Tanggapan K.H. Imadudin Usman Al Bantani terhadap Buya Yahya tentang Isbatunnasbi

Daftar Isi

 Berikut tanggapan K.H.Imadusin Usman Al Bantani terhadap Buya Yahya yang membuat Vidio tentang isbatunnasbi yang di aploud di YouTube Al Bahjah beserta dalilnya.

Sebagaimana kita tahu Buya Yahya termasuk ulama yang masyhur ditanah air dan sempat ikut mengomentari tentang polemik terputusnya nasab ba'lawi.

K.H.Imadudin Usman dan Buya Yahya

Buya Yahya membuat video yang disiarkan channel youtube Al-Bahjah TV dengan judul “Ramai Polemik Pengingkaran Nasab Dzurriyah Nabi SAW. Bagaimana Menyikapinya?”

Untuk diketahui bahwa Buya Yahya adalah ulama yang mesantren di pesantren yang diasuh oleh seorang habib (keturunan Ba Alawi). Ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan. Diantaranya:

Buya Yahya berkata “jika anda menolak nasab seseorang apalagi dzuriyah Nabi, maka jika ternyata nasab itu tersambung kepada nabi alangkah besar kedzaliman kita…”

Jika pertanyaan Buya Yahya ini dibalik, lalu bagaimana jika kita yakin ia bukan dzuriyah Nabi berdasarkan pengetahuan kita apakah kita tidak termasuk dzalim membiarkan mereka menisbahkan diri sebagai keturunan Nabi padahal ia terbukti bukan keturunan nabi?

Buya Yahya menerangkan tentang itsbat nasab. Yang ia terangkan itu istbat nasab dalam fikih untuk kepentingan fikih, yaitu menentukan seorang anak apakah ia bernasab kepada ayahnya untuk menentukan waris, wali nikah, wasiat, dsb. bukan istbat nasab yang telah ratusan tahun.

Contohnya ada seseorang meninggal lalu harta warisnya akan dibagi tiba-tiba datang seorang anak yang mengaku bahwa ia anak dari mayit itu dan menuntut hak waris. Maka dalam keadaan seperti itu, ulama memiliki empat metode dalam menentukan nasab: pernikahan, iqrar, bayyinah dan Attasamu’ (syuhroh wal istifadoh).

Jika terbukti ada pernikahan antara ibunya dan simayit itu, atau ada ikrar yang tidak bisa dibantah, atau ada bukti ia adalah anaknya seperti adanya akta kelahiran, atau telah masyhur memang ia adalah anaknya, maka ia mendapatkan bagian warisan dari simayit itu. Jadi bukan untuk menentukan nasab yang telah ratusan tahun seperti nasabnya Ubaidillah kepada Ahmad bin Isa. Penulis tidak perlu mengutip ibaroh dari kitab karena ini sudah mafhum dikalangan ulama. Tinggal Buya Yahya membaca dengan teliti lagi.

Buya Yahya menyatakan jika seseorang telah berikrar bahwa ia bernasab kepada seseorang maka yang lain tidak boleh mengingkari. Perlu diketahui bahwa ikrar tidak berkonsekwensi tersambungnya nasab jika bertentangan dengan metode lainnya (pernikahan, Bayyinah dan At-Tasamu’). Syekh Wahbah Azzuhaili menyatakan:

الإقرار لا ينشئ النسب وإنما هو طريق لإثباته وظهوره… وثبوت النسب بالبينة أقوى من الإقرار؛ لأن البينة أقوى الأدلة اليوم؛ لأن النسب وإن ظهر بالإقرار لكنه غير مؤكد، فاحتمل البطلان بالبينة) كتاب الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي: المكتبة الشاملة: 10/271)

“Ikrar tidak berkonsekwensi (tetapnya) nasab, ia hanyalah metode menetapkan nasab dan jelasnya nasab. Dan tetapnya nasab dengan bayyinah (bukti dan saksi) itu lebih kuat daripada ikrar. Karena seseungguhnya bayyinah adalah dalil terkuat saat ini. Karena sesungguhnya nasab walaupun tampak dengan metode ikrar tetapi tidak kuat. Maka ia bisa dibatalkan dengan bayyinah. (Al Fikhu Al-Islami Wa Adillatuhu, maktabah Syamilah, 10/271)”

Saksi bagi Ubaidillah yang wafat tahun 383 Hijriah itu adalah kitab yang ada pada masanya. Jika ada kesaksian dari seseorang di hari ini menyatakan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad, maka ia bersaksi atas bukti apa? Jika kesaksiannya hari ini bertentangan dengan kesaksian kitab-kitab pada masanya maka kesaksian itu tertolak.

Attasamu’, atau syuhroh wal istifadloh dalam menetapkan nasab seperti yang disinggung Buya Yahya, menurut Abu Hanifah, Syafi’iyyah dan Hanabilah disaratkan harus mutawatir (bilangan orang yang tidak mungkin berdusta, menurut Imam Suyuthi 10 orang); menurut ulama Malikiyah didengar oleh orang-orang yang adil yang mereka mengatakan kami mendengar (bahwa si Fulan adalah anak si fulan). (lihat Al Fiqhu Al-Islami: 10/271).

Yang demikian itu untuk menetapkan orang yang ada di jaman ini. Lalu bisakah At-Tasamu menjadi dalil bagi Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dikarenakan banyak nya orang yang hari ini menyatakan demikian. Jawabannya tidak bisa. Kenapa? Karena At-Tasamu’ untuk orang yang sudah ratusan tahun disaratkan tidak bertentangan dengan kitab nasab atau kitab sejarah pada zamannya.

Syekh Syarif Ibrahim bin Mansur Al Hasyimi dalam kitabnya Ushulu Wa Qawaidi Fi Kasyfi Mudda’I Al Syaraf Wa Muzzawiri Al Nasab menyatakan:

اثر الشهرة والاستفاضة لقبول او رد رجال عمود النسب ان كان فيه من لم يذكر في كتب النسب او التراجم او التاريخ (أصول وقواعد في كشف مدعي الشرف ومزوري النسب: 7)

“Pengaruh Syuhroh wal istifadloh (At-Tasamu’) untuk diterimanya tokoh-tokoh nasab itu jika di dalamnya ada nama yang tidak disebut dalam kitab-kitab nasab atau tarajim atau sejarah” (Ushulu Wa Qawaidi Fi Kasyfi Mudda’I Al Syaraf Wa Muzzawiri Al Nasab: 7):

Ketika Ahmad bin Isa telah disebut dalam kitab-kitab nasab pada masanya mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka Syuhroh-nya Ubaidillah sebagai anak Ahmad pada masa ini tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan tokoh (Ahmad) yang telah disebut dalam kitab-kitab pada masanya bahwa ia tidak punya anak bernama Ubaidillah.

Semoga bermanfaat. Amin.

(Ditulis oleh K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani, Ketua Komisi Fatwa MUI Banten)

Demikian tanggapan K.H.Imadusin Usman Al Bantani terhadap Buya Yahya yang membuat Vidio tentang isbatunnasbi yang di aploud di YouTube Al Bahjah.