Hadis Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Maka ilmu ha- dis riwayah artinya ilmu berupa periwayatan. Secara terminologis, Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang mencakup perkataan dan perbuatan nabi, periwayatannya, pemeliharaannya, dan penulisan atu pembukuan lafad-afadnya. Ilmu hadis riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.Dengan definisi tersebut dapat dikatakan ilmu hadis riwayah ialah pengetauan tentang hadis itu sendiri.


Obyek ilmu riwayah adalah pribadi nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya dan membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada porang lain, memindahkan dan mentadwinkan hadis. Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadis riwayah ialah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi saw. Perintis ilmu hadis riwayah ini ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat tahun 124 H.).

1  Utang Ranuwijaya, ilmu hadis,( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 74.


2.    Ilmu Hadis Diroyah

Ilmu hadis diroyah juga dikenal dengan sebutan Mustholah al- hadis, ilmu ushul al-hadis, dan qowa’id at-tahdis. Ilmu hadis diroyah ialah suatu ilmu untuk mengetahu keadaan sanad dan matan, diterima atau diterima, dan yang bersangkut dengan itu.2

Obyek ilmu Hadis Diroyah ialah sanad dan matan  dari  sudut diterima atau ditolaknya suatu hadis. Sedangkan faedah mempelajarinya adalah :

a.    Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa Rasul SAW sampai sekarang.

b.    Mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwa- yatkan hadis.

c.    Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para

ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut.

d.    Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, criteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hokum syara’.3 Untuk melihat lebih jelas perbedaan antara ilmu riwayah

dengan ilmu dirayah dapat dilihat pada table berikut ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1998), 130

3 Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaya Media Pratama,

1996 ), 78


No

Pembagian

Ilmu Hadis Riwayah

Ilmu Hadis Dirayah

1.

Definisi

Ilmu yg menukilkan

segala yang disandar- kan kpd Nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya. Ilmu peng. yang men- cakup perkataan dan perbuatan Nabi, peri- wayatannya, pemeliha- raannya, dan penuli- sannya atau pembu- kuan lafadz-lafadznya. (Ibn al-Akfani)

Pengetahuan tentang hadis itu sendiri.

Ilmu yang membahas proses penyampaian hadis dari seorang perawi kepada yang

lainnya.

Undang-undang atau

kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad atau matan.(M. Mahfudz at-Tirmisi).

Kumpulan              kaidah untuk mengetahui atau mengkaji permasalahan sanad (rawi) dan matan (marwi) yang berkaitan dengan kualitasnya.

2.

Nama Lain

 

Ilmu Ushul al-Hadis,

Ulum                   al-Hadis, Musthalah al-Hadis, Qawa’id at-Tahdis.

3.

Objek

Pribadi Nabi baik uca-

pan, perbuatan taqrir atau sifat, cara mene- rima, menyampaikan atau memindahkan atau mendewankan hadis

Sanad, matan dan rawi

dari      sudut       diterima atau ditolaknya

4.

Faedah /

Signifikan

Menghindari adanya

salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi.

Melihat keaslian lafadz-

lafadz hadis.

Mengetahui Nilai dan

criteria / kualitas hadis


5.

Pelopor

Muhammad Ibn Syihab

Az-Zuhry (w. 124 H)

Muhammad                 Ar-

Ramaharmuzi   (w.  360

H) : Al-Muhaddis al- Fashil Baina Ra’I wa al-Wai

 

B.   Cabang-Cabang Ulumul Hadis

1.    IImu Rijalil Hadis

Yang dimaksud dengan llmu Rijalil Hadis ialah: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya .”

Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu. dalam menerima hadis.Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.

Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata

-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan


yang di dalam ilmu hadis disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat. Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam hal inipara ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab sesuai dengan keinginan mereka.

Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat  ringkas  para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Yusuf bin Abdillah al-Barr (463 H). Kitabnya bernama Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab.Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usud al-Ghabah fi Ma’rifat as-Sahabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab Tajrid Asma as-Sahabah.

Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Isabah fi Tamyiz as-Sahabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Ist’iab dengan Uusd al Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan


oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah. Al-Bukhori dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.

 

2.    Ilmul Jarh Wat Ta’dil

Ilmu Jarh Wat Ta’dil, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmu jarh wat takdil ialah:

“Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. “

Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat- riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI- Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan


banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me- rafa-kan ltadis yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).

Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)”, sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.

Di antara pemuka-pemuka jarah dan ta’dil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), Muhammad ibnu Saad (230 H), Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al- Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H). Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).

Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan


perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.

Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.

Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261

H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al- Asqalani dan As-Sayuti.

Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H)

 

3.    IImu Illail Hadis

Ilmu Illial Hadis, ialah:

Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis baik dari sisi sanad maupun matannya.

Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu

memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa


itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.

Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui pe- nyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan- matan hadis.

Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah Ibn Hajar al-Asqalany dengan karyanya al-Zahr al-Ma’lul fi al-Khabar al-Ma’lul, AI-lmam Muslim (261 H), Ad- Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.

 

4.    Ilmu nasil wal mansuh

Ilmu nasih wal Mansuh, ialah:

“ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.“

Apabila  didapati  suatu  hadis  yang  maqbul,  tidak  ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.

Banyak  para  ahli  yang  menyusun  kitab-kitab  nasih  dan

mansuh  ini,  di  antaranya  Ahmad  ibnu  Ishaq  Ad-Dillary  (318


H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al- lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) . Tajrid al-Ahadis al-Mansukhah karya al-Jauzi. Muhammad bin Musa al-Hazimi penyusun kitab al-I’tibar fi an- Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar.

 

5.    Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, ialah:

Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, ialah:

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu.”

Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.

UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H

 

6.    Ilmu Talfiqil Hadis

Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:

“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. “


Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan meman- dang banyaknya yang terjadi.Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.

 

C.  Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadis.

1.    Sejarah Pertumbuhan Ilmu Hadis

Melihat definisi dan kegunaan ilmu hadis Diroyah dan Ilmu Hadis riwayah di atas, nampak sekali adanya korelasi antara keduanya, ilmu Hadis Diroyah lahir dari pemikiran karena perlunya pemeliharaan dan pemurnian hadis dari kehilangan dan pemalsuan, sehingga tidak boleh ada satu hadis Shahih pun yang tercecer. Ilmu Hadis Riwayah dalam perjalanan dan peredarannya sangat memerlukan kaidah-kaidah pendukungnya. Oleh karena itu, maka keduanya berjalan bersama-bersama.

Pengertian dan pemahaman di atas diperlukan untuk me- lihat kapan Ilmu Hadis itu mulai tumbuh dan sejak kapan  pula mengalami perkembangannya. Di sini dapat dikatakan, bahwa benih-benih ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya.

Pada masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini karena, Rasul SAW sebagai sumber untuk merujukan hadis, sudah wafat. Sehingga dibutuhkan tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis-hadis yang


hanya didengar atau disampaikan oleh seorang saja. Lebih-lebih ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Hal ini sudah barang tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna melakukan seleksi dalam penerimaan dan periwayatan atau penyampaian hadis kepada para muridnya.4

 

2.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis

Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar ilmu hadis riwayah ialah Ibnu Syihab Az-zuhri (51-124 H.). ini diperlukan sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagi pengumpul hadis, atas perintah resmi dari Khalifah Umar bi Abdul Azis. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang spiel dan sederhana. Sedangkan ilmu hadis dirayah juga muncul pada abad ini dan disponsori oleh Ali Ibn Madani (161- 234 H), Bukhary (198-252 H), Muslim (204-261 H), dan al-Turmuzi (200-279 H). Adapun tahap perkembangan ilmu hadis menurut Dr. Nuruddin ‘Itr selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. 


Tahap kelahiran, yaitu masa sahabat hingga akhir abad pertama hijrah. Ciri tahap ini adalah adanya penyedikitan riwayat, kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis, pengujian thd setiap riwayat, mencari sanad hadis dan meneliti karakteristik rawi, membandingkan riwayat rawi satu dengan yang lain, yang kemudian memunculkan konsep hadis marfu’, mauquf, maqthu’, dan sebagainya. Belum berdiri van tersendiri.

4 Ibid, 87-88


b.  Tahap penyempurnaan, dimulai awal abad ke 2 hingga abad ke 3 H. Masa ini ulumul hadis sudah menjadi cabang ilmu tersediri. Setiap cabang UH berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh para ulama, mis : jarh wat ta’dil, illal hadis dan lain-lain, tetapi belum terbukukan kecuali tulisannya as-Syafii dalam ar- risalahnya. Pelopornya adalah Ibn Syihab az-Zuhri.

c.  Tahap pembukuan ulumul hadis secara terpisah, dari abad ke 3 sampai pertengahan abad ke 4 H. Telah tersusun kitab khusus untuk setiap cabang Ulumul Hadis, mis: ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal, thabaqat rawi, nasikh wa mansukh, rijal al-hadis dll. Juga lahir kitab yg membahas seluruh kajian UH.

d.  Tahap penyusunan kitab-kitab induk ulumul hadis dan penyebarannya, dimulai dari pertengahan abad ke 3  hingga abad ke 7 H.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadis diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu  hadis  dalam suatu disiplin secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama, al-Qodli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (wafat tahun 360 H) dengan kitabnya Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal wa’i. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh ulama berikutnya.


Diantara kitab-kitab yang disusun adalah:

1)           Al-Muhaddis al-Fasil bain al-Rawi wal Wa’i karya Abu Muhammad al-Rahamurmuzi (w. 360 H).

2)           Al-Kifayah fi Ilm ar-Riwayah karya Katib al-Baghdadi (w. 463 H).

3)           Al-‘ilmi fi ‘Ulum ar-Riwayat wa al-Sima’, karya Al-Qadhi Iyadh bin Musa al-Yashubi (w. 544 H).

e.  Tahap pematangan dan penyempurnaan kitab ulumul hadis, dimulai abad ke 7 sampai 10 H. Pelopornya adalah Ibn Salah(577 643 H) dg karya Muqaddimah Ibn Shalah (Ma’rifah Ulumu al-Hadis). Ciri uatama tahap ini adalah pembahasan komprehensif, pemberian definisi, kesimpulan, dan komentar terhadap pendapat.

f.  Tahap Kebekuan atau Kejumudan, terjadi pada abad ke 10 sampai awal abad ke 14 hijrah. Aktifitas pembukuan dan pembahasan terhadap ilmu hadis nyaris terhenti. Yang muncul adalah kitab ilmu hadis yang ringkas dan praktis.

g.  Tahap kebangkitan kedua, dimulai dari abad ke 14 hijrah.

Kitab-kitab yang muncul masa ini antara laian:

1)           Qawaid at-Tahdis karya Jamaluddin al-Qasimi.

2)           As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islam karya Mustafa as-Siba’i.

3)           Al-Hadis wa al-Muhaddisun karya Muhammad Abu Zahwu

4)           Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Muhammad al- Simahi.

Demikian selanjutnya bermunculan kitab-kitab Musthalah Hadis, baik dalam bentuk nadzam, seperti kitab Alfiyah as-Suyuti maupun dalam bentuk nasar atau prosa.


