GENDER DAN PERMASALAHANNYA, CADAR SERTA LGBT

Daftar Isi

 

                    GENDER DAN PERMASALAHANNYA, CADAR SERTA LGBT

 

1.       Gener

Konsep urgen yang perlu dipahami dalam diskursus gender adalah membedakan dua hal yang berbeda, yaitu gender dan jenis kelamin. Dengan memisahkan makna antara gender, maka setiap pendidik dan orang tua akan mampu membedakan antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati.

Jenis kelamin adalah suatu hal yang menunjukkan pada pembagian sifat dua jenis kelamin manusia secara biologis. Sebagai contoh dari jenis kelamin laki-laki yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat kelaki-lakian, seperti memiliki penis, jakun, serta mampu menghasilkan sperma.

 Jenis kelamin perempuan juga memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat perempuan, di antaranya memiliki vagina, rahim, payudara, serta menghasilkan ovum. Sifat-sifat tersebut melekat selamnaya pada manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Secara biologis, semua organ yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar pada jenis kelamin perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang dimiliki perempuan tidak akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki.

 Inilah yang disebut ketentuan ilahi yang tidak dibenarkan untuk dipertukarkan dan bersifat kodrati. Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibangun dari interaksi sosial dan budaya.

Kedua sifat tersebut esensinya dapat dipertukarkan. Dalam kehidupan sehari dapat ditemukan bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan seperti lemah lembut dan keibua. Hal inilah yang disebut sebagai hal yang bukan kodrati. Gender juga dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap, peraturan, tanggungjawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam segala kehidupannya.

 Dalam pemahaman gender, dikenal juga dengan sifat gender, peran gender, dan ranah gender. Sifat gender merupakan sifat dan tingkah laku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan hal-hal atau perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta norma masyarakat yang berlangsung pada waktu tertentu.

Sedangkan ranah gender yaitu ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk memainkan perannya masing-masing. Ranah dalam hal ini terbagi dua yaitu ranah domestik dan publik Ranah domestik yaitu ruang atau wilayah sekitar kehidupan rumah tangga seperti sumur, dapur dan kasur, sementara wilayah publik yaitu ruang atau wilayah pekerjaan umum seperti pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.

Sastryani menyatakan bahwa konsepsi terhadarp patriarki merupakan sistem sosial yang mementingkan garis turunan bapak (esensi laki-laki) menjadi pertimbangan utama untuk ditempatkan sebagai obyek pelaku dari sistem sosial.

 Dampak dari konsepsi tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari pada masyarakat umum. Sehingga mereka mengasumsikan bahwa lakilaki (bapak) sebagai pendamping bagi perempuan. Presepsi ini pada akhirnya menghasilkan persepsi gender, yakni laki-laki dan perempuan mempunyai karakterisktik dan sifat yang berbeda, laki-laki memiliki dominasi untuk mendapatkan penghargaan, penghormatan dan menjaga kewibaannya.

 Kehidupan masyarakat yang menganut sistem garis kebapakan (patriarki), memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil segala keputusan, sementara perempuan tidak diberikan ruang dan posisi yang signifikan dalam segala lini kehidupan bermasyarakat. Kaum perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the second class) di bawah jenis kelamin laki-laki.

Perempuan diposisikan sebagai istri yang bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur, dan melayani suami (the patriarch), sementara anak diposisikan sebagai generasi penerus dan penghibur ayahnya. Berbeda dengan patriarki, pada masyarakat yang menganut sistem jalur keibuan (matriarki) memposisikan perempuan di atas laki-laki.

Mereka memberikan ruang yang cukup besar kepada kaum perempuan untuk memerankan peran laki-laki seperti menjadi pemimpin dan pengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat.

