HIV DAN AIDS SERTA PENYALAH GUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA

Daftar Isi

 

HIV DAN AIDS SERTA PENYALAH GUNAAN NARKOBA

DI KALANGAN REMAJA

Oleh: Muchlis Achsan Udji Sofro

Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik

Bagian Penyakit Dalam FK UNDIP-RSUP Dr Kariadi Semarang

Disampaikan pada: Orientasi Pengelola Pusat Infromasi dan Konseling KRR Jawa Tengah Semarang 31 Mei 2011

 

 

Pendahuluan

Adanya kemajuan teknologi dan industri, serta modernisasi tanpa diimbangi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima kehadirannya akan berpengaruh terhadap munculnya perubahan gaya hidup, perubahan perilaku termasuk perilaku seks, dan penggunaan narkotika intravena.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semua tipe kenakalan remaja semakin bertambah dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Perkembangan industrialisasi dan urbanisasi tidak selalu menghasilkan masyarakat yang makmur. Tidak jarang menyisakan anggota masyarakat yang tetap mengalami kemiskinan, kelaparan dan perubahan perilaku berupa krisis moral.

Perubahan perilaku dan krisis moral berpotensi untuk meningkatkan angka kejadian infeksi HIV dan AIDS di kalangan penyalahgunaan narkoba, Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pelanggannya, serta ibu rumah tangga yang suaminya berisiko tinggi tertular HIV.

Jumlah pecandu narkoba di Jakarta sekitar 100.000 – 120.000 dan sekitar 1 juta di seluruh Indonesia, sebagian besar pemakainya melalui suntikan. Tradisi penggunaan jarum suntik pada pemakai narkoba adalah secara bersama-sama, dan tidak mengindahkan asas sterilisisasi. Hal ini tentu mempermudah penularan virus HIV.

Penularan HIV di kalangan pengguna narkoba terjadi sangat cepat karena beberapa faktor antara lain:

1.      Kebiasaan saling bertukar jarum suntik tanpa disterilkan terlebih dahulu, sehingga darah yang sudah mengandung virus HIV mudah berpindah ke pengguna jarum berikutnya. Menurut Penelitian Prof Samsuridjal di Jakarta, 93% pengguna narkoba suntikan adalah pengidap HIV positif

2.      Ada kaitan yang erat antara narkoba dan perkerja seks komersial dengan seks bebas. Biasanya mereka kurang memperhatikan hubungan seks yang aman.

3.      Belum ada upaya pencegahan yang efektif.

Menurut Linnan (1994) perkiraan jumlah HIV & AIDS di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebanyak 2.500.000 orang jika kita tidak dilakukan intervensi. Namun kalau dilaksanakan program intervensi maka angka tersebut bisa ditekan menjadi 500.000.

Menurut Direktorat Jenderal P2MPLP Departemen Kesehatan RI, pada akhir Maret 2011 tercatat 24.488 kasus HIV di Indonesia. Data KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Nasional mengungkapkan, jumlah pengidap HIV&AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data KPA Nasional 2011, terdapat 10 provinsi dengan jumlah pengidap HIV&AIDS terbesar di Indonesia. Kesepuluh provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Timur (Jatim), Papua, Jawa Barat (Jabar), Bali, Kalimantan Barat (Kalbar), Sumatra Utara (Sumut), Jawa Tengah (Jateng), Kepulauan Riau (Kepri), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).

Data juga mengungkapkan, penularan terbanyak lewat jarum suntik bersama (intra venuos drugs user) mencapai 52,6%. Sementara itu, penularan melalui hubungan heteroseksual 37,2%, dan homoseksual 4,5%.

Pengidap HIV&AIDS berdasarkan kelompok umur adalah 20-29 tahun mencapai 54,77%, 30-39 tahun 26,56%, dan 40-49 tahun 8,04%. Artinya, sebagian besar dari mereka adalah generasi muda. Sedangkan untuk rasio laki-laki dan perempuan 4,6 : 1. Proporsi AIDS yang sudah meninggal dilaporkan ada 23,6%.