3.    Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis di Indonesia

Sejarah perkembangan ulum al-hadis di Indonesia dimulai pada abad ke 19 dengan lahirnya karya di bidang Ulumul Hadis yaitu Manhaj Dzaw An-Nazhar karangan Syekh Mahfud at-Tirmasi (w 1919/20 M). Kemudian diikuti oleh Mahmud Yunus yang mengarang Ilmu Musthalah Hadis, Hasby As-Shiddiqy, Abdul Kadir Hasan, Syuhudi Ismail dan lain-lainnya. Selain itu juga banyak yg berbentuk terjemahan atau saduran terhadap karya aslinya. Karakteristik karya-karya ulum al-hadis di Indonesia lebih banyak yang bersifat pengantar daripada pembahasan, apalagi bersifat analitis dan lebih dominan kajian sejarahnya.

 

4.    Jenis-jenis karya Ulum al-Hadis

 

NO

JENIS

KITAB

DEFINISI

CONTOH KITAB

1.

Ashal

Kitab Ulumul Hadis yang

penyusunannya tidak

terpengaruh pemikiran lain.

Karya ar-

Ramaharmuzi, al-

Hakim, Al-Baghdadi, Ibn Shalah dan Ibn Hajar

2.

Ikhtisar /

Talkhish

Kitab Ulumul Hadis

yang susunan dan

materinya mengikuti karya sebelumnya dg cara meringkas.

Karya An-Nawawi,

Ibn Jamaah dan Adz- Dzahabi.

3.

Syarh

Kitab Ulumul Hadis

yang berisi komentar, penjelasan dan analisis

dengan tidak mengubah

karya yang ditunjuknya

Karya As-Suyuti

4.

Nukad /

Naqd

Kitab Ulumul Hadis yang

berisi kritik thd karya yang ditunjuknya

Karya Al-‘Iraqi, Ibn

Hajar

5.

Hasyiyah

Hampir sama dengan

syarh hanya saja ber-

bentuk catatan pinggir

Karya Quthlubugha

dan Al-Maqdisi ter-

hadap karya Ibn Hajar


6.

Al-’Isri

Kitab Ulumul Hadis

yang muncul pada abad modern yg

sistematikanya berbeda dengan karya-karya

sebelumnya.

 

 

REFERENSI:

1.     Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.

2.     Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama, 1998

3.     Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

4.     Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

5.     M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

6.     Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991

7.     Ibn Salah, ’Ulum al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.

8.     Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

 

PERTANYAAN:

1.    Jelaskan definisi Ulumul hadis!

2.    Sebutkan     cabang-cabang     ulumul     Hadis     dan     jelaskan pengertiannya!

3.    Apa manfaat mempelajari ilmu hadis riwayat?

4.    Apa manfaat mempelajari ilmu hadis dirayah!


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB VI

Pembagian Hadist Berdasarkan Kuantitas Sanad

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar :

Mahasiswa mampu mendeskripsikan pembagian hadis ber- dasarkan jumlah perowi

 

Pengantar

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.


A.  Hadits Mutawatir

 

1.    Pengertian Hadits Mutawatir

Dari segi bahasa kata mutawatir berasal dari kata ”Tawaatur” yang berarti datangnya satu setelah satu dengan adanya jarak antara keduanya, atau ”at-tatabu’”yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.1

Hadits mutawatir dari segi terminologis mempunyai banyak definisi. Menurut Nurudin Nurudin Itr hadits mutawatir adalah: “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya

bersandar kepada panca indera.”2

Sedang menurut Ajjaj al Khatib, hadits mutawatir adalah: “Hadits yg diriwayatkan oleh sebagian besar perawi yang

menurut adat mereka tidak mungkin bersepakat dusta dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.” 3


Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

1 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), 89.

2 Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997), 196

3 M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M.Nur

Ahmad Musafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), 271


Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

 

2.    Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.    Hadits yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.4 Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan perowi. Apabila berita itu merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka


4 Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan, (Malang : UIN Malang Press, 2007), 32


tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

b.    Diriwayatkan oleh perowi yang banyak.

c.    Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. Perbedaan itu adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)        Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

2)        Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

3)        Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

4)        Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang- kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah QS. Al-Anfal: 6.

d.    Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.

Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu


Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al- Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 5

 

3.    Faedah Hadis Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.


Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu

5 Mahmud Tahhan, Intisari Ilmu Hadis, 35


daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

 

4.    Pembagian Hadis Mutawatir

Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi 3 macam, yaitu :

a.    Mutawatir Lafdhi

Hadits mutawatir lafdhi adalah hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya.6 Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sebagaimana hadits dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW yang berbunyi:

 

ابلخارى رواه .انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا عيل كذب من “Barang siapa yang sengaja bedusta atas namaku maka hendaklah tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)

b.    Mutawatir Maknawi

Yang dimaksud dengan hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum.7 Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Contoh hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang menerangkan tentang kedudukan niat dalam perbuatan.

 


6 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007), 104

7 Mahmud Tahhan, Taysir Musthalah Hadis, (Beirut : Dar al-Qur’an Al- Karim, 1979), 20


Hadits-hadits semacam ini banyak sekali meskipun terdapat dalam berbagai kasus.

Contoh lain hadis Nabi saw yang berbunyi:

 

ما رفع صيل اهلل عله وسلم يديه حيت رؤي بياض إبطيه ف شيئ من داعئه إل ف

) عليه متفق ( اإلستسقاء “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda- beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

 

منكبيه حذو يديه يرفع كن ”Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

c.    Mutawatir ‘Amali

Hadits mutawatir ‘amali adalah sesuatu yang  diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam. Bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atas selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.

Contoh: berita-berita yang menerangkan waktu raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma’.


Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

 

B.   Hadis Ahad

 

1.    Pengertian Hadis Ahad

Dari segi bahasa kata “ahad” (tanpa madd) berarti satu. Maka khabar ahad adalah khabar (berita) yang diriwayatkan oleh satu orang perawi.8

Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain adalah:

 

مالم تبلغ نقلته ف الكرثة مبلغ اخلرب املتواتر سواء كن املخرب واحدا أو إثنني أو ثالثة أو أربعة أو خسة إيل غري ذالك من اإلعداد اليت ل تشعر بأ ن اخلرب دخل بها

املتواتر خرب ف ”Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir:

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

 

اتلواتر رشوط فيه جيتمع مال ”Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”


8 Muhammad Al Shabbag, al Hadits an Nabawi, Musthalahul, Balaghah, ‘Ulumuh, Kutubuh, (ttp, Masyurat al Maktabah al Islami, 1972), hal. 21.


2.    Pembagian Hadits Ahad

 

a.    Hadits Masyhur

Menurut masyhur berasal dari kata شهر yang berarti اعلن yang berarti mengumumkan.

Secara terminology hadits masyhur adalah:

 

اتلواتر درجة يصل فاكرثولم ثالثة رواه ما “Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat mutawatir”.

9

 

 

Kemasyhuran sebuah hadis tidak mesti mencakup semua kalangan ulama. Hadis dapat dapat saja masyhur di kalangan ulama tertentu, dalam hal ini hadis masyhur dibedakan minimal menjadi empat macam :

1)           Masyhur di kalangan ahli hadis, contohnya :

 

عن انس بن ما لك : قنت رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم شهرا بعد الركوع ف صالة

)ومسلم ابلخارى رواه ( وذكوان رعل ىلع يدعو الصبح “Rasulullah saw melakukan qunut selama satu bulan setelah ruku’, untuk mendo’akan hukuman atas (kejahatan) penduduk Ri’l dan Dzakwan”. (HR Bukhori dan Muslim)

2)           Masyhur di kalangan fuqoha, contohnya :

 

عن ابن عمر عن انليب صىل اهلل عليه وسلم قال : أبغض احلالل إىل اهلل عزوجل

)ماجه وابن داود أبو رواه( الطالق Nabi saw bersabda : Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)


9 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 302


3)           Masyhur di kalangan ulama Ushul Fiqh, contohnya:

 

عن اىب ذر الغفاري قال: قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم : إن اهلل تاوز عن

)ماجه ابن رواه( عليه استكرهوا وما والنسيان، اخلطأ اميت “Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah tidakmenghukum umatku karena perbuatan khilaf, lupa, dan perbuatan karena terpaksa”. (HR Ibn Majah).

4)           Masyhur di kalangan ulama hadis, fuqoha, ulama ushul fqh, dan di kalangan awam, contohnya :

 

عن عبد اهلل بن عمر ريض اهلل عنهما عنانليب صىل اهلل عليه وسلم قال : املسلم من سلم املسلمون من لسانه ويده، واملهاجر من هجر ما نىه اهلل عنه (رواه ابلخارى

)ومسلم “ Rasulullah saw bersabda: Orang muslim adalah yang tidak mengganggu orang-orang muslim lainnya dengan kata-kata dan perbuatannya dan orang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diharamkan Allah.”(HR Bukhari dan Muslim).

Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis masyhur antara lain:

1)           Al-Maqashid al-Hasanah fi Ma Isytahara’ala al-Alsianah, karya al- Sakhawi.

2)           Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Albas fi Ma Isytahara min al-Hadis ‘ala

Alsinat al-Nas, karya al-‘Ijlawani

3)           Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits fi Ma Yadur ‘Ala Alsinat al-Nas

min al-Hadis, karya Ibn Daiba’ al-Syaibani


b.    Hadits Aziz

Dari segi bahasa kata aziz adalah bentuk sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang. Bisa juga berasal dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti kuat atau keras (sangat). Suatu aziz dinamakan dengan hadits aziz adakalanya karena sedikitnya perawi.

Menurut istilah, hadis azis adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang meskipun hanya pada satu tingkatan (generasi) saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang. Jadi bisa saja sanad sebuah hadis ‘azis terdiri dari dua dua orang pada setiap generasi, atau hanya pada satu generasi dari sanad hadis itu yang terdiri dari dua orang, sedang pada generasi sesudahnya terdiri dari banyak orang.10

Contoh hadis ‘azis adalah :

 

عن أب هريرة ريض اهلل عنه أن رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم قال : فوالي نفىس

) ومسلم ابلخارى روه( ووله واله من إيله أحب اكون حىت أحدكم ليؤمن بيده “Rasulullah saw bersabda: Demi Allah yang jiwaku ada di tangan- Nya, tidaklah beriman orang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya dari dari pada orang tua dan anaknya.” ( HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas dikatakan ‘azis karena pada tingkatan sahabat, hadis ini diriwayatkan oleh dua orang yakni Anas bin Malik dan abu Harairah, dan dari anas ini diriwayatkan oleh du orang tabi’in, yaitu Qatadah dan Abdul Azis bin Shuhaib, dan dari qatadah hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id, sedangkan dari

 


10 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002),

116


Abdul Azis hadis ini diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ulayah dan Abdul Waris, setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang.