Praktik ketimpangan gender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:

a. Marginalisasi atau proses peminggiran/pemiskinan, yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi. Seperti dalam memperoleh akses pendidikan, seperti pandangan yang menganggap bahwa perempuan tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang tinggi dikarenakan nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

b. Subordinasi, yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin dianggap lebih unggul dan urgen dibanding jenis kelamin lain. Pemahaman in juga memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada masa lampau dimana perempuan tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang sama seperti laki dalam bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika kondisi keuangan keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan adalah laki-laki.

c. Stereotipe, yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang atau kelompok yang  tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Kegiatan ini secara umum akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini berimplikasi kepada terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sebagi contoh berkembang pemahaman di masyarakat bahwa perempuan hanya mampu berperan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Sementara laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dalam hal melakukan pekerjaan di luar rumah seperti mencari nafkah, menjalankan bisnis, bahkan aktif dalam perpolitikan.

d. Violence yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik saja seperti tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga mengarah pada psikis seseorang.

e. Beban ganda yaitu tanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan.Hal-hal tersebut di atas bermuara pada terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di lingkungan keluarga dan maupun sosial masyarakat.

Membahas tentang gender berarti memberikan ruang dan kesempatan yang sama antara laki-laki untuk berkontribusi dalam pembangunan, ekonomi, politik dan budaya. Dengan demikian kesetaraan gender bermakna memberikan akses yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menikmati pembangunan.

 Gender dalam Pandangan Islam Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan juga tidak luput dari budaya laki-laki.

Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.

 Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. AlQur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap Allah Swt.

Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (AlQur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1, Q.S. al-hujarat [49] ayat 13 dan Q.S. an-nahl [16] ayat 97: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1).

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang  paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (Q.S. al-hujarat [49] ayat 13).

‘‘Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. an-nahl [16] ayat 97).

Ketiga ayat tersebut menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Menurut Nurmila bahwa dalam Islam adalah agama anti-patriarki, yang menjunjung tinggi keadilan dan menghargai manusia bukan atas dasar jenis kelaminnya, melainkan usahanya.

Pemahaman baru terhadap agama dengan menggunakan perspektif keadilan gender, yang lebih bisa membuka mata masyarakat Muslim akan pesan keadilan gender dalam al-Qur’an. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya. Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar kesanggupannya.

Adanya perbedaan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda.

 Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar prinsip keadilan.

Laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada Allah Swt.

Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja yang terpisah dari sistemnya.

Secara akademis hal demikian tidak dapat dibenarkan. Misalnya tentang pembagian warisan yang dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al- Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan. Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak adil.

 Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain yang terkait dengan gender maupun yang tidak.

Jika ada pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.

Cadar Bagi Wanita Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy Syafi’i ra menegaskan dalam al-Umm (1/109): وكل المرأة عورة إًل كفيها ووجهها “Dan setiap wanita adalah aurat kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya” Pendapat ini yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.

Imam Nawawi ra dalam al-Majmu’ (3/169) mengatakan, ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك اًلمة وعورة الحرة جميع بدنها اًل الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد “Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan.

Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.” Ibnu Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam alAwsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75), “Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”.

 Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim mengatakan, “Sungguh sangat aneh sebagian orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan antara dua hal: a. Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan). Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.

b. Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat. Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu.

Sehingga mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama aman dari fitnah.

Seperti kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat atau bukan? dengan hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak?. Suara wanita bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.” (Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, 192-193)

Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan pendapat yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab Syafi’iyah.

 Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan. Ulama Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam  Nawawi) memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.

 Jika diperhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum menyingkap wajah, ini dua hal dua hal yang berbeda. Dalam buku “al-Niqab adah wa laisa ibadah” yang ditulis Hamdi Zaqzuq, Menteri Perwaqafan tahun 2008, menyatakan para ulama Mesir senior berpendapat bahwa cadar adalah sebagai tradisi kaum wanita bukan ibadah. Lebih rinci pada buku itu dengan mengutip pandangan Syeikh Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Fiqh wa al-Rakyi, bahwa Islam telah mewajibkan bagi wanita untuk membuka wajah dalam ibadah haji, ibadah shalat dan tidak dalil dalam al-Qur’an hadis dan akal yang menyuruh menutup wajah.

 Ibadah perlu dalil yang tegas, memang diketahui bahwa sebagian kaum wanita pada masa jahiliyah dan awal Islam mengenakan cadar penutup wajah, tetapi perbuatan ini hanya tradisi bukan ibadah.