PENYALAHGUNAAN NARKOBA

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, psiKotropika, dan Bahan-bahan adiktif lainnya. Dengan bantuan dokter, banyak jenis narkoba yang besar manfaatnya untuk kesembuhan dan keselamatan manusia. Masalahnya, apabila narkoba tersebut disalahgunakan akan menimbulkan malapetaka.

Narkoba dibagi dalam 3 jenis: narkotika, prikotropika, dan bahan adiktif lainnya.

Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman (sintetis dan bukan sintetis) yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi).

Menurut Undang-Undang No 22 tahun 1997, jenis narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok: golongan I, II, III.

Narkotika golongan I paling berbahaya, daya adiktifnya sangat kuat. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun kecuali, pengobatan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Contohnya: Ganja, morfin, heroin, kokain, , opium dan lain-lain. Narkotika golongan II memiliki daya adiktif kuat tapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Misalnya Petidin. Narkotika golongan III mempunyai daya adiktif ringan. Misalnya Kodein

1.      Ganja:  Tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong yang tepinya bergerigi, berbulu halus. Jumlah jarinya selalu ganjil: 5,7,9. Banyak tumbuh di Aceh, Sumatera Utara, Tengah, Selatan, Pulau Jawa. Daun ganja sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan, biasanya daya adiktifnya rendah. Tapi kalau dibakar atau asapnya dihirup maka menimbulkan adiktif. Cara penggunaan: dikeringkan dan dicampur tembakau rokok atau dijadikan rokok lalu dibakar dan dihisap.

2.      Morfin: digunakan di dunia kedokteran untuk penghilang rasa sakit atau pembiusan saat operasi atau pembedahan.

3.      Kodein: dipakai sebagai obat penekan rangsang batuk

4.      Petidin: sebagai obat bius lokal, operasi kecil, sunat, anti rasa sakit saat serangan jantung koroner.

5.      Methadon: untuk pengobatan pencandu narkoba

PSIKOTROPIKA

Merupakan zat atau obat bukan narkotika, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa.

1.      Kelompok depresan/penekan saraf pusat/penenang/obat tidur. Misalnya: valium, BK, rohipnol, mogadon. Obat ini menimbulkan rasa tenang, mengantuk, tentram, damai, menghilangkan rasa takut dan gelisah.

2.      Kelompok stimulan/perangsang saraf pusat/antitidur. Misalnya: amfetamin, ektasi (bentuk tablet), shabu-shabu (bentuk tepung kristal kasar berwarna putih seperti garam). Bila diminum mendatangkan rasa gembira, rasa permusuhan hilang, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba cepat, namun kurang terkendali.

3.      Kelompok halusinogen: obat, zat, tanaman, makanan & minuman yang dapat menimbulkan khayalan. Misalnya: LSD (Lysergic Acid Diethyltamide), getah tanaman kaktus, kecubung, jamur tertentu (misceline), dan ganja. Bila diminum mendatangkan khayalan tentang peristiwa yang mengerikan, kenikmatan sex dll. Kenikmatan didapat setelah pemakai sadar bahwa peristiwa mengerikan tersebut bukan kenyataan, atau karena kenikmatan yang dialami dalam fantasi sex, walaupun hanya khayalan.

 

 

Bahan Adiktif lainnya

Golongan adiktif lainnya antara lain: rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, Thinner dan  zat lain seperti: lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap dan dicium dapat memabukkan.

Cara pemakaian narkoba bisa melalui saluran pernafasan dengan dihirup melalui hidung (shabu), dihisap (rokok, ganja). Melalui saluran pencernaan: dimakan dan diminum (ektasi, psikotropika). Melalui aliran darah: disuntikkan langsung ke pembuluh darah (putaw), ditaburkan ke sayatan di kulit (putaw, morfin).

Sifat jahat narkoba adalah: habitual, adiktif, dan toleran. Habitual artinya membuat pemakainya selalu teringat, terkenang, terbayang sehingga selalu ingin mencarinya dan merindukannya/ketagihan (seeking). Secara medis disepakati bahwa mantan pemakai yang dapat bebas dari narkoba (tidak memakai sama sekali) adalah bila selama lebih dari 2 tahun dapat dianggap ”sembuh”.