 

c.    Hadits Gharib

Kata gharib, secara bahasa merupakan bentuk sifah musyabbahah dari kata gharaba’ yang berarti infrada (menyendiri). Juga bisa berarti jauh dari tanah airnya. Disamping itu juga bisa diartikan asing, pelik atau aneh. Dengan demikian hadits gharib dari segi bahasa adalah hadits yang aneh. Sedangkan dalam istilah Ilmu Hadis berarti :  واحد راو بروايته ينفرد ما yaitu hadis yang dalam meriwayat-kannya seoarang perawi menyendiri (tidak ada orang lain yang ikut meriwayatkannya). Definisi ini memungkinkan kesendirian seorang perawi baik pada setiap  tingkatan  sanad atau pada sebagian tingklatan sanad, bahkan mungkin  hanya pada satu tingkatan sanad saja.

Hadis gharib dibagi menjadi dua macam:

1)           Gharib Mutlak, yaitu :

 

سنده أصل ف واحد شخص بروايته ينفرد ما “Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi pada asal sanad” (tingkatan sahabat).

Contoh hadis gharib mutlak adalah :

 

)شيخان أخرجه( بانليات األعمال إنما “Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab saja di tingkat sahabat, sedangkan sesudahnya diriwayatkan oleh banyak orang.


2)           Gharib Nisbi, yaitu


ما كنت الغربة ف أثناءسنده


“Hadis yang kesendirian perawinya ada di pertengahan sanad.”

 

Maksudnya, hadis  gharib  nisbi  ini  pada  mulanya diriwayatkan oleh beberapa orang pada tingkat sahabat, namun pada pertenganhan sanad, terdapat tingkatan yang perawinya hanya satu orang.

Contoh hadis gharib nisbi adalah:

 

حدثنا أبو أحد الزبريي حدثنا مالك عن ابن شهاب أن أنس بن مالك أخربه أن رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم دخا مكة وىلع رأسه مغفر فقيل هل : إن ابن خطل

)أحد رواه( اقتلوه : فقال الكعبة بأستار متعلق “Bahwasannya Rasulullah saw memasuki kota Mekah dan di atas kepalanya ada penutup kepala.” (HR Ahmad bin Hambal).

Dalam sanad hadis di atas, hanya Malik yang menerima hadis tersebut dari al-Zuhri.

Hadis dikatakan gharib nisbi dapat juga didasarkan atas beberapa hal, yaitu:

1)        Hanya seorang perawi tertentu yang menerima hadis itu dari perawi tertentu.

2)        Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan hadis tersebut.

3)        Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan hadis tersebut dari penduduk kota tertentu pula.

Ada beberapa kitab yang menghimpun hadis-hadis gharib, antara lain:

1)           Gharib Malik, karya al-Daruquthni,


2)           Al-Afrad, karya al-DaruQuthni.

3)           Al-Sunan allati Tafarrada bi Kulli Sunnah Minha Ahlu Baldah,

karya Abu Dawud al-Sijistani.

 

3.    Faedah Hadis Ahad

Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan  penyelidikan  sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad adalah hujjah Syari’iyah yang harus diterima dan diamalkan oleh umat Islam selama hadits tersebut memenuhi beberapa kriteria dan syarat tertentu. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan  suatu hadis, ialah memeriksa ”Apakah hadis tersebut  maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat i’tiqadkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.


Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menar- jihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

 

REFERENSI :

1.            Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006)

2.            Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997)

3.            M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj.

M.Nur Ahmad Musafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007),

4.            Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan, (Malang : UIN Malang Press, 2007)

5.            Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007),

6.            Mahmud Tahhan, Taysir Musthalah Hadis, (Beirut : Dar al- Qur’an Al-Karim, 1979)

 

PERTANYAAN :

1.  Buatlah skema pembagian hadis dilihat dari segi jumlah perowi yang meriwayatkan hadis!

2.  Apa yang dimaksud hadis mutawatir dan hadis ahad?

3.  Bagaimana hokum pengamalan hadis mutawatir dan hadis ahad?


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB VII

Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar :

Mahasiswa mampu mendeskripsikan pembagian hadis berdasarkan kualitas hadis

 

Pengantar :

Kualitas hadist artinya mutu suatu hadits atau tingkat serta nilai yang disandang oleh suatu hadits. Berbicara soal nilai atau mutu di sini dimaksudkan apakah suatu hadits itu dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu kepastian ajaran atau tidak. Dengan demikian penentuan kualitas hadits berkaitan erat dengan pemakaian atau penerapannya.

Hadits-hadits yang perlu diteliti kualitasnya adalah hadits- hadits yang dari sudut kuantitasnya termasuk ke dalam kategori


hadits yang ahad, bukan yang mutawatir. Sebab yang mutawatir sudah mencapai ilmu dlarury yang tidak memerlukan penelitian.

Pada garis besarnya hadits-hadits ahad dari sudut kualitasnya terbagi menjadi dua, yaitu hadis ahad yang maqbul dan hadits ahad yang mardud. Untuk lebih jelasnya pengertian kedua hadits tersebut akan diuraikan dibawah ini:

 

A.  Hadits Ahad Yang Maqbul

1.     Pengertian hadits ahad yang maqbul

Secara terminologis, hadits maqbul didefinisikan dengan “ Hadits yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya”.1 Ibnu Hajar al Asqalani mendefinisikan dengan :“Hadits yang ditunjuk oleh suatu keterangan atau dalil yang menguatkan ketetapannya”.2

2.     Syarat-syarat hadits maqbul


Syarat-syarat suatu hadits agar dapat dikatakan maqbul ada yang berkaitan dengan sanad dan ada yang berkaitan dengan matan. Yang dimaksud dengan sanad, syarat-syarat itu adalah antara lain sanadnya harus bersambung, masing-masing sanad tersebut harus adil dan dhabit, serta tidakn ada illat yang mencacatkannya. Sedang syarat yang berkaitan dengan matan, maka tidak boleh ada kejanggalan (syudzudz) dalam matannya. Jika boleh ada kejanggalan pada suatu hadits terpenuhi syarat-syarat diatas, maka hadits tersebut oleh para ulama disebut shahih, atau sekurang-kurangnya hasan, yang berarti dapat diterima kehujjahannya. Pembicaraan mengenai

1 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 52

2 Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Musthalahah Ahli Al-Atsar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934), 52


hadits shahih dan hasan secara luas akan diuraikan pada bab tersendiri.

3.     Pembagian Hadits maqbul

Pada garis besarnya hadits maqbul dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: pertama, dari implementasinya dan kedua dari kualitasnya.

a.    Sudut Implementasi Hadits Maqbul

Dari sudut implementasinya, hadits ini terbagi  menjadi  dua bagian, yaitu: pertama, hadits yang ma’mul bih (dapat diamalkan) dan kedua, hadits yang ghair ma’mul bih (tidak dapat diamalkan).3

Yang termasuk ke dalam kategori hadits ma’mul bih adalah:

1)        Yang muhkam, yaitu hadits yang telah memberikan pengertian jelas.

2)        Yang mukhtalif, yaitu hadits yang dapat dikompromikan dari dua buah hadits shahih atau lebih yang dari sudut dzahirnya mengandung pengertian yang bertentangan.

3)        Yang rajih, yaitu hadits yang lebih kuat dari dua buah hadits shahih yang Nampak bertentangan.

4)        Yang nasikh, yaitu hadits yang menasakh (menghapus) ketentuan hadits yang dating terdahulu.

Sedang yang termasuk ke dalam kategori ghair ma’mul bih adalah:

1)        Yang mutasyabih, yaitu hadis yang memberikan pengertian yang tidak jelas.

2)        Yang marjuh, yaitu hadits yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadits yang kebih kuat.


3 Fatkhurrohman, Ikhtisar Mustholah Hadis, (Bandung : PT al-Ma’arif, 1974), 143


3)        Yang mansukh, yaitu hadits yang dating terdahulu, yang ketentuan hukumnya telah dinasakh atau dihapus oleh yang dating kemudian.

4)        Yang mutawaquf fih, yaitu hadits yang kehujjahannya ditangguhkan karena pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya yang belum dapat diselesaikan.

b.    Sudut Rutbah

Hadits maqbul dari sudut rutbah (urutan) kualitasnya juga terbagi kepada dua bagian yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Pembagian ini tidak berlaku bagi ulama yang memasukkan pembahasan hadits hasan ke dalam hadits shahih, seperti al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Huzaimah.

 

B.   Hadits Ahad Yang Mardud

Kata mardud secara bahasa berarti yang ditolak, yang tidak diterima, atau yang dibantah. Maka hadits mardud menurut bahasa berarti hadits yang ditolak, atau hadits yang dibantah.

Secara terminologis, hadits mardud didefinisikan dengan: “hadits yang hilang seluruh syarat-syaratnya atau sebagiannya”. Dalam definisi lain disebutkan bahwa kebenaran pembawa berita pada hadits mardud itu tidak sampai kepada derajat hadits maqbul. Dalam hal ini yang tergolong pada kategori hadis ini adalah hadis dlaif.

 

C.  Hadits Shahih

1.     Pengertian Hadits Shahih

Kata shahih menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).


Maka kata hadiys shahih menurut bahasa, berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat.

Secara terminologis, shahih didefinisikan oleh Ibn Shalah

sebagai berikut:

 

املسند الى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط اىل منتهاه وليكون شادا ول

معلال “Hadits yang disandarkan kepada nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”4

Ibn Hajar al Asqalani mendefinisikannya dengan lebih ringkas yaitu:“Hadits yang diriwayatkan oleh orang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat.”5

Al Qasimi juga mengemukakan definisi yang cukup ringkas, yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh al Asqalani. Menurutnya, hadits shahih adalah : “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari perawi yang adil lagi dhabit, serta selamat atau terhundar dari kejanggalan kejanggalan dan ‘illat”6

Definisi yang hampir samajuga dikemukakanoleh an Nawawi.

Hanya saja ia menggunakan bentuk-bentuk jamak, seperti berikut

 

 

 

 


4  Ibn  Al-Sholah,  Ulum  al-Hadis  Muqaddimah  Ibn  Al-Shahih,  (Mekkah  :  al-

Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993), 10.

5 Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr,51

6 Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah al- Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987), 79


ini : “Hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh para perawi yang adil lagi dhabit, tidak syudzudz dan tidak ber’illat”7

 

2.     Syarat-Syarat Hadits Shahih.

Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di atas diketahui ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu:

a.    Diriwayatakan oleh para perawi yang adil.

Yang dimaksud dengan istilah adil dalam periwayatan disini secara terminologis mempunyai arti spesifik atau khusus yang sangat ketat dan berbeda dengan istilah adil dalam terminology hokum. Dalam periwayatan seseorang dikatakan adil apabila memiliki sifat-sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya, baik aqidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan dosa kecil, dan terpelihara akhlaknya termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah, disamping ia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan tidak fasik.

Keadilan para perawi di atas menurut para ulama dapat diketahui melalui: pertama, keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri sikenal di kalangan ahli hadits, sehinggga keadilannya tidak diragukan lagi. Kedua, penilaian dari para ulama lainnya, yang melakukan penelitian terhadap perawi

, tentang keadilan perawi-perawi hadits. Ketiga, penerapan kaidah al jarh wa at ta’dil, apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama peneliti terhadap perawi-perawi tertentu.