 4. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) Ada 4 istilah yang terangkum dalam singkatan LGBT ini yaitu:

 1) Lesbian artinya wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual dengan sesama wanita;

 2) Gay adalah istilah yang digunakan bagi lelaki penyuka sesama lelaki;

 3) Biseksual adalah orang yang memiliki ketertarikan kepada lelaki sekaligus kepada perempuan;

 4) Transgender adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir (waria/wadam).

Empat istilah di atas disebut homoseksual, yaitu keadaan tertarik kepada orang lain dari jenis kelamin yang sama. Wahbah Az-Zuhaili mengidentifikasikan tiga istilah yang relevan dengan LGBT yaitu zina, liwath dan sihaq.

Pertama, Zina yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang bukan pasangan suami istri yang sah.

 Kedua, homoseksual antara lelaki dengan lelaki. Ketiga, sihaq (lesbi) yaitu hubungan homoseksual antara wanita dan wanita.

 Para ulama sepakat bahwa liwath (gay) dan sihaq (lesbi) statusnya lebih buruk dibandingkan zina. Allah menyebutkan perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dalam al-Qur’an pada ayat-ayat yang mengisahkan kehidupan ummat Nabi Luth as. Dari 27 ayat yang memuat kisah Nabi Luth as. dengan kaumnya, terdapat tiga ayat yang menyebut perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dengan “fahisyah”. Selain pada kedua ayat di atas (Q.S. al-A’raf [7]: 80 dan Q.S. al-Ankabut [29]: 28 satu ayat lagi terdapat pada Q.S. an-Naml [27]: 54.

 “Dan (ingatlah kisah) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji), padahal kamu melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)?” (Q.S. an-Naml [27]: 54) Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Luth, dan ingatkanlah Luth ketika ia berkata kepada kaumnya. Luth adalah putra Haran, putra Azar, putra saudara laki-laki Nabi Ibrahim as. yang telah beriman bersama Nabi Ibrahim as. dan hijrah bersamanya ke negeri Syam. Allah mengutus Nabi Luth as. kepada kaum Sodom dan daerah-daerah sekitarnya untuk menyeru mereka agar menyembah Allah, memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebajikan, melarang mereka berbuat munkar. Saat itu kaum Sodom tenggelam dalam perbuatan dosa.

Hal-hal yang diharamkan dan perbuatan keji yang mereka ada-adakan dan belum pernah dilakukan oleh seseorang pun keturunan Adam dan juga oleh makhluk lain, yaitu mendatangi orang laki-laki, bukan perempuan (homoseks). Kota Sodom (bahasa Arab: سدوم/ sadūm) inilah yang dari padanya lahir istilah sodomy. Dalam bahasa Ibrani, sodom berarti terbakar dan Gemorah (bahasa Arab: 11 Huzaemah Tahido Yanggo, “Penyimpangan Seksual (LGBT) dalam Pandangan Hukum Islam”, Misykat, Volume 03, Nomor 02, (Desember 2018), hlm. 1 13 عمورة‘/amūrah) berarti terkubur. Di dalam al-Quran kaumnnya Nabi Luth as disebut “Al-Mu’tafikat” yang artinya di jungkir-balikkan (Q.S. an-Najm [53]: 53) ا

“Dan prahara angin telah meruntuhkan (negeri kaum Lut)” (Q.S. an-Najm [53]: 53) Perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang keturunan Adam dan belum pernah terlintas dalam hati mereka untuk melakukannya selain kaum Sodom. Semoga laknat Allah tetap menimpa mereka”. Sehubungan dengan firman Allah: “Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)” (Q.S. al-A’raf [7]: 80) Amr bin Dinar berkata: “Tidak seorang lelaki pun menyetubuhi lelaki kecuali kaum Luth yang pertama melakukannya”.

Al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayah, pendiri Masjid Jami’ Damaskus berkata: “Seandainya Allah tidak menceritakan kepada kita tentang berita kaum Luth, niscaya kita tidak percaya bahwa ada lelaki yang menaiki lelaki”. Para ahli tafsir juga mengatakan: “Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanitanya Nabi Luth juga melampiaskan nafsunya dengan sesama wanita”.