Adiktif adalah sifat narkoba yang membuat pemakainya terpaksa memakai terus dan tidak dapat menghentikannya. Penghetian atau pengurangan pemakaian narkoba akan menimbulkan ”efek putus obat” atau withdrawal effek”, perasaan sakit yang luar biasa,  disebut SAKAW (sakit karena kau, narkoba).

Toleran merupakan sifat narkoba yang membuat tubuh pemakai semakin lama semakin menyatu dengan narkoba dan menyesuaikan diri dengan dosis pemakaian yang semakin tinggi. Bila dosis dinaikkan terus melebihi kemampuan toleransi tubuh, maka akan terjadi efek sakit yang luar biasa dan mematikan. Kondisi ini disebut overdosis.

HIV DAN AIDS

Cara penularan HIV

HIV merupakan virus sitopatik dari famili Retrovirus. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu: 1) secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, menyusui); 2) secara transeksual (heterosex maupun homosex); 3) secara horisontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pemakaian jarum suntik bersama-sama dan bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi).

HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan servix, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urin, air mata, cairan alveolar, cairan serebrospinal. Namun sejauh ini transmisi secara efisien adalah melalui darah, cairan semen, cairan vagina, cairan servix dan ASI.

Cara penularan yang menonjol sekarang ini adalah melalui penggunaan jarum suntik bersama di kalangan pengguna narkoba suntikan. Di samping itu penularan melalui hubungan seks yang tidak aman masih meningkat terus. Penggunaan kondom masih amat rendah dan tidak konsisten. Umur rata-rata orang yang terinfeksi HIV bergeser ke arah yang lebih muda dan sebagian besar berada pada usia subur. Oleh sebab itu, jumlah ibu hamil yang HIV positif juga meningkat dan  ibu yang positif ini dapat menularkan pada bayi yang dikandungnya. Dengan demikian jumlah kasus pada bayi dan anak akan semakin meningkat.

            Pencegahan penularan yang utama adalah dengan menanamkan kebiasaan untuk hidup sehat dan berperilaku yang tak berisiko penularan. Namun agaknya budaya yang sedang berkembang saat ini kurang mendukung untuk keberhasilan pencegahan cara ini. Meski demikian upaya ini harus diupayakan terus. Pencegahan melalui kondom dan pemberian jarum suntik baru masih menimbulkan kontroversi di masyarakat karena terdapat anggapan bahwa kedua upaya ini melegalkan hubungan seks di luar nikah dan penggunaan narkoba.

            Sementara kita memperdebatkan masalah ini, setiap hari terjadi penularan HIV terutama di kalangan remaja. Karena itu setelah memahami permasalahan ini kita harus bersikap untuk mencegah penularan dan melindungi remaja.

Manifestasi Klinis HIV & AIDS

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan tanpa gejala yang berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat.

Pertama merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul pada 6 minggu pertama setelah paparan HIV. Dapat berupa: demam, rasa letih, nyeri otot, dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat pula disertai ”meningitis aseptik” ditandai: demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak.

Kedua, tahap tanpa gejala. Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi. Aktifitas penderita masih normal.

Ketiga, merupakan tahap munculnya gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tapi masih kurang dari 10% berat sebelumnya. Pada selaput mulut terdapat sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat pula ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas. Namun penderita masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari meskipun terganggu. Penderita lebih banya berada di tempat tidur meskipun kurang dari 12 jam perhari dalam bulan terakhir.

Keempat, merupakan tahap lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% , diare lebih dari satu bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral (jamur di mulut), tuberkulosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama satu bulan terakhir.

Penderita diserbu dengan berbagai macam infeksi ikutan (infeksi sekunder, infeksi oportunistik), seperti: Pneumonia pneumokistik karinii, toksoplamosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo (CMV), infeksi virus herpes, kandidiasis pada esofagus, trakea, bronkus atau paru, serta infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat pula ditemukan keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi. Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamin. Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.

Diagnosis Infeksi HIV & AIDS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dengan metoda yang berbeda menunjukkan hasil REAKTIF. Untuk melakukan pemeriksaan HIV diperlukan Konseling dan tes secara sukarela, tidak boleh ada pemaksaan melalui kegiatan VCT (Voluntary Counselling and Testing).