 


7 An-Nawawi, At-Taqrib li An-NawawiFann Ushul al-Hadis, (Kairo : Abd ar- rahman Muhammad, t.th), 2


Penelitian atau penilaian para ulama terhadap keadilan para perawi ini dilakukan kepada mereka pada setiap thabaqahnya dengan sangat teliti, sehingga tidak ada seorang perawipun yang     tertinggal.         Dengan            ketelitian      para         ulama         dalam melakukan penelitian ini, segala identitas, kebiasaan sehari- hari, dan kaitan-kaitan lainnya dapat diketahui dengan pasti. Dikecualikan dari penelitian ini, para perawi pada thabaqah sahabat. Terhadap para sahabat, hampir semua ulama sependapat, tidak dilakukan penelitian. Mereka memeandang para sahabat secara kolektif adalah adil (ash-shahabat kulluhum udul). Ini artinya bahwa keadilan para sahabat tidak diragukan lagi, sehingga terhadap mereka tidak perlu dilakukan penelitian lagi.

b.    Kedhabitan para perawinya harus sempurna.

Dikatakan perawi yang sempurna kedhabitannya yang dimaksud disini, ialah perawi yang baik hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, dan tidak banyak tersalah, sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadits-hadits yang diterima dan diriwayatkannya.

Menurut Ibn Hajar al Asqalani, perawi yang dhabit adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, yang kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini berarti bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu memproduksi atau menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua, yaitu: pertama, dhabit shadr atau


disebut juga dengan dhabit fuad, dan kedua, dhabit kitab. Dhabit shadr artinya terpelihara hadits yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima hadits tersebut sampai meriwayatkan kepada orang laian, kapan saja periwayatan itu diperlukan. Sedang dhabit kitab, artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya. Ia mengingat betul hadits-hadits yang ditulisnya atau catatan- catatan yang dimilikinya, menjaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.

Untuk mengetahui tingkat dhabth seorang perawi, ahli hadits memiliki metode verifikasi riwayat yang mereka namakan dengan i’tibar. Metode ini terdiri dari dua tahap: pertama, mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan seorang perawi tanpa meninggalkan satu hadits pun. Kedua, membandingkan setiap hadits yang ia riwayatkan itu dengan riwayat orang-orang tsiqah. Nilai ke-tsiqatan perawi ini diberikan sesuai dengan tingkat kesesuaian riwayatnya dengan riwayat mereka. Jika semua riwayatnya, atau sebagian besarnya, sesuai dengan riwayat mereka maka ia dinilai tsiqah. Jika semua diriwayatnya, atau sebagian besarnya, bertentangan dengan riwayat mereka maka ia dinilai tidak tsiqah (dhaif).

Ahli hadis menggunakan kata tsiqoh, untuk menunjukkan penilaian baik mereka terhadap orang yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adil) dan sistem dokumentasi (dhabth) yang sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama (‘adil) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu juga sebaliknya. Kedua syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari ahli hadis.


c.    Antara satu sanad dengan sanad lainnya harus bersambung. Yang dimaksud dengan sanad hadits yang muttashil di sini adalah sanad-sanad hadits yang antara satu dengan yang lainnya .pada sanad-sanad yang disebut berdekatan atau berurutan , bersambungan atau merangkai. Dengan kata lain diantara pembawa hadits dan penerimanya terjadi pertemuan langsung. Dengan persambungan ini sehingga menjadi silsilah atau rangkaian sanad yang sambung menyambung sejak awal sanad sampai kepada sumber hadits itu sendiri, yaitu Rasul SAW.

Untuk membuktikan apakah antara sand-sanad itu bersambung atau tidak, diantaranya dilihat bagaimana keadaan usia masing- masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu bagaimana pula cara mereka menerima dan menyampaikannya. Misalnya apakah dengan cara as sama’ (mendengar langsung dari perawi hadits itu), atau dengan cara munawalah (seorang guru memberikan hadits yang dicatatnya kepada muridnya).

d.    Tidak mengandung cacat atau ‘illat.

Secara terminologis, yang dimaksud dengan ‘illat disini adalah suatu sebab yang tidak nampak atau smar-samar yang dpata mencacatkan keshahihan suatu hadits. Maka yang disebut hadits tidak ber;illat berarti hadits yang tidak memiliki cacat

, yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang kelihatannya samar-samar. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi dzahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya cacat yang tidak nampak tersebut mengakibatkan adanya keraguan sedang hadits yang didalamnya terdapat keraguan seperti ini kualitasnya menjadi tidak shahih. Misalnya


menyebutkan muttasil terhadap haidts yang munqathi’ atau

yang mursal.

e.    Matannya tidak janggal atau syad.

Yang dimaksud dengan hadits yang tidak syadz disini, ialah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya. Hadits yang syadz pada dasarnya merupakan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah. Akan tetapi karena matanya menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tinggi ketsiqahannya, maka hadits itu dipandang menjadi janggal atau syadz. Dengan demikian, maka kedudukan hadits ini dipandang lemah dari sudut matanya.

 

3.     Pembagian Hadits Shahih

Para ulama ahli hadits membagi hadits shahih kepada dua bagian yaitu: hadis shahih lidzatihi dan hadis shahih lighairihi.

a.    Shahih Lidzatihi

Yang dimaksud dengan hadits shahih lidzatihi ialah hadits shahih dengan sendirinya. Artimya ialah hadits shahih yang memiliki lima syarta kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas. Dengan demikian, penyebutan hadits shahih lidzatihi  dalam  pemakaiannya  sehari-hari  pada dasarnya cukup dengan memakai sebutan hadits shahih, tanpa harus memberikan penambahan kata lidzatihi.

Hadits shahih dalam kategori ini telah berhasil  dihimpun  oleh para mudawwin dengan jumlahnya yang sangat banyak, seperti oleh Malik, al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majjah dalam kitab shahih karya masing- masing.


b.    Shahih Lighairihi

Yang dimaksud dengan hadits shahih lighairihi ialah hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain. hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya (qalil adh-dhabit). Diantaranya perawinya ada  yang  kurang  sempurna  kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadits shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadits hasan li dzatih.

Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan atau sanad lain) yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya. Hadits ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li ghairih.

 

4.     Kehujjahan Hadits Shahih

Para ulama sependapat bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.

Perbedaan pendapat di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadits ahad yang shahih, yaitu apakah hadits semacam ini memberi faedah qath’I atau dzanni. Ulama yang mengangggap hadits semacam ini member faedah qath’I sebagaimana hadits mutawatir, maka hadits-hadits tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah akidah. Akan tetapi, yang menganggap hanya member faedah dzanni, berarti hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.


Para ulama dalam hal ini terbagi kepada beberapa pendapat, antara lain: pertama, menurutsebagaian ulama memandang bahwa hadits-hadits shahih riwayat Al Bukhari,Muslim memberikan faedah qath’i. Menurut sebagian ulama lainnya, antara lain ibnu Hazm bahwa semua hadits shahih memberikan faedah qath’i tanpa dibedakan diriwayatkan kedua ulama diatas atau bukan. Menurut Ibnu Hazm, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan yang meriwayatkannya. Semua hadits jika memenuhi syarat keshahihannya adalah sama dalam memberikan faedahnya.8

 

D.  Hadits Hasan

1.     Pengertian hadits Hasan

Hadis Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat dan tidak syadz. Dari definisi di atas menunjukkan bahwa hadis hasan itu sama dengan hadis shahih, perbedaannya hanya pada tingkat kedlabithan perowinya berada di bawah hadis shahih.

Menurut Ibnu Taimiyah, yang mula-mula mempopulerkan istilah hadis hasan ialah Abi Isa At Turmudzi atau lebih dikenal dengan Imam Turmudzi. Sebelumnya para ulama membagi hadits hanya kepada dua kategori, yaitu shahih dan dlaif. Lahirnya hadis hasan disebabkan ditemukannya adanya kriteria perowi yang kurang sempurna dalam kedhabitannya. Artinya terdapat perawi yang kualitas hafalannya di bawah kebanyakan para perawi yang shahih, akan tetapi diatas para perawi yang dha’if. Dengan


8  Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-

Ahkam, (Kairo : al-Ashimah, t.th), 119-137.


kata lain, tingkat kedhabitannya menengah antara yang shahih dan yang dha’if, padahal pada kriteria-kriteria lainnya terpenuhi dengan baik atau sempurna.9

 

2.     Persyaratan Hadis Hasan

a.    Para perawi-nya adil.

b.    Ke-dhabit-an perawi-nya dibawah perawi hadits shahih.

c.    Sanad-sanadnya bersambung.

d.    Tidak terdapat kejanggalan atau syadz, dan

e.    Tidak mengandung ‘illat.

 

3.     Pembagian Hadis Hasan

a.    Hasan li dzatih

Yang dimaksud dengan hadits hasan li dzatih ialah hadits hasan dengan sendirinya, yakni hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang lima, yang mengacu pada definisi al Asqalani di atas.

b.    Hasan li gharih

Hadits hasan li ghairih ialah hadits hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadits yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain baik adanya syahid maupun muttabi’.

 

4.     Kehujjahan Hadis Hasan


Sebagaimana hadits shahih, menurut para ulama ahli hadits, bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, juga dapat diadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian

9 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 335


hukum, yang harus diamalkan.10 Hanya saja terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas kehujjahan baik antara shahih li datih dan shahih li ghairih dengan hasan li dzatih dan hasan li ghairih.

 

E.   Hadis Dlaif

1.     Pengertian Hadis Dlaif

Kata ضعيف menurut bahasa berarti yang lemah sebagai lawan kata  dari  قوي  (yang  kuat).  Sebagai  lawan  kata  dari  shahih  kata dha’if juga berarti سقيم (yang sakit). Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti hadits yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.

Sedangkan pengertian hadis dlaif secara istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan, atau hadis yang tidak ada padanya sifat-sifat hadis shahih dan hadis hasan.11 Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.

 

2.     Pembagian Hadis Dlaif

Hadis dlaif terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :

a.    Dlaif disebabkan adanya kekurangan pada rawinya baik tentang keadilan maupun hafalannya, sebagai berikut:

 


10 Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah al- Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987), 109

11 Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-

Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993), 62.


1)               Hadis Maudlu’, yaitu hadis yang dibuat dan diciptakan oleh seseorang yang kemudian disandarkan kepada Rasulullah secara palsu dan dusta.12

2)               Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.

3)               Hadits Munkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/ jujur.13

4)               Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat).

5)               Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dan tidak dapat dikompromikan.

6)               Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).


12 Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th), 119

13 Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Meotdologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 98


7)               Hadis Muharraf, yaitu hadis yang terjadi perubahan huruf dan syakalnya.

8)               Hadis Mushahhaf, yaitu hadis yang sudah berubah titik kata.