 Al-Quran menyebutkan perilaku homoseksual ini sebagai “fâhisyah” karena kaum gay dalam menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara sodomi (liwath) yang secara istilah syariat definisinya adalah memasukan kepala penis ke dalam dubur/anus pria lainnya. Perilaku ini sudah tentu sangat menjijikan, karena seorang laki-laki menyetubuhi dubur/anus laki-laki lain, sedangkan di dalam dubur itu terdapat kotoran besar yang bau, kotor dan jorok, sehingga manusia yang normal pasti menolaknya. Al-Quran mengisyaratkan dampak negatif perilaku gay sebagai berikut:

“Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 29) Menurut Tafsir Jalalain, yang di maksud “Taqtha’ûnas sabîl” adalah melakukan perbuatan keji di jalan yang dilewati manusia, sehingga manusia tidak mau lagi melewati jalan itu.

Muhammad Quraish Syihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat di atas sebagai berikut: “Sesungguhnya yang kalian lakukan (homoseksual) adalah kemungkaran yang membinasakan, kalian melakukan perbuatan keji dengan para lelaki, kalian memutuskan jalan untuk mengembangkan keturunan sehingga hasilnya adalah kehancuran.

Kalian melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam masyarakat tanpa rasa takut kepada Allah dan rasa malu di antara kalian”. Ibnu Katsir ketika menjelaskan kalimat “fî nâdîkum al-munkar” (mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan kalian) menurut Mujahid, perbuatan mungkar tersebut adalah sebagian mereka menyetubuhi sebagian yang lain di depan mata sekumpulan manusia.

Menurut Aisyah ra dan Al Qasim, perbuatan munkar tersebut ialah mereka berkumpul di tempat-tempat pertemuan sambil saling kentut dan tertawa-tawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa perbuatan munkar mereka adalah adu kambing (domba) dan sabung ayam. Semua perbuatan itu merekalah yang mula-mula melakukannya.

 Bahkan perbuatan mereka jauh lebih jahat dari pada sekadar itu. Dari uraian di atas diketahui bahwa LGBT menimbulkan berbagai dampak negatif di masyarakat dengan terputusnya generasi (keturunan) dan berbagai tindakan kejahatan lain. Abdul Hamid Al-Qudah, spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan LGBT sebagai berikut:

1) Dampak kesehatan 78 % pelaku homoseksual terjangkit penyakit-penyakit menular dan rentan terhadap kematian. Rata-rata usia laki-laki yang menikah adalah 75 tahun, sedangkan rata-rata usia gay adalah 42 tahun, dan menurun menjadi 39 tahun jika menjadi korban AIDS. Rata-rata usia wanita yang bersuami dan normal adalah 79 tahun, sedangkan rata-rata usia lesbian adalah 45 tahun.

 2) Dampak sosial Seorang gay akan sulit mendapatkan ketenangan hidup karena selalu berganti ganti pasangan. Penelitian menyatakan: “Seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang pertahunnya. Sedangkan pasangan zina saja tidak tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya”. Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti menyatakan bahwa seumur hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang. 28 persen melakukannya dengan lebih dari 1,000 orang. 79 persen melakukannya dengan pasangan yang tidak dikenali sama sekali dan 70 persen hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau beberapa menit saja. Berdasarkan penelitian tersebut, melegalkan pasangan LGBT dalam ikatan pernikahan pada hakikatnya adalah tindakan yang sia-sia.

 3) Dampak pendidikan Penelitian membuktikan bahwa pasangan homo menghadapi permasalahan putus sekolah lima kali lebih besar dari pada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan dan 28 persen dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah.

 4) Dampak keamanan Kaum homoseksual menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada anakanak di Amerika Serikat (AS), padahal populasi mereka hanyalah 2 persen dari keseluruhan penduduk negara itu. Sementara itu, di Indonesia melalui riset dengan bantuan Google dalam kurun waktu 2014 hingga 2016, telah terjadi 25 kasus pembunuhan sadis dengan latar belakang kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan pelaku homoseksual. 16 Mengingat buruknya dampak perilaku homoseksual ini, Allah telah menghukum pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hijr [15]: 72-74.