Terapi ARV

Pada bulan Desember 2003 WHO meluncurkan program 3 by 5 yaitu program untuk memberikan layanan terapi HIV&AIDS dengan ARV (Antiretrovirus) pada 3 juta orang pada tahun 2005.  WHO juga telah menerbitkan  pedoman terapi ARV untuk negara miskin. Pedoman ini amat relevan dengan kondisi negara kita karena tidak memerlukan SDM dan peralatan medis yang canggih.

Kapan Memulai Terapi ?

Orang terinfeksi HIV yang sudah menunjukkan gejala (misalnya batuk kronis, diare kronis, demam lama, berat badan menurun). Pada keadaan ini terapi dapat langsung dimulai.

Orang terinfeksi HIV yang belum menunjukkan gejala jika kadar CD4 <  350 dapat memulai terapi.

Obat Apa yang digunakan ?

Obat yang digunakan untuk terapi adalah kombinasi 3 macam obat antiretroviral untuk mendapat efek yang baik dan mengurangi resistensi (kekebalan virus terhadap obat).

Kombinasi yang ada di Indonesia antara lain :

AZT=Zidovudin (300 mg),  3TC=lamivudin (150 mg), Nevirapin 200 mg,  dua kali sehari  atau Efavirens 600 mg sekali sehari dan

d4T (30 atau 40 mg),  3TC (150 mg),  Nevirapin 200 mg,  dua kali sehari.

d4T untuk BB < 60 kg 30 mg,  dan untuk BB > 60 kg 40 mg

Pemantauan Hasil

Dalam enam bulan diharapkan gejala klinis membaik, viral load undetectable dan CD4 meningkat. Peningkatan CD4 akan mengakibatkan penderita tidak rentan lagi terhadap infeksi oportunistik sehingga jarang harus dirawat di rumah sakit bahkan obat profilaksis infeksi oportunistik dapat dihentikan. Jika hasil yang diharapkan tidak tercapai maka obat kombinasi lini pertama diganti dengan lini kedua. Selain itu juga harus diperhatikan ketaatan penderita minum obat (adherence).

Efek samping        

Efek samping yang dijumpai adalah rasa mual, sakit kepala, kesemutan kaki, anemia ( terutama AZT=Zidovudin) dan alergi. Alergi cukup sering dijumpai pada Nevirapin ( 10 sampai 20% ) sehingga penggunaan obat ini untuk dua minggu pertama diberikan dulu 1 kali 200 mg,  jika tak ada reaksi baru dinaikkan menjadi 2 kali 200 mg.

Dukungan

Dukungan dari keluarga dan masyarakat di sekitar sangat membantu kenyamanan bagi ODHA. Dengan perasaan nyaman ini akan ikut membantu meningkatkan daya tahan tubuh, sehingga kadar CD4 akan meningkat. Akibatnya, infeksi ikutan tidak mudah menyerang. Perlu pula dibentuk Kelompok Dukungan Sebaya untuk ODHA dan dari ODHA.

Penutup

Saat ini telah terjadi kecenderungan perubahan cara transmisi infeksi HIV dari hubungan sex ke arah pengguna narkotika suntikan. Di Indonesia, cara transmisi ini potensial mendorong peningkatan kejadian infeksi HIV, sebab jarum suntik yang dipakai cenderung bergantian dengan pengguna yang lain.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Departemen Kesehatan RI menetapkan empat prioritas. Pertama, menghindari penggunaan narkotika oleh remaja melalui life skill education untuk semua remaja. Kedua, life skill difokuskan pada remaja berisiko tinggi (aktivitas seksual aktif: PSK, anak jalanan). Ketiga, menghindari pemakaian jarum suntik bersama bagi pengguna narkotika suntik. Keempat, bagi yang sudah terinfeksi HIV mencegah agar tidak menularkan lewat hubungan sex.