9)               Hadits Mubham yaitu hadits yang perowinya tidak diketahui identitasnya.

10)        Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya

11)        Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.

b.    Dlaif disebabkan sanadnya tidak bersambung

1)        Hadis Mu’allaq, yaitu hadis yang digugurkan sanad pertama

(guru mukhorrij).

2)        Hadis Mursal, yaitu hadis yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) atau nama sahabat tidak disebut.

3)        Hadis Mu’dlal, yaitu hadis yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.

4)        Hadis Munqathi’, yaitu hadis yang digugurkan 2 orang perowi atau lebih dan tidak berturut-turut.

5)        Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Hadis mudallas terbagi menjadi 2, yaitu :

(a) Tadlis Isnad, yaitu seorang perowi  menerima  hadis  dari orang yang semasa, tetapi tidak pernah bertemu langsung atau bertemu langsung tetapi tidak menyebut namanya.


(b) Tadlis Syuyukh, yaitu seorang perowi menyebut nama gurunya bukan dengan namanya yang dikenal khalayak umum, tetapi dengan nama yang kurang dikenal.

c.    Dha’if dari sudut sandaran matan-nya

1)        Hadis Mauquf, yaitu hadis yang matanya disandarkan kepada sahabat.

2)        Hadis Maqthu’, yaitu hadis yang matannya disandarkan kepada tabi’in.

 

3.     Kehujjahan Hadis Dlaif

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama  mengenai hukum pengamalan hadis dlaif. Pertama, hadis dlaif tidak dapat diamalkan secara mutlak. Menurut madzhab Imam Malik, Syafi’i, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka tidak membolehkan beramal dengan hadits dha’if secara mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul a’mal.

Kedua, Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis dlaif boleh diamalkan dengan beberapa persyaratan yang sangat ketat,14  yaitu :

a.    Hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur- an

b.    Hadits tersebut tidak sangat dha’if apalagi hadits-hadits

maudhu’, munkar dan hadits-hadits yang tidak jelas asalnya.

c.    Hadits tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak boleh dimasyhurkan.

 


14 Jamal al-Din Al-Qasimy, Qawa’id Al-Tahdis, 119


d.    Hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih.

e.    Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha’if saat menyampaikan atau membawakannya.

f.     Dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz- lafadz jazm (yang menetapkan), seperti: ‘Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda’ atau ‘mengerjakan sesuatu’ atau ‘memerintahkan dan melarang’ dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa  Nabi  shalallahu ‘alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: ‘Telah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam’ dan yang serupa dengannya.

Pendapat ketiga, berpendapat boleh mengamalkan hadis dlaif secara mutlak. Abu Daud dan Imam Ahmad berpendapat bahwa mengamalkan hadis dlaif lebih disukai daripada berpedoman kepada akal atau qiyas.15

 

F.   Hadis Maudhu’

 

1.     Pengertian Hadis Maudhu’:

Hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat atau dicip- takan atau didustakan atas nama Nabi.16 Menurut Ahmad Amin hadis maudhu’ sudah ada sejak masa Rasulullah. Dasarnya adalah munculnya hadis:


15 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 351

16 Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, 119


ابلخارى رواه .انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا عيل كذب من “Barang siapa yang sengaja bedusta atas namaku maka hendaklah tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)

Ulama Hadis lain berpendapat bahwa munculnya hadis maudhu’ adalah pada tahun 40 H, pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertikaian politik.

 

2.     Faktor Penyebab Munculnya Hadis Maudhu’

a.    Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah. Menurut Ibnu Abi al-Hadid kelompok Syiah adalah yang pertama kali membuat hadis maudhu’.

b.    Usaha kaum zindiq, yaitu golongan yang berusaha merusak Islam dari dalam, seperti dilakukan oleh Abdul Karim Ibn al- Auja’yang mengaku telah membuat 4000 hadis palsu. Golongan ini membuat hadis palsu dengan cara membuat hadis Tasyayyu (membangkitkan fanatisme), Tashawwuf (membenci dunia), hadis yang mengandung falsafah dan hikmah. Tujuannya adalah untuk meruntuhkan kecerdasan umat Islam, merusak kepercayaan, akidah, dan amalan umat islam.

c.    Perselisihan dalam  ilmu  Kalam  dengan  tujuan  untuk memperkuat pandangan kelompok masing-masing.

d.    Sikap fanatic terhadap suku atau bangsa (ashabiyah).

e.    Menarik simpati kaum awam. Mereka membuat  kisah-kisah  atau hikayat palsu untuk menarik minat para pendengar. Contohnya: “Barangsiapa membaca la ilaha illallah, maka Allah akan menjadikan tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas, dan buahnya dari marjan”.


f.     Menjilat kepada penguasa, seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim pada masa pemerintahan al-Mahdi. Dia menambahkan perkataannya sendiri dalam hadis Nabi hanya untuk menyenangkan khalifah.17

 

3.     Usaha Penyelamatan dari hadis Maudhu’:

a.    Menyusun kaidah penelitian hadis, khususnya kaidah tentang kesahihan sanadnya.

b.    Menyusun kitab-kitab yang memuat tentang hadis maudhu’ antara lain: al-Maudhu’ al-Kubra yang disusun oleh Abu al-Fajri.

 

4.     Cara Mengetahui Hadis Maudhu’:

a.    Adanya pengakuan dari pembuatnya

b.    Maknanya rusak, dalam arti bertentangan dengan al-Qur’an, hadis mutawatir, dan hadis sahih.

c.    Matannya menyebutkan janji yang besar untuk perbuatan kecil.

d.    Rawinya pendusta.

 

REFERENSI:

1.            M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh,

(Beirut : Dar al-Fikr, 1979)

2.            Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Musthalahah Ahli

Al-Atsar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934),

3.            Fatkhurrohman, Ikhtisar Mustholah Hadis, (Bandung : PT al- Ma’arif, 1974), 143

 

 

 


17 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1998), 191-193.


4.            Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993).

5.            Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr

6.            Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah al-Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987)

7.            An-Nawawi, At-Taqrib li An-NawawiFann Ushul al-Hadis, (Kairo

: Abd ar-rahman Muhammad, t.th)

8.            Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam

fi Ushul al-Ahkam, (Kairo : al-Ashimah, t.th).

9.            Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993), 62.

10.       Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th), 119

11.       Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Meotdologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 98

12.       Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1998)

 

PERTANYAAN

1.    Jelaskan pengertian hadis sahih dan syarat-syaratnya!

2.    Apa yang kamu ketahui tentang hadis hasan? Apa per- bedaannya dengan hadis sahih?

3.    Bagaimana pandangan ulama terhadap kehujjahan hadis da’if? Jelaskan!

4.    Sebutkan factor-faktor yang mempengaruhi munculnya hadis maudhu’!v


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB VIII

Proses Penerimaan dan Penyampaian Hadis

(Tahammul dan Ada al-Hadis)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar :

Mahasiswa mampu mendeskripsikan proses penerimaan dan penyampaian hadis Nabi saw.

 

A.  Penerimaan dan Penyampaian Periwayatan

1.    Pengertian

Sebelum berbicara lebih jauh tentang penerimaan dan penyebaran atau penyampaian hadis terlebih dahulu akan diperkenalkan definisi atau pengertiannya. Penerimaan dan penyampaian periwayatan hadis dalam bahasa ahli hadis disebut dengan tahammul wa ada’ al-hadis. Tahammul secara bahasa berarti


membawa atau memikul dengan berat.1 Sedangkan secara istilah tahammul adalah mengambil dan menerima hadis dari seorang syaikh dengan metode tertentu dari beberapa metode tahammul.2 Dalam tahammul harus dijelaskan bagaimana cara atau metode penerimaan hadis, karena metode ini nanti sangat signifikan dan akan berpengaruh dalam menentukan validitas suatu hadis

apakah benar dari Rasul atau tidak.

Sedangkan kata ada’ al-hadis berasal dari kata Adda yuaddi ta’diyatan wa adaan yang berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya, membayar pada waktunya, atau menyampaikan kepadanya.Misalnya menjalankan shalat atau puasa pada waktunya disebut ada’ sebagai antonim dari qadla’. Sedangkan pengertian ada’ secara istilah adalah meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu.

Dalam ada’ harus disebutkan bagaimana ungkapan atau bentuk kata yang digunakan menyampaikan hadis, karena ungkapan ada’ ini nanti menjadi obyek penelitian bagi para peneliti untuk dinilai validitasnya.

Kegiatan tahammul dan ada’ al-hadis adalah proses periwayatan hadis baik menerima atau menyampaikannya yang dengan sengaja dilakukan oleh para periwayat secara ilmiah dengan menggunakan teori dan metode tertentu demi terpeliharanya hadis, bukan proses yang spontanitas yang tidak disengaja dan bukan tradisi semata.


1 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz, (Mesir: Al-Hay’ah al- ’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998), 172

2 M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum al-Hadis,(Beirut : Muassasat al-Risalah, 1985), 87


2.    Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ al-Hadis

Yang dimaksud adalah syarat-syarat yang harus dimiliki  oleh seseorang untuk layak melakukan kegiatan tahammul dan ada’ al-hadis atau dalam istilah M. ‘Ajjaj al-Khatib disebut sebagai kelayakan tahammul dan ada’ al-hadis.

a.    Syarat tahammul al-hadis

Menurut pendapat yang shahih, para ulama tidak mensyarat- kan secara ketat dalam tahammul al-hadis sebagaimana persyarat- an ada’ al-hadis. Tahammul boleh dilakukan oleh siapa saja asalkan sudah tamyiz, sehat akalnya dan terbebas dari berbagai faktor yang dapat menghalangi penerimaan hadis dengan baik dan sem- purna3, sekalipun dilakukan oleh non muslim dan belum baligh.

Jumhur ulama memperbolehkan anak kecil yang belum mukallaf menerima hadis, asal sudah mumayyiz (kritis dan paham berkomunikasi) sekalipun sebagian kecil ulama ada yang tidak memperbolehkannya. Pendapat jumhur tentunya lebih kuat, karena para sahabat dan tabi’in menerima periwayatan para sahabat yang masih kecil seperti Hasan, Husein, ibnu Abbas dan lain-lainnya tanpa membedakan antara tahammul sebelum baligh atau sesudahnya.4

Sementara berkaitan dengan batas usia anak kecil untuk bisa dianggap mumayyiz terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat-pendapat tersebut adalah :

1)  Minimal berusia 5 tahun, pendapat jumhur ulama dan pendapat al-Qadli ‘Iyadl serta Ibnu al-Shalah berdasarkan perkataan seorang sahabat Mahmud bin al-Rabi’ r.a yang artinya : Dari


3 Muhammad bin Shalih Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad

S. Marzuqi (Yogyakarta : Media Hidayah, 2008), 86

4 M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz, 88


Mahmud al-Rabi’ berkata : “Aku ingat Nabi saw meludahkan sekali ludah di mukaku dari air timba, sedang aku berusia lima tahun.” (HR. Al-Bukhari)

2)  Telah berusia 15 tahun, karena pada usia inilah seorang baru mampu berpikir kritis dan memiliki ingatan yang tajam, demikian pendapat Imam Ahmad Bin Hambal.