 “(72) (Allah berfirman), “Demi umurmu (Muhammad), sungguh, mereka terombang-ambing dalam kemabukan (kesesatan).” (73) Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. (74) Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”. (Q.S. al-Hijr [15]: 72-74)

 Ibnul Qayyim menerangkan, karena dampak dari perilaku gay adalah kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia dan akhirat adalah siksaan yang sangat berat di dunia dan di akhirat.Pada rangkaian ayat-ayat ini, Allah menjelaskan tiga bentuk siksaan sekaligus yang ditimpakan kepada pelaku gay di zaman Nabi Luth Alaihi Salam yaitu mereka disiksa dengan suara keras mengguntur yang terjadi menjelang matahari terbit, bersama dengan itu, negeri mereka yang terangkat tinggi ke udara kemudian dibalik yang semula di atas menjadi di bawah, sambil dihujani batu yang keras yang berjatuhan secara bertubi-tubi di atas kepala mereka. Sebagaimana yang disebutkan di ayat lain, yaitu Q.S. Hud [11]: 82-83: “(82) Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, (83) yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim” Q.S. Hud [11]: 82-83) Al- Bukhari menjelaskan “Sijjil” adalah batu yang keras dan besar.

 Ulama lain berkata: “yaitu adalah batu tanah liat yang di bakar”. Ketika menjelaskan kata “musawwamatan” (yang diberi tanda), Ibnu Katsir menukilkan pendapat Qotadah dan Ikrimah (dua ahli tafsir generasi tabiin): “Bahwa kaumnya Nabi 17 Luth As. dihujani dengan batu yang ditandai dengan terpahat di atasnya namanama orang yang akan ditimpa batu tersebut”. Batu itu memercikkan bara dan mengenai penduduk negeri dan penduduk yang terpencar di berbagai desa sekitarnya.

Suatu saat, seorang sedang berbicara di tengah-tengah manusia, tiba-tiba ia tertimpa batu dari langit dan jatuh di antara mereka. Batu-batu itu bertubi-tubi menghujani mereka hingga seluruh negeri dan mereka mati semua. Menurut para ahli tarikh (sejarah), kehancuran kaumnya Nabi Luth As yang bergelimang maksiat itu terjadi 4,000 tahun yang lalu. Tidak ada petunjuk lokasi di mana peristiwa itu terjadi hingga pada tahun 1924, seorang ahli purbakala bernama Wiliam Albert berangkat menuju Laut Mati untuk melakukan penelitihan di sana. Sodom dan Gemora terletak di atas sesar Moab dan pembinasaan dua kaumnya Nabi Luth As ini diinterpretasikan terjadi melalui serangkaian bencana geologi dengan urutan:

 1) Pergerakan sesar Moab

 2) Gempa dengan magnitude 7,0 + SR yang menghancurkan kota-kota dan sekitarnya serta likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota-kota.

 3) Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit, anhirdit, batu-batuan, aspal, lumpur, bitumen dan belerang.

4) Kebakaran kota-kota di sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang. Bencana kotastropik ini telah meratakan Sodom dan Gemorah dan menewaskan seluruh penduduk kecuali Nabi Luth Alaihi salam dua puterinya dan seorang yang beriman kepadanya.

Seluruh ulama sepakat (ijma’) atas keharaman homoseksual. Ibnu Qudamah berkata: “Ulama sepakat atas keharaman liwath (sodomi). Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya dan mencela pelakunya, demikian pula Rasulullah Saw juga mencelanya. 18 Beliau bersabda: “Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.

Allah mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan Nabi Luth. Beliau bersabda sampai tiga kali”. (H.R. Ahmad). Beliau juga telah menetapkan hukuman bagi pelaku homoseksual ini dalam sabdanya: “Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth Alaihi salam maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”. (H.R. At-Tirmidzi).