Daftar Pustaka

1.      Nasronudin. HIV&AIDS. Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, Sosial. Airlangga University Press. Surabaya 2007

2.      Partodiharjo S. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunannya. Penerbit Erlangga. Jakarta, 2007

3.      WHO, 2006. Clinical and laboratory monitoring. HIV/AIDS Programme. Geneva, pp 72-74

4.      WHO, 2004. Immunopathogenesis of HIV Infection.In: TB?HIV A clinical manual. Second edition. Geneva, pp. 30-32

5.      Zavasky DM, Gerberding JL, Sande MA. 2001. Patient with AIDS. In: Current Diagnosis & treatments in Infectious Disease. Editors: Wilson WR, Sande MA. International Edition. New York. P 315-27

6.      KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1507/MENKES/SK/X/2005 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SECARA SUKARELA (VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING)

7.      WHO, 1999. Teaching HIV/AIDS in Medical School.

8.      UNAIDS/WHO. 2002. AIDS epidemic update. Joint United Nations Programe on HIV-AIDS and World Health Organisation. Genewa, pp 1-42.

9.      www.medguide,org.zm/aids/aids.htm. akses tanggal 24 Nopember 2007

10.  National HIV Testing Policy. 2006

11.  Yayasan Spiritia. Daftar Kelompok Dukungan Sebaya untuk ODHA di Indonesia. Januari 2007

12.  Direktorat Jenderal PPM & PL. Departemen Kesehatan RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai bulan September 2007.

13.  Deek SG. Antiretroviral treatment of HIV infected adults. BMJ 2006: 332; 1489

14.  Philips AN, Gazzard BG, Clumecx N, Losso MH, Lundgren JD. When should antiretroviral therapy for HIV be started. BMJ 2007:334;76-78

15.  Hammer SM. Management of Newly Diagnosed HIV Infection. www.NEJM.Org. October 20, 2005

16.  Sofro MAU. Manifestasi Klinis dan Diagnosis HIV-AIDS, Naskah PIT PAPDI Cabang Semarang. 2005.

17.  Dirjen PPM&PL, Depkes RI., Pedoman Nasional Perawatan Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. 2003

 


CURICULUM VITAE

 

Nama                           : Dr Muchlis Achsan Udji Sofro, SpPD

Tempat Tgl lahir          : Pemalang, 19 Maret 1963

Alamat                                    : Jl Taman Lamongan V no 5 Semarang

Pekerjaan                     : Staf Divisi Penyakit Infeksi & Tropik, Bagian Ilmju Penyakit 

  Dalam RSUP Dr Kariadi/Fakultas Kedokteran UNDIP

Pangkat/Golongan      : IV – Pembina

Isteri                            : Dr Retnaningsih, SpS-KIC

Anak                           : Annisa Laras & Adelia Indah Nuraini

 

Pendidikan:

SD             : SD Negeri Kebondalem I Pemalang,            Lulus: 1974

SMP          : SMP Negeri I Pemalang,                              Lulus: 1977

SMA         : SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta,          Lulus: 1981

FK             : Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta,    Lulus: 1988

SpPD         : Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang,    Lulus: 2000

Sedang mengikuti:

  1. Program Pendidikan Konsultan Penyakit Infeksi dan Tropik. PB PAPDI Jakarta.
  2. Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

 

Organisasi:

  1. Ketua Tim HIV-AIDS RSUP Dr Kariadi-Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, sejak 2002 sampai sekarang
  2. Sekretaris Sub Tim DALINOK. Komite Medis RSUP Dr Kariadi Semarang.
  3. Anggota Tim ”Emerging Infectious Disease” RSUP Dr Kariadi Semarang
  4. Anggota Tim “Pengendalian Infeksi Nosokomial” RSUP Dr Kariadi Semarang
  5. Anggota Tim “Penanggulangan Penyakit SARS” RSUP Dr Kariadi Semarang
  6. Anggota Tim “Pengendalian & Pencegahan Resistensi Antibiotik” AMRIN Study RSUP Dr Kariadi-Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
  7. Pengurus dan Anggota PETRI (Peneliti Penyakit Infeksi Tropik) Cabang Semarang
  8. Pengurus dan Anggota PAPDI (Persatuan Ahli Penyakit Dalam) Cabang Semarang
  9. Pengurus dan Anggota IDI Wilayah Jawa Tengah.`

Pengasuh:

1.      Konsultasi Penyakit Dalam. Suara Merdeka Minggu Semarang sejak 2002

2.      KOSMIS (Konsultasi Medis) Radio Channel 99 Semarang sejak 1998