3)  Sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai atau antara sapi dengan binatang lainnya, sekitar berusia 4 sampai dengan 5 tahun, demikian pendapat Musa bin Harun al-Hammal dan Ibn al-Maqarri.

4)  Sudah mumayyiz (pandai berkomunikasi), dibuktikan adanya ketrampilan dalam berkomunikasi dan mampu menjawab ketika ditanya sekalipun usianya di bawah 5 tahun. Jika sifat tamyiz itu belum dimiliki maka belum dapat diterima tahammulnya sekalipun usianya lebih dari 5 tahun. Pendapat inilah yang terkuat dibanding pendapat-pendapat lainnya.5

Sekalipun anak kecil yang mumayyiz diperbolehkan taham- mul hadis, tapi para ulama berbeda pendapat tentang usia terbaik dalam tahammul, yakni menurut penduduk Syam, sebaiknya mulai tahammul berkisar usia 30 tahun, sedang menurut pen- duduk Kuffah berusia 20 tahun, menurut penduduk Basrah berusia 10 tahun dan menurut pendapat yang lain, bersegera mendengar hadis lebih baik, karena hadis telah terbukukan.6

 

b.    Syarat Ada’ al-Hadis


Syarat untuk bisa melakukan kegiatan ada’ al-hadis atau menyampaikan/meriwayatkan sebuah hadis lebih ketat diban-

5 Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta : PSW UIN Jakarta, 2005), 59

6 Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj.Zainul

Muttaqin, (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997), 185


dingkan syarat tahammul al-hadis. Hal ini disebabkan karena seorang perowi harus benar-benar dapat mempertanggung- jawabkan keotentikan dan kebenaran hadis yang disampaikannya. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama untuk bisa melakukan ada’ al-hadis adalah Islam, Baligh, adil dan dhabit.

1)        Beragama Islam.

Periwayatan seorang kafir tidak dapat diterima secara ijma’ ulama. Memang tidak rasional jika dalam urusan sumber agama Islam diperoleh dari seorang karir yang tidak beriman kepadanya. Pemberitaan dari orang fasik saja harus diperiksa apalagi dari orang kafir. (lihat : al-Hujurat : 6 ).

2)        Dewasa (mukallaf/balig dan aqil )

Balig menjadi persyaratan dalam taklif atau mukallaf, maka tidak diterima periwayatan seseorang yang belum mencapai usia mukallaf. Berdasar sabda Nabi saw :

 

عن احلسن ابلرصى عن ىلع ان رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم قال رفع القلم عن ثالثة عن انلا ئم حيت يستيقظ وعن الصيب حيت يشب وعن ملعتوه حيت يعقل

) الرتمذي أخرجه( Terangkat pena dari 3 perkara : orang tidur sehingga bangun, anak kecil sehingga mimpi keluar air sperma, dan orang gila sehingga ia sadar akalnya.” (HR. Turmudzi)

Seorang anak kecil yang belum mencapai usia dewasa tidak dapat diterima periwayatannya, karena ditakutkan bohong. Hal ini berbeda dengan tahammul yang dilakukan anak kecil diperbolehkan. Demikian juga periwayatan yang dilakukan oleh seorang yang tak berakal, kurang akal, dan orang gila tidak dapat diterima, berdasarkan hadis di atas dan ia tidak mukallaf.


3)        Adil (‘Adalah)

Adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang melazimi taqwa dan menjaga kehormatan dirinya (muru’ah). Sifat keadilan ini sebagai indikatornya dapat dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar, tidak melakukan dosa-dosa kecil secara terus-menerus, tidak melakukan perbuatan mubah yang mencederai kehormatan dirinya, seperti makan di jalanan, kencing di jalan, pergaulan dengan anak nakal dan berlebihan dalam bercanda.

4)        Ingatan Kuat (Dlabith)

Yang dimaksud dengan dlabith adalah kemampuan seorang perowi dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar ketika tahammul, masih ingat atau hapal pada saat menyampaikan periwayatannya dengan hafalannya (dlabith shadr) dan terpelihara tulisannya dari kesalahan, pergantian dan kekurangan (dlabith kitab). Sebagai indikator kedlabithan seorang perowi dapat dilihat melalui penelitian hadis-hadis yang ia riwayatkan, jika sesuai dengan periwayatan para perowi lain yang dlabith sekalipun secara makna, berarti ia dlabith dan tidak apa sedikit berbeda. Jika banyak perbedaannya, bahkan sedikit persamaannya berarti ia tidak dlabith dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.7

 

B.   Metode Mempelajari Hadis (Tahammul wa Ada al-Hadis)


Metode mempelajari/menerima hadis yang dipakai oleh para ulama itu ada delapan. Demikian juga metode ada’ yang digunakan ada 8 macam yang menyertai tahammul, karena seseorang yang menyampaikan periwayatan (ada’), harus menjelaskan metode

7 M. Ajjaj Al-Khatib, Al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum al-Hadis, (Beirut : Mu’assasat al-Risalah, 1985), 89-90


apa yang digunakan ketika menerima hadis. Metode-metode8 itu adalah:

1.    As-Sima’

Metode as-Sima’ yaitu guru membaca hadis di depan para muridnya. Bentuknya  bisa  membaca  hafalan,  membaca  dari kitab, tanyajawab dan dikte. Metode ini merupakan metode yang paling tinggi, karena di sini antara guru dan murid bertemu langsung (liqa’) dan berhadapan langsung (musyafahah). Bentuk ungkapan ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah: sami’tu, dan haddatsana.

2.    Al-‘ardlu (Al-Qira’ah)

Metode Al-‘Ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru, sedangkan guru mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab). Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dibaca oleh muridnya. Dalam metode pengajaran metode al-qira’ah disebut dengan metode sorogan. Hukum metode ini adalah sah, sedang tingkatannya ada yang berpendapat sama dengan as-sima’, ada yang mengatakan lebih rendah dan ada pula yang berpendapat lebih tinggi daripada as-sima’. Bentuk ungkapan ada’ yang dipakai dalam metode ini adalah akhbarana, qara’tu ‘ala fulanin atau haddatsana qiraatan ‘alaihi. Hukum periwayatan hadis dengan menggunakan metode ini menurut jumhur ulama diperbolehkan..

3.    Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai untuk ada’ adalah an-ba-ana.


8 Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, 186-187


4.    Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Metode munawalah ini adakalanya disertai dengan Ijazah dan adakalanya yang tidak disertai dengan ijazah. Hukum riwayat untuk macam pertama diperbolehkan, sementara untuk macam kedua tidak diperbolehkan. Istilah yang dipakai dalam penyampaian (ada’) adalah an-ba-ana.

5.    Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk sese- orang, hal ini mirip dengan metode ijazah. Hukum riwayatnya diperbolehkan.Lafadz yang digunakan dalam penyampaian (ada’) adalah kataba ilayya Fulanun atau haddasana kitabatan.”

6.    I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya. Hukum riwayatnya ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan.Lafadz penyampaiannya : “a’lamani Syaikhi bikadza”

7.    Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal. Hukum riwayat metode ini ada yang berpendapat boleh ada yang berpendapat tidak boleh, inilah pendapat yang benar. Lafadz penyampaiannya : “Ausha ilayya fulanun bikadza, atau haddasani fulanun washiyatan.”

8.    Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya. Lafadz penyampaiannya adalah “ wajadtu bikhaththi fulanin atau qara’tu bikhaththi fulanin.

Dari delapan metode di atas, menurut jumhur metode yang tertinggi adalah metode al-sima’, kemudian baru al-qira’ah. Kedua


metode di atas merupakan metode yang diutamakan karena merupakan bentuk periwayatan secara langsung (musyafahah). Metode ijazah, asal jelas hadis apa dan kepada siapa ijazah itu diberikan dapat diterima. Metode al-kitabah dan munawalah dapat diterima asal dibarengi ijazah. Sedangkan metode 3 terakhir, yaitu al-i’lam, al-washiyah dan al-wijadah menurut pendapat yang shahih tidak dapat diterima periwayatannya.

 

REFERENSI :

1.    Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz, (Mesir: Al- Hay’ah al-’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998)

2.    M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum al-Hadis,(Beirut

: Muassasat al-Risalah, 1985)

3.    Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta : PSW UIN Jakarta, 2005)

4.    Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi,

Terj.Zainul Muttaqin, (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997)

5.    Muhammad bin Shalih Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad S. Marzuqi (Yogyakarta : Media Hidayah, 2008)

 

PERTANYAAN:

1.     Apa yang dimaksud dengan tahammul dan ada’ al-hadis?

2.     Jelaskan perbedaan persyaratan dalam tahammul dan ada’ al- hadis?

3.     Jelaskan metode-metode yang digunakan para ulama hadis dalam menerima periwayatan!

4.     Di antara metode-metode tersebut mana yang diterima dan ditolak oleh ulama ? Jelaskan!


 

 

 

Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB IX

Ilmu al-Jarh wat-Ta’dil

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi Dasar :

Mahasiswa mampu mendeskripsikan tentang pengertian, cara mengetahui dan tingkatan keadilan dan kecacatan perowi

 

A.  Pengertian Ilmu Jarh Wat-Ta’dil

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adilan seseorang.

Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke‘adilannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayat- nya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak periwayatan- nya. Macam-macam jarh (cacat) dari perowi adalah :

1.    Bid’ah, melakukan tindakan tercela


2.    Mukhalafah, menyalahi periwayatan yang lebih tsiqoh

3.    Ghalath, banyak keliru.

4.    Jahalatul Hal, tidak dikenal identitasnya

5.    Da’wathul Inqitha’, diduga keras sanadnya tidak bersambung

 

At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.

Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesak- siannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.

Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).

At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak keadilannya, dan diterima periwayatannya.

Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang kualitas perowi dari segi kecacatan dan keadilannya dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.1

 

B.   Urgensi Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :

1 M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 260


Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada se- orang laki-laki : “(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah- tengah keluarganya” (HR. Bukhari).

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan.

Adapun diperbolehkannya ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits:

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).

Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh dan ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.

Faedah ilmu jarh wat-ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seoarang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagi rawi yang cacat , maka periwayannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya


periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis dipenuhi.2

 

C.  Cara Mengetahui Kecacatan dan Keadilan Perawi

Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :

Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil dikalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.

Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagi rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semua rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.

Penetapan tentang kecacatan seoarng rawi juga dapat diterima melalui dua jalan :

1.         Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seoarang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.

2.         Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan


2 Fatchur Rahman, Ikhtshar Mushthalhu’liHadis,( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), 307-308


yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqoha sekurang-kurangnya harus ditarjih oleh dua orang laki-laki yang adil.

 

D.  Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil

NO

TINGKATAN

LAFADZ

ARTI

1.

Tingkatan yang tertinggi

dengan menggunakan af’alut                                tafdhil, menunjukkan sangat tsiqah

أوثق انلاس أثبت انلاس حفظا و عدل إيله املنتيه ف اثلبت

ثقة فوق اثلقة

Orang yang paling tsiqah

Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya

Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya

Orang  yang  tsiqah me-

lebihi orang yang tsiqah.