Beliau mengatakan perbuatan homoseksual adalah sama dengan Zina, sebagaimana sabdanya: “Apakah seorang lelaki mendatangi lelaki maka keduaduanya telah berzina dan apabila seorang dan apabila wanita mendatangi wanita maka maka kedua-duanya telah berzina”. (H.R. Al-Baihaqi) Wahbah Az-Zuhaili meriwayatkan hadist ini dari Abu Musa Al-Asy’ari ra. Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku homoseksual.

Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa tindakan homoseksual mewajibkan hukuman Hadd karena Allah memperberat hukuman bagi pelakunya dalam kitab-Nya sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd zina karena adanya makna perzinaan di dalamnya.

Menurut ulama Syafi’iyah, hukuman hadd bagi pelaku homoseksual adalah sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelakunya muhshan (sudah beristri atau bersuami) wajib dirajam sampai mati. Sedangkan jika pelakunya (belum beristri atau belum bersuami) di cambuk 100 kali dan diasingkan.ghairu muhshan Sementara itu, menurut Amir Abdul Aziz, Guru Besar Fiqh Perbandingan di Universitas dan Najah Al-Wathaniyah, Nablus, Palestina, pelaku homoseksual baik muhshan maupun ghairu Muhson hukuman haddnya adalah rajam. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Malikiyah dan pendapat ulama Hanafiah dalam salah satu versi riwayat yang paling kuat dari Imam Ahmad. Ketika menjelaskan hadist riwayat Imam At-Tirmidzi di atas,

Imam AshShan’ani (1059-1182 H) dalam “Subulus salam” mengatakan ada 4 pendapat tentang hukuman bagi pelaku homoseksual: 19

 1) Dihukum dengan hadd zina yaitu dirajam bagi yang muhshan dan dijilid bagi yang ghairu muhshan.

2) Dibunuh baik pelaku maupun obyeknya baik muhshan maupun ghairu muhshan.

 3) Dibakar dengan api, baik pelaku maupun obyeknya. Ini adalah pendapat para sahabat Rasulullah Saw.

4) Dilempar dari tempat yang tinggi dengan kepala di bawah kemudian dilempari batu. ini adalah pendapat Abdulllah Bin Abbas ra. Adapun menurut Imam Abu Hanifah, pelaku homoseksual hanya dihukum ta’zir karena tindakan homoseksual tidak sampai menyebabkan percampuran nasab.

 Sedang ta’zirnya adalah dimasukkan ke penjara sampai bertaubat atau sampai mati. Dari uraian di atas, Islam memandang bahwa perilaku LGBT bukanlah penyakit atau genetik tetapi merupakan tindak kejahatan.

Islam menyebut pelakunya dengan sebutan yang sangat buruk antara lain:

(a) Al-Mujrimun (para pelaku kriminal) (Q.S. al-A’raf[7]: 84)

 (b) Al-Mufsidun (pelaku kerusakan) (Q.S. al-Ankabut [29]: 30),

(c) Az-Zalimum (orang yang menganiyaya diri) (Q.S. Al-Ankabut [29]: 31) Apa yang dinyatakan al-Quran ini adalah benar. Susan Cohran, seorang psikolog dan ahli epidemiologi dari University of California (AS) berkata: “Tidak masuk akal memasukkannya ke dalam buku dan berkata, “Ini adalah penyakit” jika tidak ada bukti bahwa itu adalah penyakit”. Demikian kata Cohran menanggapi soal gay dalam sebuah panel yang diselenggarakan Lembaga PBB untuk kesehatan, WHO (World Health Organization).

Untuk mencegah kejahatan yang sangat membahayakan ini, Islam memberikan beberapa ketentuan, antara lain:

1) Merendahkan pandangan/menundukan pandangan.

2) Berpakaian yang menutup aurat.

3) Memperbanyak puasa sunnah.

4) Memisahkan tempat tidur anak ketika ketika sudah berumur 10 tahun. 20

 5) Menghindari perilaku wanita menyerupai pria dan sebaliknya. Sikap tomboy wanita dan lemah gemulai seorang pria dilarang dalam Islam.

6) Memilih teman pergaulan dan menghindari pergaulan bebas.

7) Mewujudkan keluarga harmonis yang penuh ketenangan dan diliputi kasih sayang.

 8) Rajin dalam beribadah terutama shalat dan membaca Al-Quran.