2.

Memperkuat kestiqahan

perowi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya.

ثبت ثت, ثقة قة, ثبت ثقة,

ضابط متقن

Orang yang teguh lagi

teguh, orang yang tsiqah lagi tsiqah, orang yang teguh lagi stiqah, orang yang kuat ingatan lagi menyakinkan ilmunya.

3.

Menunjuk keadilan

dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan

ثبت, ثقة, ضابط, متقن

 

 

 
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil, dan lafadh- lafadh yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan ta’dil ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut :


4.

Menunjuk keadilan

صدوق مأمون

ل بأس به

Orang yang sangat

 

dan kedlabitan tetapi

jujur

 

dengan lafad yang tidak

Orang yang dapat

 

mengandung arti kuat

memegang amanat

 

ingatan dan adil (Tsiqah)

Orang yang tidak cacat.

5.

Menunjuk kejujuran

rawi, tetapi tidak terfaham adanya kedlabitan.

مله الصدق جيد احلديث مقارب احلديث

Orang yang berstatus

jujur

Orang yang baik hadisnya

 

 

 

Orang yang hadisnya

 

 

 

berdekatan dengan

 

 

 

hadis orang lain yang

 

 

 

tsiqoh.

6.

Menunjuk arti mendekati

cacat.

صدوق إن شا ء اهلل

فالن صويلح

Orang yang jujur

insyaAllah

Orang yang sedikit

 

 

 

kesalehannya.

 

NO

TINGKATAN

LAFADZ

ARTI

1.

Tingkatan yang

tertinggi dengan menggunakan af’alut tafdhil, menunjukkan sangat cacat

أوضع انلاس أكذب انلاس

إيله املنتيه ف الوضع

Orang yang paling

dusta

Orang yang paling bohong

Orang yang paling

top kebohongannya

2.

Menunjuk

kesangatan cacat dengan menggunakan

lafadz berbentuk

sighat muballaghah

كذاب, وضاع, دجال

Orang yang

pembohong, orang yang pendusta, orang yang penipu

3.

Menunjuk kepada

tuduhan dusta, bohong dsbnya.

فالن متهم بالوضع

فالن ساقط فالن مرتوك احلديث

Orang yang dituduh

bohong

Orang yang gugur Orang yang ditinggalkan hadisnya.

 

 
Sedangkan untuk tingkatan jarh juga ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut :


4.

Menunjuk kepada

bersangatan lemahnya.

مطرح احلديث فالن ضعيف

فالن مردود احلديث

Orang yang dilem-

parkan hadisnya Orang yang lemah. Orang yang ditolak hadisnya.

5.

Menunjuk kepada

kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya.

فالن ليتج به فالن جمهول فالن منكر احلديث

Orang yang tidak

dapat dibuat hujjah hadisnya.

Orang yang tidak dikenal identitasnya. Orang yang munkar

hadisnya.

6.

Menyifati rawi

dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya.

ضعف حديثه

فالن لني

Orang yang

didlaifkan hadisnya

Orang yang lunak

 

E.   Perlawanan antara Jahr dan Ta’dil.

Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tarjih-kan dalam hal ini terdapat empat pendapat:

1.  Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’ad- dil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab  bagi  jarih  tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui  oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jumhuru’l-ulama.

2.  Ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam meng-aibkan  si  rawi  kurang  tepat,  dikarenakan  sebab  yang digunakan untuk meng-aibkan itu bukan sebab yang mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil, sudah barang tentu tidak serampangan menta’dilkan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.


3.  Bila jumlahmu’addil-nya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.

4.  Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil  dan  jarih-  nya, maka mendahulukan jarh itu sudah merupakan putusan ijma’.

 

F.   Kitab-Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil

Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan hasil pentajrihan maupun penta’dilan para kritikus hadis sudah dikumpulkan. Pelopor pertama penyusunan ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal. Sesudah itu maka terjadilah penyusunan karya-karya tentang jarh wat ta’dil menjadi semakin berkembang.

Para penyusun mempunyai metode yang berlainan dalam menyusun kitab jarh wat ta’dil ini. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat. Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang

sampai kepada mereka:


1.                Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.

2.                Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al- Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir.

3.                Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.

4.                Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.

5.                Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min- Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al- Bardza’I (wafat tahun 292 H).

6.                Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.

7.                Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.

8.                Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.

9.                Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256

H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah

yang dicetak dengan nomor.

10.           Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia


mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.

11.           Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al- hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.

12.           Kitab Al-Jami’i baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.

13.           Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.

14.           Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin

Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).

15.           Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).

16.           Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.

17.           Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.

18.           Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al- Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal- hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut- Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.


REFERENSI

1.     Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.

2.     Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama, 1998

3.     Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

4.     Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

5.     M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

6.     Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991

7.     Ibn Salah, ’Ulum al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.

8.     Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

 

PERTANYAAN :

1.    Apa yang dimaksud dengan ilmu jarh wat ta’dil?

2.    Bagaimana kita mengetahui keadilan dan kecacatan seorang perowi?

3.    Bagaimana bila terjadi perlawanan antara jarh dan ta’dil?

4.    Sebutkan 5 kitab yang membahas tentang jarh wat ta’dil!


 

 

 


Peta Konsep

 

 

 

 



 

 

 

BAB X

Ilmu Takhrij Hadis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kompetensi dasar:

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, tujuan, dan

langkah-langkah dalam melakukan takhrij hadis.

 

Pengantar:

Hadis yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis yang sahih atau hasan. Hadis yang terdapat di kitab- kitab selain hadis perlu diteliti kelengkapan unsur-unsurnya hingga validitas kesahihannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan hadis sebagai dalil.


A.  Pengertian Takhrij al-Hadits

Ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan takhrij, yaitu takhrij (ختريج), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Takhrij berasal dari kata kharraja (ّرج خ) yang berarti tampak atau jelas. Sedangkan menurut Mahmud al-Thahhan, secara etimologis, takhrij berarti berkumpulnya dua persoalan dalam satu hal. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu اإلستنباط

(mengeluarkan),   اتلدريب  (melatih   atau   membiasakan), dan  اتلوجيه

(mengarahkan).

Sedangkan     menurut     ulama     ahli    hadits,     kata    takhrij

mempunyai beberapa arti, yaitu:

1.  Kata takhrij (ختريج) sama dengan kata ikhraj yang berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya. Misalnya, hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari atau ditakhrij oleh al-Bukhari. Artinya, ia meriwayatkannya dan menyebutkan tempat dikeluarkannya secara independen.

2.  Takhrij kadang-kadang digunakan untuk arti mengeluarkan

hadits dan meriwayatkannya.

3.  Takhrij terkadang juga disebut dilalah, artinya petunjuk sumber-sumber asli hadits dan mengacu kepadanya dengan menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkannya.

Secara terminologis, takhrij berarti petunjuk jalan ke tempat/ letak suatu hadits (menyebut sejumlah buku yang di dalamnya terdapat hadits itu) pada sumber- sumbernya yang orisinal berikut sanadnya, dan menjelaskan martabatnya jika diperlukan.


B.   Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits

Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa pada mulanya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits. Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan kepada mereka suatu hadits yang bukan dari kitab hadits, maka dengan mudah mereka menjelaskan sumber aslinya. Beberapa abad kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang Syari’ah yang banyak menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan

kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya.

Hasil jerih payah para  ulama  itu  memunculkan  kitab-  kitab takhrij, di antaranya yang terkenal adalah Fawaid al- Muntakhabah al-Shahah karya Abu Qasim al-Husaini, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah wa al-Gharaib karya Abu Qasim al-Mahrawani.


C.  Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadits

1.            Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti

2.            Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang diteliti.

3.            Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau muttabi’

pada sanad yang diteliti.

4.            Adanya syahid dan atau muttabi’ yang kuat dapat memperkuat

sanad yang diteliti.

 

D.  Proses dan Metode Takhrij al-Hadits

1.            Proses Takhrij Hadis

Mentakhrij hadis berarti melakukan tiga hal, yaitu:

a.    Menelusuri di Kitab mana hadis yang diteliti berada. Tahap ini berarti menemukan kitab di mana hadis tersebut berada dan berapa jalur periwayatannya.

b.    Membuat Bagan Sanad Periwayat Hadis. Tahap ini dimulai dengan menemukan para periwayat hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sandnya.

c.    Memberikan penilaian kualitas hadis. Tahap ini dilakukan dengan memeriksa persambungan sand dan reputasi para periwayat, sehigga diketahui apakah hadis itu sahih atau tidak.

 

2.            Syarat Hadis yang ditakhrij

Hadis yang diteliti harus diambil atau ditakhrij dari sumber-

sumber asli hadis yaitu:

a.    Kitab-kitab hadis yang dihimpun sendiri oleh pengarangnya dan lengkap sanadnya sampai kepada Rasul, seperti: kutub as- sittah, Muwatta’, Musnad Ahmad, dsb.

b.    Kitab-kitab hadis pengikut kitab hadis pokok (no. 1), seperti: kitab al-Jami’u Baina Sahihain karya al-Humaidi, Tahzib as-


Sunan Abi Dawud karya al-Munziry, kitab Tuhfatul asyraf bi Ma’rifatil Atraf karya al-Mazi.

c.    Kitab-kitab selain hadis, seperti kitab tafsir, fiqh, dan sejarah yang didukung hadis, dengan syarat hadis tersebut lengkap sanadnya.

 

3.            Metode-Metode Takhrij

Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, al-Mahdi dan al- Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai berikut 1:

a.    Takhrij melalui periwayat pertama (al-rawi al-a’la/sahabat) Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya dari kalangan Sahabat. Langkah pertama dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya. Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berdasarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadits yang berasal dari kitab induknya di mana yang dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat atau tabi’in. Musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama-nama Sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyusunan


1     Mahmud  al-Thohhan,  Dasar-Dasar  Ilmu  Takhrij  dan  Studi  Sanad,

(Semarang : Dina Utama, 1983), 83


nama-nama Sahabat dalam kitab ini tidak sama, ada yang disusun secara alpabet dan ada juga yang disusun berdasarkan waktu masuk Islam atau keutamaan Sahabat. Di antara kitab- kitab Musnad tersebut adalah kitab Musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, karya Abu Bakr ‘Abdullah ibn al-Zubair al-Humaidi, dan karya Abu Daud al-Tayalisi.

Keunggulan metode ini adalah mudah dan cepat menemukan sahabat yang meriwayatkan hadis karena sistematikanya berdasarkan alfabetis huruf hijaiyah. Sedangkan kekurangan- nya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan hadis yang dicari jika sahabat tersebut banyak meriwayatkan hadis.

b.    Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits

Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf pertama, huruf kedua dan seterusnya. Langkah-langkah pencarian nya pada Contoh, hadits yang berbunyi منا فليس غشانا من adalah : pertama, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim (م). Langkah kedua mencari huruf nun (ن) setelah mim (م) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain (غ), dan demikian seterusnya.

Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami’ al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami’ al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami’ al-Shaghir


min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam kitab al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits- hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba’, ta’, dan seterusnya.

Keunggulan dari metode ini adalah: a. meskipun tidak hapal keseluruhan matan hadis, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menemukan hadis yang dicari; b. Akan ditemukan hadis lain yang tidak menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan.

Sedangkan Kekurangan metode ini adalah: 1.jika lafal yang dianggap awal hadis bukan awal hadis, maka hadis sulit ditemukan; 2. jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasul, maka hadis juga sulit untuk ditemukan.

c.    Takhrij melalui penggalan kata-kata yang tidak banyak

diungkap dalam lisan

Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang diter- jemahkan oleh Muhammd Fuad ‘Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, Musnad Imam Ahmad, dan Sunan al-Darimi.

Cara penggunaan kitab al-Mu’jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana akan diperoleh penjelasan tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya مم untuk Ahmad, م untuk Turmuzhi, مم untuk Ibn Majjah, مم untuk


Darimi; dan penjelasan tentang kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/kode terdapat dua bentuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menunjukkan halaman dari kitab yang dimaksud.

Langkah-langkahnya penggunaan metode ini adalah :

1)        Kita hendaknya mencari kata-kata tertentu dalam hadis yang akan kita takhrij, namun kata-kata ini haruslah merupakan kata yang berupa isim dan fiil, dan tidak bisa mentakhrijnya dengan kata huruf (seperti kata sambung).

2)        Dalam mencari kata pada hadis yang akan ditakhrij, hen- daknya dicari kata yang paling asing (jarang digunakan). Karena semakin asing kata tersebut, maka proses pentakhrijannya semakin mudah.

3)        Setelah kita dapatkan kata tersebut, maka langkah selanjutnya kita perlu menemukan kata dasar dari kata yang akan kita pergunakan, terutama bila kata tersebut bukan merupakan kata dasar. Demikian juga dengan isimnya, perlu kita temukan bentuk mufrad dan asal katanya.

4)        Setelah kita mengetahui kata dasarnya, maka setelah itu kita merujuk ke kitab takhrij yang menggunakan metode ini. Kitab yang paling masyhur adalah kitab : Al-mu’jam al- Mufahras li alfadh al-hadis an-Nabawy.

5)        Jadi, kita tinggal merujuk pada keterangan yang diberikan oleh kitab mu’jam tersebut dalam kitab-kitab hadis induk yang ditunjukkan.

Contoh :

Kita ingin melacak hadis :


نلفسه يب ما ألخيه يب حيت أحدكم يؤمن ل Setelah dicari melalui kata yuhibbu, kita cari dengan menggunakan kata habba pada mu’jam, jilid 1, maka kita akan mendapatkan petunjuk sebagaimana berikut :

حيت يب ألخيه...

م إيمان 71 ٢,7 خ إيمان 7 , ت قيامة 59 , ن إيمان 19 ,٣٣ ,جه مقدمة 9 جنائز 1 , ذي إستئذان 5 الرقاق 9٢ , حم 9:٢,1: 89٢78,٢,٢7٢51,٢6,٠٢:176,٣

Artinya hadis di atas diriwayatkan oleh

1)        Imam Muslim dalam kitab al-Iman, hadis no 71 dan 72

2)        Imam Bukhori dalam kitab al-Iman, pada bab no 7 (dalam kitab al-Iman).

3)        Imam Turmudzi dalam kitab qiyamah, pada bab no 59

4)        Imam Nasa’i dalam kitab al-iman, bab no 19 dan no 33. Adapun tanda dua bintang (**), yang dimaksud hadis tersebut diulang pada bab tersebut.

5)        Imam Ibnu Majah dalam muqoddimah bab no 9, dan dalam kitab Janaiz bab no 1.

6)        Imam Darimi dalam sunan darimi dalam kitab Isti’dzan bab no 5 dan dalam kitab al-riqaq, bab no 29

7)        Imam  Ahmad  dalam  musnad  Ahmad   ibnu   Hanbal,   juz 1 halaman 89. Juga dalam juz III, halaman 176, 206,251,272,278,289.

Setelah itu baru kita melacak hadis tersebut pada kitab yang ditunjuk, maka disana kita akan mendapatkan hadis tersebut secara lengkap baik sanad maupun matannya.

Kelebihan metode ini di antaranya adalah :

1)        Mempercepat pencarian hadits;


2)        Membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz’, bab, dan halaman;

3)        Memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.

Sedangkan kekurangannya adalah :

a.    pentakhrij harus memiliki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;

b.    terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain.

d.    Takhrij berdasarkan topik hadits

Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjelasan riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan. Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami’ al- Shahih, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, Jam’u al-Fawaid min Jam’i al-Ushul wa Majma’ al-Zawaid.

Keunggulan metode ini di antaranya adalah:

1)        Metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap

hadits pada diri pentakhrij;

2)        Metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan

hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.

Sedangkan kelemahannya adalah:


1)        Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apa- lagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu;

2)        Terkadang pemahaman pentakhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.

e.    Takhrij berdasarkan status hadits

Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain. Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits yang diperli- hatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun demikian, kekurangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat hadits-hadits mutawatir; al- Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah karya al-Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil karya Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al- Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudlu’ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu’


E.   Kitab-Kitab Tahkhrij Hadis:

Kitab takhrij hadis yang pertama muncul adalah kitab yang dikarang oleh Katib al-Baghdadi (463 H). Kitab yang muncul selanjutnya adalah:

1.            Takhrij Ahadis al-Muhazzab, karya Muhammad Ibn Musa al-

Hazimi as-Syafi’i.

2.            Takhrij Hadis Tafsir al-Kasysyaf, karya Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah Ibn Usuf al-Zaila’iy (w. 762 H)/

3.            Takhrij Ahadis al-Baidhawy, karya Muhammad Ibn Abdurrauf dan Muhammad Humam Zadah (w. 1185 H).

4.            Takhrij Ahadis as-Syifa, karya as-Sayuti.

5.            Takhrij Ahadis Ihya’, karya Zainuddin al-Iraqi.

 

REFERENSI:

1.            Mahmud al-Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, (Semarang : Dina Utama, 1983), 83

2.            Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama, 1998

3.            Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

4.            Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

5.            M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

6.            Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991

7.            Muhammad ’Ajaj al-Katib, ’as-Sunnah qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971

8.            Ibn Salah, ’Ulum al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.


9.            Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

 

PERTANYAAN:

1.         Apa yang anda ketahui tentang takhrij hadis, dan apa pula

kegunaannya?

2.         Sebutkan tahapan-tahapan dalam melakukan takhrij hadis!

3.         Bagaimana cara menentukan kesahihan sebuah hadis,apa saja yang harus diteliti?

4.         Jika ditemukan lafal pertama dari sebuah hadis, bagaimana

cara mentakhrij selanjutnya?

5.         Sebutkan kitab-kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij

hadis!


 


 

 

 

Daftar Pustaka

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah an-Nabawiyah wa

Makanatuh fi at-Tasyri’, (Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t)

Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam fi

Ushul al-Ahkam, (Kairo : al-Ashimah, t.th).

Abu> Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 12, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1978)

Abu> Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h} Bukha>ri, (Beirut : Da>r al-Fikr, tt)

Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1997)


Al-A’zami,  Studies  in  Early  H}adi>th  Literature,  (Indianapolis, Indiana : Islamic Teaching Centre, 1977)

Al-H}asan  bin  Abd  al-Rahman  al-Ramahurmuzi,  Al-Muh}addith al-Fa>sil Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1984)

Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1998)

An-Nawawi, At-Taqrib li An-NawawiFann Ushul al-Hadis,

(Kairo : Abd ar-rahman Muhammad, t.th)

 

Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz IV, (Beirut : Dar al Fikr, t.t).

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT. Al- Ma’arif, 1974)

Fazlur    Rahman    dkk,    Wacana    Studi    H{adi>th    Kontenporer,

(Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 2002)

Hasby ash Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu H}adi>th, (Jakarta

: Bulan Bintang, 1974)

Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993).

Ibnu al Qayyim al-Jauziyah, A’lam al Muwaqi’im, Jilid II, (Mesir

: Matba’ah as sa’adah, 1995)

Ibnu Ha>jar Al-Asqalani, Fath Al-Ba>ri, Jilid I, (Beirut : Da>r Al-fikr wa Maktabah Al-salafiyah, t.t)


Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Musthalahah

Ahli Al-Atsar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934)

Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman bin Al-Fadl, Sunan Darimi,

Juz.1, (Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.)

Jalaludin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawy, (Kairo : Maktabah al- Kahiroh, 1956)

Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah

al-Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987)

M.  ‘Ajjaj  al-Khatib,  Ushul  al-Hadis  Pokok-Pokok  Ilmu  Hadis, Terj.

M.Nur Ahmad Musafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007)

M. Ajjaj al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>s, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad

Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998)

M. Hasby As Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,

(Semarang : Thoha Putra, 1994)

M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al- Nabawiyah, (Cairo : Dar al-Wafa, 1991)

M., Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum al-

Hadis,(Beirut : Muassasat al-Risalah, 1985)

M.M. Azami., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th)

Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalah al-hadis, (Beirut : Dar al-

Tsaqafah al-islamiyah, tth.)


Mahmud al-Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, (Semarang : Dina Utama, 1983)

Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj.Zainul Muttaqin, (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997)

Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan, (Malang : UIN Malang Press, 2007)

Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta : PSW UIN Jakarta, 2005)

Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz, (Mesir: Al- Hay’ah al-’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998)

Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)

Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007)

Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003)

Muhammad Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah Qabl at-Tadwi>n, (Beirut

: Da>r al-Fikr, 1981)

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989)

Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), 89.

Muhammad bin Shalih Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad S. Marzuqi (Yogyakarta : Media Hidayah, 2008)

Muhammad   Ibn   Mat}ar   al-Zahrani,   Tadwi>n   Al-Sunnah   al-

Nabawiyyah,   Nash’atihi   wa   Tat}awwurihi   min   Al-Qarn


Al-Awwal  ila  Niha>yat  Al-Qarn  Al-Ta>si’  Al-Hijri,  (T{aif  : Maktabah Al-S{a>diq, 1412 H)

Munzier Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,

2002)

 

Mustafa al-Siba’I, As-Sunnah wa makanatuhu fi at-Tasyri’, (Kairo

: Dar al-Qaumiyah, 1949)

Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, J. 18, (Kairo : Matba’ah al-Misriyah, 1934)

Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997)

Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh,  (Beirut,  Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1969)

Subhi al-Shalih, Ulu>m al-H}adi>th Wa Must}alahuhu, (Beirut : Da>r al-‘Ilm Al-Malayin, t.t)

Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995)

SyihAbu>ddin Ahmad ibn Ali (Ibnu Ha>jar) al-Asqalany, Fath al- Bariy, juz vii (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959)

SyihAbu>ddin   Ibn   Ali   (Ibn   Ha>jar)   al-Asqalany,   Tahdhi>b   at- Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959)

Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)

Utang Ranuwijaya, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996)